NOAM
Noam bagian 12: Laylaku
Larutan cokelat pekat itu keluar perlahan dari tungkai mesin diiringi suara bising. Mataku terpaku pada cairan yang mengalir lamban ke dalam cangkir. Pikiranku kosong, tetapi kepalaku terasa penuh.
“One Americano, no sugar. There you go, Noam.”
Aku tersentak dari lamunanku dan mataku beralih dari mesin espreso ke cangkir yang ada di meja kasir dan kemudian bergerak ke atas ke wajah perempuan berbibir mungil yang tersenyum kepadaku.
“Thanks,” jawabku, sambil membalas senyumnya. Aku ingin menyebut namanya, tetapi tidak tahu. Aww, tetapi aku tersanjung juga kalau perempuan semanis itu sampai ingat namaku.
Aku membawa cangkirku dan duduk pada meja dekat pintu masuk, meja yang satu-satunya tampak kosong. Kembali aku pada lamunanku. Secangkir kopi pahit dihadapanku itu selaras dengan perasaanku. Bagaimana tidak? Pahit rasanya diberhentikan dari tempat kerja karena apa yang kita yakini dan malah dituduh antisemitis—tetapi semua diselubungi oleh alasan administratif.
Terdengar pintu terbuka, aku pun menengok. Kepala Neil dengan rambut keriting khas Jamaika muncul dari balik pintu.
“Oh, there you are, Noam.” Neil menghampiriku. Sori ya aku lama, tadi masih ada mahasiswa yang perlu aku temui. Jadi tadi hari terakhirmu bekerja di kampus ya?
“Yes,” jawabku datar. Neil menepuk pundakku, memberi semangat.
“Tunggu ya, aku mau memesan dulu,” kata Neil sambil menengok ke arah antrean panjang pada konter.
Aku mulai melamun lagi, tetapi kali ini lamunanku membawaku kepada Layla. Aku sudah dengar kabar burung sejak hampir sebulan yang lalu—dari Linh tentunya, siapa lagi?—kalau Layla sudah putus dengan Jimmy. Namun, Layla tetap bersikap dingin saja kepadaku, apalagi kalau aku mencoba mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Aku mengangkat kepalaku …. Ohhh! …. Aku hampir terjatuh dari kursiku dan menyenggol cangkirku!
“Hey Layla. Kamu lagi di mana?” aku mulai menge-chat Layla dan mengirim foto menu kecil yang ada di atas meja. “Aku lagi di sini nih,” lanjutku. Tanda dibaca muncul, tetapi Layla tidak membalas.
“Hey, what are you doing? Want to go out tonight?” ah, aku nekat sajalah. I have nothing else to lose.
“Aku lagi di toko,” balas Layla …. Akhirnya!
“Want to go out tonight?” tanyaku lagi. “Aku lagi nongkrong aja nih di sini, ayo, kalau mau jalan bareng.”
Tidak ada balasan lagi.
Aku jadi ingat pada sebuah lagu dan mengirim tautannya kepada Layla. Liriknya begini:
I need you to keep me straight,
When the world don't seem so great,
And it's hard enough you know
I need you to be around
When my conscience brings me down
And the world seems so obscure
I want you to be the one*
Seperti yang kuduga, hanya dibaca dan tidak dibalas. Aku melihat ke arah konter, eh, Neil malah lagi berdiri di pojok, menelepon. Kembalilah aku menatap cangkir yang sekarang isinya tinggal separuh.
Beberapa kali terdengar pintu terbuka, tetapi aku terus saja menatap cangkirku. Tiba-tiba kok terasa seperti ada orang di depanku. Aku mengangkat kepalaku …. Ohhh! …. Aku hampir terjatuh dari kursiku dan menyenggol cangkirku!
“Layla!? …” Aku gak bisa berkata-kata.
Layla tersenyum dan langsung duduk di sampingku … dan … ia merapatkan wajahnya ke wajahku. Lalu aku merasakan hangat bibirnya mulai menyuntuh mulutku. Oh wow! Aku tenggelam sejenak dalam manis kecupan Layla.
Lantas Layla melepaskan kecupannya. Ternyata ada seorang laki-laki yang berdiri di hadapan kami dengan nampan berisi secangkir kopi dan dua pastri …. Ia tampak bingung dan mulai berjalan meninggalkan kami.
“Hey Neil!” panggilku. Hey, it’s okay mate, come sit with us. Namun, Neil terus berjalan. “No worries, mate,” tanggapnya sambil menatap kami sekejap dengan sebuah senyuman seraya mengarah ke belakang, mencari meja kosong.
“Layla!?...” aku kembali memandang Layla tanpa bisa melanjutkan kata-kataku lagi.
Wajah Layla langsung berubah. Pipinya memerah dan matanya agak berkaca-kaca.
“Noam, aku mau mengajakmu nonton film di apartemenku,” kata Layla begitu saja.
“Di … di … apartemenmu?” lagi-lagi aku menyenggol cangkirku.
“Yes,” jawab Layla. “You know, like movie night,” lanjutnya.
“Oh … Okay,” aku langsung bergerak hendak berdiri, tetapi Layla mencegahku. “No. Habiskan dulu kopimu,” kata Layla. Aku pun segera mengangkat cangkirku.
“No, no …, santai aja,” kata Layla. “Aku mau memesan kopi dan makanan dulu. Kamu mau nitiip gak?”
“Ah, gak,” jawabku cepat karena tidak ingin berlama-lama lagi.
Layla meninggalkan tas kecil berisi belanjaan di atas meja dan menuju ke konter.
Bruv, no way! … Am I dreaming?? Aku memegang dahiku gak habis berpikir.
Meski Layla hanya mengantre beberapa menit saja, tetapi lama sekali rasanya sampai ia kembali. Ia membawa nampan berisi secangkir café latte dan dua piring cinnamon bun, serta sebuah bungkusan.
“Nih satu untuk kamu, yang ini untuk nanti kalau nonton,” jelas Layla sambil meletakkan bungkusannya di pinggir meja.
“Ah … aku … aku … gak terlalu lapar … bawa untuk nanti aja,” tanggapku terhadap pastri yang ia tawarkan.
Layla mengangguk dan memasukkan cinnamon bun itu ke dalam bungkusan. Ia langsung menyantap pastrinya dengan lahap. Rupanya Layla lapar.
Ketika Layla hendak mengangkat cangkirnya, aku mengambil tangannya dan melekatkan punggung tangannya pada bibirku sambil memejamkan mataku, menghayati kehadirannya. Lantas aku sedikit memiringkan wajahku sehingga tangannya bergeser ke pipiku dan aku menatapnya. “Hey babe, you alright?” ucapku lembut.
Wajah Layla langsung berubah. Pipinya memerah dan matanya agak berkaca-kaca.
***
Kami berjalan bergandeng tangan menuju halte bus. Selama menunggu bus, Layla tak pernah lepas dari pelukanku.
Duduk di dalam bus, aku menggenggam erat tangan Layla. Kami tidak berbicara satu kata pun, hanya diam menikmati kebersamaan ini yang sudah terlalu lama tertunda.
***
“Here it is!” ucap Layla sambil merentang lebar kedua lengannya. Senyumnya pun lebar, dari ujung pipi kiri ke ujung pipi kanan. Sorotan matanya begitu gembira.
Ia membawaku pada sebuah tur apartemennya yang sudah hampir setahun ia sewa. “Ini dapur kecilku ... aku memasang lemari-lemari baru, yang ada sebelumnya sudah lapuk. Aku sengaja memilih warna vintage. What do you think?” tanya Layla dengan nada minta dipuji. “Nice, I like it,” jawabku cukup jujur melihat warna pink pastel pilihannya.
“Nah, sofa imutku itu merupakan sumbangan dari rumah orang tuaku karena, kata ibuku, hanya membuat rumah mereka sumpek,” cerita Layla, diikuti gelak tawanya yang sudah lama aku rindukan.
Tetapi hebat, pikirku, Layla sudah dapat menyewa apartemen sendiri. Studio apartemenku merupakan apartemen lama milik orang tuaku. Dulu Justine yang tinggal di situ sampai ia mampu menyewa sendiri hingga akhirnya aku menempatinya.
“Kamu suka gak gambar ini?” Layla memamerkan sebuah gambar berbingkai pada dindingnya yang bergenre art deco dengan perempuan yang, menurut Layla, mirip dengannya. “Aku baru beli minggu lalu. Guess where? Di sebuah pasar loak, ha ha.” Layla terus menyerocos tentang apartemennya, sementara aku ingin sekali memeluknya.
“Well, cukup. Ayo, kita nonton,” ajak Layla. “Hey, bukalah jaketmu, lempar saja ke sana! Sini tasnya!” Layla mengambil tas belanja kecil yang ternyata masih aku pegang dari tadi dan meletakkannya di atas lemari laci di sebelah tempat tidurnya. Lalu, ia bergagas ke tengah ruangan dan membuka laptopnya untuk mencari film.
Tubuh kami berdekap kuat. “Noam, aku tak pernah melupakanmu,” terdengar suara lirih Layla di telingaku.
Aku menghampirinya dan memeluknya dari belakang, menyibak rambut sebahunya ke samping dan melumuri tengkuknya dengan kecupan. “Nontonnya nanti aja,” bisikku.
Aku mengangkatnya dan menggendongnya ke ranjang. Layla merogoh tas belanja di sampingnya dan menyisipkan pelindung ke dalam tanganku.
Tubuh kami berdekap kuat. “Noam, aku tak pernah melupakanmu,” terdengar suara lirih Layla di telingaku.
Dalam sentuhan dan cumbuan, batin kami bicara. Ketika hasrat kami berjalin, jiwaku dan Layla menyatu dalam gejolak kasih. Aku paham sekarang bagaimana Layla telah merindukanku selama ini, bagaimana ia tidak pernah berhenti mencintaiku. Tubuh Layla bergetar dalam pelukanku. Aku tidak akan pernah melepaskannya lagi ... Laylaku.
*Bait dari lagu I Need You (For Someone) oleh Paul Weller/The Jam (1977)
-Bersambung-
Gambar: AI generated
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.



