Panglipur
Pada sepenggal pagi, di tahun 1982. Ciremai hanya terlihat puncaknya saja. Tiga perempat ke bawah, tampak awan putih seperti hasil sapuan kuas yang dijejakkan tangan seorang anak, menyelimuti gunung tertinggi di Jawa Barat itu.
Lengking terompet kendang pencak, terdengar menghangatkan suasana dingin saat itu. Walau suaranya begitu menyayat, apalagi diiringi talu kendang dengan hentakan lambat di setiap beat permenit-nya, jeritnya membuat hembus angin berhenti sejenak. Yang ada hanya kepulan debu dari gebrakan kaki di atas panggung, dan kejut pukulan tangan seorang anak berusia 10 tahun. Ia, sedang memainkan jurus-jurus Silat Panglipur dalam gerak lambat Tepak Dua, yang terkenal lembut tapi dahsyat.
Kembang Panglipur
Tepak Dua adalah kembang silat dengan ritme ketukan paling lambat dalam salah satu aliran silat Pasundan ini. Ritme lambat tapi lebih cepat dari Tepak Dua adalah Palered. Lalu Tepak 3. Dan setelahnya, sebagai penutup, adalah gerak cepat Padungdung yang selalu saja menggetarkan hati setiap penonton yang melihatnya.
Tak ada mulut yang tak menganga, dan tak ada mata yang tak terpana, ketika sekali saja silat Pasundan khususnya Panglipur dipertunjukkan.
Saya yakin, siapapun akan jatuh cinta, dan teromantisir dengan suasana eksotis perkampungan seperti ini. Ada keteraturan hidup yang sehat, ada keakraban yang kuat, pada denyut seni yang begitu menyatu di setiap jiwa orang-orangnya. Lihat saja polah si bocah kelas 5 SD yang ada di atas panggung itu. Ia bahkan rela meminta izin ke guru sekolahnya, ketika ada sahibul hajat dari desa mana pun yang memanggil ia dan teman-teman di perguruan silatnya, untuk melakukan atraksi pencak.
Saat itu, Silat Panglipur belum sepopuler sekarang, setelah Kang Cecep Arif Rahman membawanya ke berbagai atraksi memukau di layar lebar. Namun demikian, Panglipur sudah tumbuh sebagai bagian dari seni yang mengakar, bukan hanya jurus murni untuk beladiri semata. Panglipur adalah satu kesatuan utuh antara gerak bela diri, kendang, dan pencak. Itu sebabnya, sebutan yang lebih popular dari jurus-jurus kembang atau igel-nya dikenal dengan Seni Pencak Silat Panglipur.
Sejarah Panglipur
Seni silat Panglipur diperkenalkan pertama kali oleh Abah Aleh, seorang jawara yang lahir pada 1856. Abah Aleh muda mempelajari berbagai seni beladiri silat (saat itu belum bernama silat, tapi “ulin” dalam bahasa Sunda) dari berbagai guru dan aliran bela diri. Ia mempelajari jurus-jurus Cimande, Cikalong, Sabandar, Kari-Madi, Jalan Muka, Bojong Herang, dan banyak lagi. Berbagai aliran “ulin” beladiri ini kemudian diramu oleh Abah Aleh menjadi jurus-jurus dasar Panglipur.
Nama Panglipur sendiri didapat dari sebuah momen unik. Suatu ketika, seorang Bupati Bandung sedang bersedih. Sang Bupati kemudian memanggil grup Ibing Abah Aleh dari Garut untuk menghiburnya. Menurut catatan Panglipur, bupati itu dikenal bernama Raden Wiranatakusumah. Tapi, merujuk masa kelahiran Panglipur di tahun 1909, tidak ada bupati Bandung bernama Raden Wiranatakusumah. Kemungkinan, nama bupati tersebut adalah R.A.A. Martanagara yang memerintah di masa 1874-1909). Saking senangnya, Sang Bupati memberi penghargaan pada Abah Aleh dengan menyebutnya sebagai Panglipur Galih. Maka, sejak 1909, Abah Aleh menamakan perguruan silatnya sebagai Perguruan Panglipur, dan hingga kini bernama lengkap Himpunan Pencak Silat (HPS) Panglipur.
Jurus Dasar Panglipur
Panglipur memiliki 9 jurus dasar, yang memang dari aspek gerak merupakan intisari jurus-jurus dari berbagai aliran silat yang diramu oleh Abah Aleh.
Jurus 1 adalah Jurus Sabandar, pukulan dengan posisi tangan terbuka. Lalu jurus ke-2, Jurus Narik, sebuah hentakan yang menggunakan energi lawan. Jurus ke-3 adalah Siku Potong. Jurus ke-4, Jurus Giles. Lalu jurus ke-5 biasa disebut Jurus Kalima yang lebih kompleks, dengan menggabungkan tangkisan, tangkapan, hentakan dan tarikan. Lagi-lagi ini gerak powerful, walaupun yang digunakan adalah tenaga lawan.
Jurus ke-6 adalah Jurus Pekprek. Ini juga gerakan kompleks, yang menggunakan tangkapan, sikuan, pukulan, lontaran, dan tendangan. Jurus ke-7 adalah Jurus Kocet, yang memadukan tangkapan, tarikan dan dengkulan. Jurus ke-8, Jurus Teundeut, yaitu tangkapan, pelintiran sekaligus bantingan dengan memanfaatkan lintasan gerak lawan. Lalu terakhir Jurus ke-9, Jurus Seser, yang mengkombinasikan berbagai jurus sebelumnya, seperti tarikan, sikuan, tangkisan dan pukulan.
Esensi dari jurus-jurus panglipur ini adalah pertahanan dan serangan dengan menggunakan sesedikit mungkin tenaga kita, dan sebanyak mungkin tenaga lawan.
Olah Tubuh dan Pikiran
Di dalam memainkan jurus-jurus silat Panglipur, sorot mata waspada (rancingeus), gerak tangan, kaki dan bagian-bagian tubuh kita menjadi paduan yang membuat aliran tenaga menjadi sangat efektif dan terfokus. Itu sebabnya, tiap geraknya menjadi penuh penghayatan. Tak heran, bila gerak silat Panglipur ini tak hanya memperkaya kecerdasan fisik kita saja, tapi juga pikiran dan emosi orang yang memainkannya. Semua saling bersinergi.
Melakukan gerakan dari jurus demi jurus Panglipur, sangat amat bermanfaat dalam mengolah tubuh dan pikir diri. Spontanitas gerak dan insting menjadi terlatih, karena sinergi fisik dan pikir tersebut.
Tak heran, bila 40 tahun kemudian, Si Anak Gunung Ciremai yang kini berusia 51 tahun lebih itu, kembali memilih jurus-jurus silat panglipur, untuk menjaga tubuh dan pikirannya tetap fit dan terang
***
Ini bukan storytelling, tentang Pelatihan The Writers Batch 3, via Zoom, yang akan diselenggarakan mulai 3 Agustus 2024 nanti. Ini murni tulisan tentang pengalaman saya, yang mendapatkan manfaat begitu besar dari Silat Panglipur. Tentang pelatihan The Writers, sudah ada link tersendiri di www.tw.catatankaki.net. Atau, semudah kontak Management The Writers saja di 0811-8774-466. Gampang kalau mau join. (*)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.