Awas Kepo …
![Awas Kepo …](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_67a219d0acda8.jpg)
“Bu, kok bapak sudah lama tidak tengok, ya?”
Pertanyaan itu meluncur dari bibir si kakek kepo. Nama sebenarnya bukan kepo. Ini julukan yang saya sematkan kepada dia. Baca dulu cerita saya ini hingga selesai, nanti Anda bisa putuskan apakah julukan itu pas atau tidak.
Setiap pagi saya memindahkan motor dari dalam rumah ke halaman. Ini semacam ritual pagi. Saya menghidupkan sepeda motor selama beberapa menit, sebelum nantinya saya pakai hari itu.
Eh, ternyata si kakek kepo ada di balik pagar. Ini di luar kebiasaan dia. Yah, jujur saja, saya memang menghindari bercakap-cakap dengan tetangga satu ini. Jadi saya memastikan waktu untuk mengurus motor di luar itu tidak bersamaan dengan keberadaan dia.
Biasanya, si kakek ini pagi-pagi pergi olah raga jalan kaki. Rute persisnya saya tidak tahu, tetapi sekitar pukul tujuh dia akan melewati bu sayur yang mangkal di depan toko bangunan. Dia akan berhenti dan ngobrol sama bapak-bapak di cangkruk depan tempat cuci truk sekitar pukul sembilan.
Hahaha. Iya …. Saking saya males ketemu dia, saya hapalkan keberadaan dia supaya saya bisa menghindarinya. Wkwkwk ….
Bukan saya tidak mau bersosialiasi, lho, yaa …. Dengan tetangga lain saya saling sapa, kasi senyum, kadang ngobrol jika diperlukan. Tetapi si kakek ini sebuah pengecualian.
“Oh, iya, ya, Pak. Kok njenengan malah yang tahu?” sahut saya. Sebenernya ini versi kalimat yang adalah sebuah ketidaksopanan, karena berisi sindiran halus. Versi eksplisitnya kurang lebih: “lu tuh siapa, ngitungin frekuensi laki gw dateng nengok?!”
“Kan waktu bapak ke sini itu akhir tahun lalu. Itu pas menantu saya naikin tembok pembatas rumah.”
Buset, dah!
“Kek, yang namanya tengok ke sini itu mahal. Tidak bisalah sering-sering,” jawab saya menutup pembicaraan. Sebenernya sih ada kelanjutan, tetapi itu kata saya dalam hati: “emang lu yang bayarin tiket pesawatnya?”
Untungnya, si kakek berhenti bertanya. Atau saya yang pura-pura sibuk dan masuk ke rumah. Lupa. Pokoknya percakapan yang begitu itu sangat tidak menarik untuk diladeni.
Sebenarnya, ada taktik lain yang biasanya disarankan untuk menghadapi orang semacam ini: Pancing dia untuk bercerita tentang dirinya. Banyak yang bilang, orang sangat suka bercerita tentang dirinya. Hanya saja, saya tidak mau melakukannya. Saya memilih tidak ingin berlama-lama dengan dia. Hahaha.
Pernah saya baca, bahwa sering kali orang kepo terhadap orang lain, dan bahkan nggosip dan nggibahin orang lain itu adalah salah satu tanda bahwa hidup ybs tidak menarik. Mungkin bener, ya? Hehehe.
Si kakek ini, tinggal di rumah anak dan menantunya. Dia sudah tidak bekerja. Dia menderita sejumlah penyakit berat. Ini dia ceritakan saat pertama saya bertemu dengan dia dulu. Dari ceritanya itu, saya mendapat kesan bahwa dia merasa tidak dibutuhkan, hanya hidup menumpang, serta merasa tidak berguna.
Hanya saja, yang saya tidak tahu, sepertinya dia cukup banyak punya uang. Kapan hari saya menghambur ke luar ketika mendengar teriakan abang pao menawarkan dagangan. Pao ini lumayan rasanya dan selalu fresh, jadi kadang saya beli. You know what … si kakek ternyata lagi nunggu dibungkusin pao. Dia mengeluarkan dari sakunya gulungan berlembar-lembar uang berwarna biru, sebelum mengambil selembar untuk membayar. Wuih!
Saya? Saya bawa selembar uang kucel bergambar seorang pangeran yang ditelikung kumpeni di Magelang. Hahaha. Setidaknya emang segitu harga dua pao yang saya beli.
Jadi, apakah julukan kepo cocok buat si kakek itu? Apakah saya juga termasuk kepo? Jangan-jangan kalo tua saya bakalan seperti dia? Ngapalin kapan suami tetangga berkunjung? Tidaaak …. (ras)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.