Cucian

Cerita Perth

Cucian
 
Sebelum berangkat ke Perth, Australia Barat, aku konsultasi kepada Kak Drup, kakak sepupuku, soal pakaian dan kelengkapan pribadi yang harus dibawa. Kak Drup bukan saja akan jadi teman seperjalanan, tapi tahun lalu ia sudah ke Perth juga. Dan, seperti aku, Kak Drup juga rada-rada gimana dengan kedinginan. Jadi, Kak Drup adalah orang yang paling tepatlah sebagai penasihat fashion-ku.
 
Melihat jumlah pakaian yang disarankan untuk dibawa, aku sebenarnya tak yakin apakah akan cukup untuk dikenakan selama dua minggu. Namun, membawa terlalu banyak juga tak masuk akal. Nanti tak bisa bawa pulang oleh-oleh kalau kopor terlalu berat. Hmmm…, ya paling nanti dicuci kucek-kucek saja.
 
Coba di Perth juga ada londri kiloan, pikirku iseng.
 
"Bisa nyuci sendiri di rumah Ami," kata Kak Drup melalui pesan WA, seperti menjawab pikiranku.
 
Ami adalah sepupuku, adik dari Kak Drup, yang akan kami kunjungi di Perth. Berangkatnya nanti bertiga. Selain kami berdua, juga ada Wida, sepupu paternal Kak Drup dan Ami—aku sepupu maternal mereka.
 
Saat berada di Perth, kami, tiga turis dari Jabodetabek ini, punya mental yang sama: mencuci celana dalam dan BH sendiri-sendiri. Selebihnya, kami tunggu teriakan Ami.
 
"Ada yang mau bajunya dicuci?" tanya Ami secara random pada waktunya.
 
"Ada!!!" jawab siapa saja yang mau.
 
Tentu saja, cuci pakaian dilakukan dengan mesin cuci, tak sekedar dikucek-kucek. Kaus kaki juga bisa dicucikan oleh si mesin, demikian kata Ami lebih jauh. Jadi, aku segera mencemplungkan juga—kalau tak salah ingat—tiga pasang kaus kaki, pada suatu kesempatan ketika kegiatan mencuci digelar.
 
Tiga pasang kaus kaki itu terdiri dari sepasang kaus kaki setinggi tulang kering, dan dua kaus kaki kecil yang hanya kupakai untuk tidur. Saking kecilnya, dua kaus kaki kecil ini hanya mampu membungkus telapak kaki. Yang, biasanya, ketika aku bangun di pagi hari dua-duanya sudah terlepas dari telapak kakiku. Satu ke mana, sebelahnya lagi entah di mana. Senang mencelat sepertinya,
 
Sepasang kaus telapak kaki ini sempat hilang sebelah, setelah dikeluarkan oleh Ami dari mesin pengering. Diperiksa ke mesin pengering, tak ditemukan juga. Kurelakan saja kehilangnnya, tapi akhirnya ditemukan. Rupanya, dia mencelat ke bawah sofa ketika Ami membawa gembolan cucian yang baru dikeluarkan dari mesin pengring, yang siap untuk dibagikan kepada pemiliknya masing-masing.  Bentuknya yang jadi membundar, membuatnya membal. Makanya mudah menggelinding untuk menghilang.
 
"Kaus kaki saja yang masuk mesin pengering," kata Ami. "Lainnya digantung sampai kering. Takutnya, kalau dikeringkan dengan mesin, jadi melar-melar".
 
"Okeeee," jawab kami sambil membiarkan Ami sendirian melanjutkan penanganan pencucian, dengan mesin cuci dan pengering.
 
Bukan nggak mau bantu lho, tapi aku kan nggak paham tombol mana yang harus dipencet. Bisa sih bantu mengeluarkan cucian untuk digantung, karena yang itu kan tak perlu teknologi toh. Tapi, ya tetap saja Ami yang melakukan semuanya. Keenakan bener
 
Di depan kamar kami, tepatnya di halaman belakang dari rumah Ami, ada tempat untuk menggantung cucian yang merupakan gantungan permanen. Bentuknya lucu deh. Rangkanya seperti payung, dengan tali-tali yang mengitarinya. Menurutku, bentuk yang demikian itu, tak memanjang, adalah lebih praktis dan menghemat ruang.
 
Tapi, selama kami di sana, cucian tak pernah digantung di situ. Cuaca di Perth saat itu benar-benar mewakili frasa "tak menentu" sebenar-benarnya. Sebentar hujan, sebentar mentari cringcring. Kami para turis asal Jabodetabek ini, dan juga Ami si nyonya rumah, adalah orang-orang yang sibuk sekali. Selalu pergi ke sana ke mari seharian. Jadi, kalau menggantung cucian di luar begitu, bila tiba-tiba turun hujan saat kami tak di rumah, ya wasalam. Masakan Raza, suami dari Ami, yang harus sungsang sumbel mengangkatnya!?
 
Jadi, meski aku sangat ingin melihat dan memotret gantungan itu dalam versi lengkap dengan cucian-cucian yang melambai-lambai menunggu kering, walhasil tak sekali pun kejadian.
 
Untungnya, Kak Drup sempat mencuci hijab merahnya yang lalu digantung di situ. Kebetulan, saat itu kami sementara belum pergi. Masih di rumah. Jadi, bisalah berjaga untuk siap mengangkat si jilbab merah apabila cuaca mendadak berubah. Aku puas juga, sebab akhirnya bisa melihat gantungan cucian itu berfungsi.
 
Karena tak bisa menggantung cucian di luar, maka cucian yang tak bisa masuk mesin pengering pun digantung pada gantungan portable di dalam rumah. Nasib kekeringannya diserahkan saja pada waktu. Gantungannya diletakan dekat dengan pintu kaca, yang kalau beruntung matahari pagi yang hangat akan membelainya. Meski sedikit.
 
Tak heran, keringnya bisa 2 atau 3 hari kemudian. Tapi, tak mengapa. Setelah kering, tinggal dipakai lagi, atau dilipat, masuk ke koper sampai waktunya ikut pulang ke tanah air. Seperti nasib tiga pasang kaus kaki yang kuceritakan di atas. Yang setibanya di rumah langsung kulemparkan saja ke lemari.
 
Sampai suatu hari, ketika aku perlu memakai kaus kaki. Kebetulan, yang teraih adalah yang setinggi tulang kering dan sempat dicuci di Perth itu. Tapi, saat mengenakannya, ya ampun, kok terasa sempit ya!?
 
Ah, mengkeret dia rupanya! Sepertinya, kaus kaki itu tak boleh dicuci di mesin cuci. Atau, mungkin juga hanya tak boleh dikeringkan dengan mesin pengering. Entah mana yang benar, ya siapa yang tahu.
 
Wah, apa kabar dengan dua kaus telapak kaki yang perjalanan pencucian dan pengeringnya sama dengan si kaus kaki tinggi itu ya? Mengerut jugakah?
 
Entahlah. Aku tak merasa perlu khusus cari tahu. Nanti juga akhirnya akan ketahuan sendiri, saat mereka kubutuhkan.   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.