AL INSAN ABDUL IHSAN
Manusia Budak kebaikan, ungkapan itu benar. Siapa yang mampu memenuhi hasrat orang lain dengan jalan kebaikan, tinggal tunggu, orang itu akan menjadi budak. Seperti Badar, bajingan yang hampir mati dikeroyok masa karena menjambret, kini berubah menjadi orang baik, dermawan dan sukses gara gara diselamatkan seorang tukang pijat. Ikuti cerbung ini, semoga ada manfaat.
BADAR bin BADARUDDIN
Badar itu jadi preman kampung sejak lahir, Emaknya pernah beberapa kali minta tolong warga untuk mengusir dari rumahnya, karena terlalu sering membuat onar, segala barang dijual entah untuk apa. Bahkan tabung LPG di dapur emaknya pun dijual. Belum lagi masalah yang dibuat terhadap tetangga. Mencuri, berantem, memeras, adu mulut, menggoda ibu dan anak gadis bahkan nenek nenek juga tak bisa hidup tenang. Pernah juga Badar tertangkap nyolong kota amal Masjid.
Pokoknya, masyarakat kampung Majune akan langsung membuat vonis tukang bikin onar, ketika disebut nama Badar bin Badaruddin. Hanya preman dan bajingan yang sudi berteman dengan dia.
Kalau gak salah sudah dua kali Badar masuk penjara. Belakangan sudah hampir satu tahun menghilang. Isunya masuk penjara lagi. Lebih baik lah, daripada buat onar dan disumpahi orang sekampung, bukan apa, kasihan Emaknya.
Jum'at minggu lalu ketika saya merekam kegiatan sedekah makan siang setelah sholat jum'at, saya melihat Badar ikut antri. Pakai Jean biru lusuh, baju koko juga lusuh dan warnanya tidak putih lagi. Sendal jepit biru merek Swallow, tipis, kopiah hitam yang sudah buluk di sepanjang pingirnya. Wajahnya agak pucat, gigi kuning karena rokok, pada leher bawah telingga tampak jelas tato gambar bunga mawar dililit kawat duri, entah apa arti tato itu.
Di belakang Badar, ikut berbaris teman temannya sebanyak empat orang, ada yang saya kenal ada yang tidak.
Saya perhatikan dari jauh, makanan hasil antri mereka kumpulkan lalu diserahkan kepada seorang wanita usia 30 lebih. Wanita itu pakai Jean ketat, kaus ketat, pucat, rambutnya seperti tidak disisir satu minggu. Mungkin rambut itu juga bau apek.
Setelah menerima box nasi, wanita itu berlalu ke arah kiri, sedang Badar dan teman temanya ke arah ruko.
Ada rasa curiga di hati saya, Badar telah berbuat curang atau sesuatu yang curang. Jelas, nasi itu bukan buat dirinya sendiri, saya lihat dengan mata kepala sendiri, kok. Diserahkan orang lain, mungkin aja itu dijual kan?
Terus terang, terlintas rasa gak suka dalam diri saya. Kalau dia benar curang atau bikin onar, maaf bukan sombong, lima pemabuk macam mereka saya beresin sendiri sekaligus masih sanggup. Saya ini pegang amanat para donatur, kalau yang terima sedekah bajingan bajingan kek mereka itu, apa kata dunia.
***
Jumat kali ini, kembali saya lihat Badar dan empat orang temanya yang lusuh dan bertampang bajingan semua ikut antri kembali.
Diam diam mereka saya ikuti, setelah menerima nasi sedekah. Sepertinya mereka tidak menyadari. Nasi itu diserahkan kembali kepada wanita yang minggu lalu itu. Dari jarak lebih dekat, wajah wanita itu lebih seram. Kemudian Badar menyerahkan lima box nasi dan wanita itu menyerahkan uang satu lembar lima puluh ribuan.
Gak salah, Badar menjual nasi sedekah itu sepuluh ribu satu box, lima box lima puluh ribu. Paling itu duit untuk beli minuman keras oplosan, Sialan.
Seperti kemarin, wanita itu berlalu ke arah kiri sedangkan rombongan Badar ke arah Ruko. Secepatnya saya berlari menuju Badar.
"Badar, berhenti loe, Gue mau bicara!"
"Eh, Bang Alif, Assalamualaikum, tumben Bang?" Badar memberi aba aba kepada empat temanya untuk melanjutkan perjalanan.
Saya sendiri merasa muak, mendengar ucapan salam mulia itu diucapkan oleh mulut Badar, di telinga saya seperti pelecehan saja.
"Dar, sejak jum'at kemarin, gue ikutin gerak gerik loe, gue peringatin, ini terakhir loe bikin onar di sini, jum'at depan masih begini, jangan panggil Alif Tedas kalo loe sama temen temen lo masih bisa berdiri!" Sengaja saya tekan suara saya jauh lebih berat, raut muka tegang.
"Maaf Bang, saya buat onar apa ya?" Jawab Badar tenang, matanya menatap mata saya. Aneh, mata yang bagian putihnya menguning itu, tatapannya terasa lembut.
"Sudahlah, gue lihat pakek mata gue sendiri, nih, loe jual nasi sedekah tadi kan, jangan gitu lah, kalau loe makan sendiri, loe ambil berapa ga bakalan gue masalahin, buat apa duit gocap itu?" Saya yakin Badar ga berkutik, tanganya merogoh saku dan mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribu tadi.
"Oh itu, dibilang jual ya jual, dibilang engak jual juga enggak, sekarang gini aja Bang, saya beli beras sama minyak goreng dulu sebentar, nanti ikut ke kontrakan saya di pinggir kali di bawah tower BTS itu, tolong marahin saya di rumah saja, ini di pinggir jalan, Bang Alif gak pantes ribut sama saya di sini, pamor saya bakal naik tapi abang turun, maaf, maaf sekali lagi, Bang Alif tolong ikut saya, tunggu sebentar di sini." Suara Badar perlahan dan stabil, itu membuat saya terpukau. Dia berlalu menuju toko beras 'BERKAH' di seberang jalan. Sementara saya tetap berdiri mematung.
***
Di ujung gang, di bawah tower BTS, di lingkungan kumuh, di pinggir sungai kotor, bau sampah, dan lusuh. Di situ rumah kontrakan Badar.
"Silahkan masuk Bang Alif, ini gubuk kami, perempuan yang sedang menyuapi Emak, itu istri saya, perempuan yang Abang lihat di pinggir jalan tadi."
Setelah membukakan pintu, Badar mundur untuk memberi ruang kepada saya melihat ke dalam.
Saya tercekat, dihadapkan pada pemandangan di dalam ruangan itu. Ruangan remang remang, lembab dan bau pesing menyengat.
Istri Badar duduk di dipan reot beralaskan kasur tipis dilapis plastik yang biasa untuk pelapis cor beton. Tampangnya masih seram, kali ini dia mencoba tersenyum kepada saya. Satu tangan memegang piring berisi nasi putih yang diencerkan dengan air, ada telor rebus yang masih tersisa warna merah sambal, kelihatanya, itu telur sambal yang telah dicuci supaya hilang rasa pedasnya.
Di hadapan istri Badar terbaring mertuanya. Terbujur lemah, pakai kaus warna kuning bergambar wajah presiden terhormat dan wakil, dari pinggang ke bawah ditutup kain sarung batik. Wajahnya pucat, karena lama tidak terkena sinar matahari, rambutnya memutih acak acakan.
Sesekali istri Badar memberi aba aba agar Mertuanya membuka mulut. Nasi dan telur yang telah digerus di atas piring menggunakan sendok, sedikit demi sedikit disuapkan ke mutut mertua.
Diantara istri Badar dan mertuanya tergeletak box nasi yang sangat saya kenal, itu nasi milik Donatur yang diamanatkan kepada kami. Tutupnya terbuka, nasinya telah terpotong separuh, sambal telur dalam kantong plastik tinggal sambalnya. Sayur tumis dan kerupuk udang belum tersentuh.
Di sisi lain, dua orang pria seusia Emaknya Badar sedang makan nasi sedekah yang sama. Nasi box yang sangat saya kenal itu. Satu orang duduk di atas dipan yang berbeda, satu orang lagi duduk dilantai tanpa alas.
Ada empat orang di dalam ruangan, semua makan tanpa suara, tanpa bicara, sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran saya. Sesekali terdengar aba aba dari istri Badar agar mertuanya membuka mulut.
Sungguh pemandangan yang sangat membuat rasa ini teriris, perih. Sedangkan bau pesing terus tercium.
Tak kuat. Saya membalikan badan lalu terduduk di samping pintu masuk rumah kontrakan itu. Teringat tuduhan saya kepada Badar, saya malu. Siang ini Alloh menyeret diri saya menghadap cermin. Membuka mata untuk melihat apa yang ada dibalik Badar. Semua tidak seperti yang tampak dari luar. Saya tak sebaik angan angan saya.
"Ya Alloh, maafkan saya."
Saya menyembunyikan wajah di balik kedua lutut. Sementara Badar duduk di hadapan saya sambil merokok. Duduk di atas ember cat bekas, memandangi tingkah laku saya. Mungkin dimatanya saya ini seperti cacing kepanasan yang menggeliat di atas tanah karena malu.
***
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.