“Pikirkan di kepalamu, gambarkan, visualkan; sebuah tempat yang mampu memberi rasa damai dan nyaman di hatimu,” pembimbing hipnoterapi berkata dengan lembut.
Ia diam sejenak, membiarkan kami, para peserta, meresapi kata-katanya sampai ke dalam lubuk sanubari kami. Suara musik teduh yang bergema halus dalam keheningan menjadi latar belakang suasana.
Hmm…, seperti apa ya tempat yang bisa memberi rasa damai, tanyaku dalam hati.
“Bayangkan saja, misalnya, kau berada di sebidang padang berumput hijau yang sejuk,” seperti mendengar pertanyaanku, sang pembimbing melanjutkan kata-katanya. “Atau, di sebuah pantai yang hangat, saat matahari terbenam. Bisikan debur ombak mengiringinya…,” dan seterusnya pembimbing memberikan contoh-contoh suasana untuk divisualisasikan dalam hati kami masing-masing.
Kucoba membayangkan sebuah padang rumput yang hijau. Sampai muncul di bayanganku daerah padang hijau berbukit-bukit, tempat yang pasti sejuk tapi mungkin agak sedikit dingin. Pemandangan itu adalah pemandangan yang persis seperti yang aku lihat di awal film The Sound of Music —dengan Julie Andrew sebagai tokoh utama perempuan, yang kutonton entah berapa ratus kali saat kecil dulu. Karena adegan itu di Austria, pastilah dingin ya, tak hanya sejuk.
Namun, membayangkan padang rumput seperti itu, memang sejuk rasanya hatiku. Dengan demikian, bila aku berada di kesempatan seperti itu, atau saat mengikuti meditasi dan sejenisnya; padang rumput hijau berbukit-bukit bagai tempat Julie Andrew lelarian sambil bernyanyi, “The hills are alive with the sound of music…,” menjadi tempat ‘aman’ saya.
Sampai di suatu saat, saya mempertanyakan pada diri saya sendiri apakah tempat paling aman milik saya adalah padang rumput macam tempat Julie Andrew berlarian? Kucoba merenung kembali, mencoba mengingat-ingat di manakah aku pernah merasakan tempat yang paling aman. Bukan yang imajiner, tapi yang sesungguhnya.
Jawabannya akhirnya kutemukan. Yaitu, dada Ibu-ku.
Waktu itu, ketika aku masih berusia sekitar tiga atau empat tahun —yang berarti juga ini adalah ingatanku yang paling purba. Dugaanku bahwa umurku adalah sekian itu berdasarkan ingatan bahwa saat itu tanganku baik-baik saja. Sementara, saat berusia lebih tua sedikit, lima tahun tepatnya, dua tanganku patah dalam waktu yang hampir bersamaan. Sehingga selama beberapa bulan dua tanganku terbalut rapat dengan gips. Kondisi tangan yang demikian sudah pasti tak akan nyaman untuk membulatkan diri tidur di dada Ibu-ku yang posisinya sedang duduk. Lalu, setelah kejadian tangan patah, aku sudah terlalu besar untuk berada dalam rengkuhan Ibu.
Pada hari tertentu itu, kami sekeluarga pergi ke rumah Oma dan Opa —nenek dan kakek dari pihak Ibu. Harinya dapat kupastikan adalah Minggu, karena merupakan kebiasaan keluarga besar kami untuk berkumpul di rumah Oma-Opa di setiap hari tersebut.
Ayah yang menyetir mobil dinas —beliau anggota Angkatan Udara— jeep willys Amerika dengan setir di sebelah kiri. Ibu yang duduk di kursi kanan depan memangkuku. Yang aku tak ingat adalah, kenapa aku berada di pangkuan Ibu seperti itu. Aku pun tak tahu juga, apakah aku di situ sejak berangkat dari rumah atau aku pindah di tengah jalan. Entah juga. Pastinya, aku lalu terlelap di perjalanan. Sangat lelap, sampai kudengar suara Ibu yang memanggil-manggil namaku.
“Ayo, bangun, kita sudah sampai di rumah Oma,” kata Ibu sambil menepuk-nepuk halus kakiku.
Aku terbangun tapi belum sampai membuka mata. Dengan mata masih tertutup begitu, aku merusaha mengumpulkan nyawa yang masih berantakan di mana-mana, seraya mencoba mencerna di mana aku berada. Kupingku mendengar suara halus yang berdetak dalam irama teratur. Getarannya entah bagaimana membuat tubuh dan hatiku terasa aman, nyaman, dan damai.
Aku lalu sadar di mana aku berada. Ini kan pelukan Ibu-ku! Suara detakan teratur itu adalah detak jantung Ibu-ku. Aaah…, sungguh damai rasanya. Membuatku ingin kembali tidur selama mungkin. Segera aku merapatkan mata yang memang belum terbuka, supaya bisa kembali ke alam mimpi. Kupastikan tubuhku untuk tidak bergerak sama sekali…
Entah bagaimana akhirnya, aku tak ingat. Apakah aku terpaksa bangun, ataukah Ayah lalu menggendongku turun. Ah, tak soal itu. Bagiku, yang terpenting adalah bahwa di situ, di dada Ibu, aku merasa sangat-sangat damai. Setiap kali membayangkannya, aku merasa aman dan nyaman. Hangat dan sejuk sekaligus, jauh lebih sejuk dibandingkan dengan berada di lapangan hijau imajiner tempat Julie Andrew berlarian. =^.^=