Kesah Adinda

Pukul 10:00 malam adalah masa-masa sepinya jalur kereta api di Jakarta. Aku sering menghabiskan waktu di sana duduk sendiri di sekitaran stasiun Kalibata, memperhatikan gerbong demi gerbong bolak-balik mengantarkan masing-masing orang pulang dari kesibukannya. Namun kali ini ada sesuatu yang beda, sesosok bayangan perempuan yang diam mematung berjam-jam. Kepalanya melihat ke kiri dan ke kanan berkali-kali tiap kali sinyal terdengar dari kejauhan.
“Kalau mau bunuh diri, tidak bisa dilakukan dengan ragu,” tegurku. Ia menoleh. Pandangannya kosong tanpa makna. Seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup lagi.
“Kamu tahu tidak, walau pun kemungkinannya tertinggi, menabrakkan diri ke kereta juga punya kemungkinan untuk gagal. Dan penderitaan yang akan kita alami akan lebih besar dibanding kalau mati begitu saja,” Sambungku lagi.
“Aku tidak berniat bunuh diri. Pergi sana,” sahutnya ketus.
“Tidak perlu berbohong, karena Aku juga pernah di posisimu.” Ia menatapku tidak percaya.
Aku menjelaskan, hanya orang depresi yang terus-menerus berdiri di tempat yang berbahaya. Berdiri di tepian rel kereta dalam waktu lama tanpa melakukan apapun adalah hal yang tidak akan dilakukan orang waras.
“Kamu tidak sadar sudah diteriaki orang berkali-kali dari tadi?”
“Pikiranku terlalu banyak untuk memperhatikan itu,” jawabnya.
“Sudah berapa kali kamu mencoba yang seperti ini?” Tanyaku.
“Entahlah, mungkin tiga atau empat kali. Tapi yang ini Aku masih belum punya keberanian.” dengan suara indahnya yang tergetar, ia menjelaskan sudah berkali-kali mencoba memotong urat nadi, minum obat pembersih, sampai membeli banyak sekali obat tidur.
“Walau berat dijalani, hidup ini sebenarnya indah. Tahu letak indahnya di mana?” Ia berpikir lama, lalu menggeleng.
“Sekeras apapun kita mencoba membunuh diri, tubuh akan berontak. Setiap sel akan mencoba mempertahankan kehidupannya sebisa mungkin. Sel darahmu akan mati-matian menutupi luka yang kamu sayatkan di nadi. Kita diciptakan Tuhan untuk bertahan hidup, bukan untuk mati.”
“Buatku hidup hanya penderitaan tanpa henti, Mas,” jawabnya.
“Tentu saja, karena bahagia itu hanya terjadi sebentar saja dalam hidup. Sebagian besar hidup kita hanya berisi penderitaan, sebagai hadiah saat kita berhasil melewatinya, akan muncul beberapa kebahagiaan kecil. Itulah kenapa kebahagiaan bisa menjadi berarti,” potongku. Keraguan di kepalanya terlihat semakin nyata.
“Kamu kelihatan pucat dan gemetaran. Sudah makan?” Tanyaku. Perempuan itu menggeleng.
“Makan yuk? Warteg di sana enak. Aku yang traktir,” aku menawarkan. Ia dengan ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Makanlah. Kita tidak bisa membuat keputusan waras saat sedang kelaparan.”
Aku memesan sepiring nasi, rendang, dan sayur. Ia menyuapkannya perlahan ke mulut.
“Sudah berapa lama kamu tidak makan?” Tanyaku sambil memesan dua gelas teh manis hangat untuk kami.
“Entahlah, mungkin dua atau tiga hari. Tidak ada yang bisa masuk ke perut.”
Seiring tiap sendok makanan yang masuk ke mulutnya, aku memperhatikan perempuan itu. Lusuh sekali. Rambutnya acak-acakan, mukanya kusam, terlihat seperti berminggu-minggu tak memperhatikan diri. Pakainnya terlihat tidak pernah dicuci, wajahnya muram. Aku menunggu sampai dia bisa diajak bicara lagi.
“Sudah satu jam kamu memutuskan menunda niat bunuh diri. Berjanjilah untuk mencoba lebih lama lagi.”
“Kenapa harus begitu?” Tanyanya.
“Karena hanya itu satu-satunya cara untuk menghentikannya, menunda selama kamu bisa. Aku tidak akan bisa melarangmu melakukannya. Tapi lakukan setelah kamu benar-benar siap dan tahu apa yang sedang kamu putuskan.”
“Aku tidak tahu apakah semua penderitaan dalam hidup ini aku yang memutuskan atau tidak, Mas. Aku merasa dipojokkan dan dipaksa memilih jalan hidup seperti ini.”
“Kamu bisa memilih untuk tetap hidup dan menjalaninya, apapun yang kamu alami. Takdir tidak pernah ditentukan orang lain, kita sendiri yang memutuskan.”
Ia berpikir begitu lama mendengar jawabanku.
“Kapan pun kamu terpikir lagi untuk bunuh diri, berjanjilah menundanya beberapa jam lagi, beberapa hari lagi, beberapa tahun lagi. Kamu akan menyadari hidup ini akan jadi indah setelahnya.”
“Lebih cepat kalau kuakhiri saja. Terlalu menyedihkan,” jawabnya.
“Lalu kalau diselesaikan begitu saja, penderitaan itu akan berakhir? Tidak, dia hanya akan pindah ke orang-orang yang kamu sayangi,” bantahku.
Aku memegang tangannya, meyakinkannya untuk menunda sehari lagi.
“Besok akan kutemui lagi. Sekarang pulanglah, mandi, dan tidur. Kamu kelihatan begitu tertekan. Tidur akan membuatmu melupakan sebagian beban.”
Ia mengangguk, lalu berjalan perlahan, pulang. Entah ke mana. Tapi kalau memang ia masih ingin hidup, dia akan menemuiku kembali di sini.
Adinda namanya...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.