SOTO TANGKAR HAJI DIDING

SOTO TANGKAR HAJI DIDING
SOTO TANGKAR HAJI DIDING
SOTO TANGKAR HAJI DIDING

Jam sudah menunjukkan pukul 1 tengah hari. Kami baru beres ngurus pajak perusahaan di KPP Setia budi 3. Sambil berjalan keluar gedung, gue dan nyonyah diskusi di mana kita akan makan siang.

"Om Bud, kita makan di mana, nih?"

Mendengar pertanyaan Si Nyonyah, gue langsung kepikiran sama makanan yang memang udah lama bikin sakaw.

"Elo udah laper belom? Kalo belom gimana kalo kita hunting Soto Tangkar Haji Diding di Kota Tua?"

"Yuk...yuk!" Si Nyonyah semangat banget nyautnya.

Dengan menggunakan LRT, kami berdua pergi ke stasiun Dukuh Atas. Setiap kali jalan-jalan menggunakan LRT atau MRT, Si Nyonyah selalu mengajak suaminya untuk menggunakan tangga biasa meskipun di sana ada lift dan eskalator.

"Lo kan jarang olahraga. Kita naik tangga aja, biar badan lo bergerak," katanya.

"Baik, Nyonyah." jawab Sang Suami dengan patuh.

Dari stasiun Dukuh Atas kami jalan kaki dikit, lanjut pake KRL ke stasiun Manggarai. Selanjutnya nyambung lagi naik KRL ke stasiun Kota.

Dari stasiun Kota, kami harus berjalan sekitar 1 Km. Gak jauh, sih, sebenernya. Namun ada beberapa kendala yang menghadang.

Pertama, udaranya panas banget. Orang berdarah biru kayak gue selalu merasa tersiksa dengan udara yang menyengat kayak gini.

Kedua, gue, kan, pake sepatu baru, akibatnya tumit gue lecet, deh.

Ketiga, jalanannya padet dengan angkutan umum dan motor. Belom lagi pedagang kaki lima yang memenuhi sepanjang trotoar membuat hampir tidak ada ruang untuk berjalan. Beberapa kali lengan gue kesenggol motor atau angkot.

"Woy! Jangan sembarangan lo pake jalan!" bentak gue menggelegar namun si pengendara terus berjalan tanpa menengok.

Kami sudah beberapa kali makan Soto Tangkar Haji Diding tapi baru sekali ini pergi ke tempatnya langsung. Tapi gapapa. Kata orang kalo makan di tempatnya, biasanya rasa makanannya lebih enak.

Beberapa kali kami kesasar sehingga perjalanan menjadi semakin jauh. Terpaksalah kami menggunakan Google map. Ini adalah kali pertama kami menggunakan Google map saat sedang berjalan kaki. Perlahan dan tidak pasti, akhirnya kami sampai juga di tujuan. Alhamduuuu....lillaaaah.

Soto Tangkar Haji Diding adalah fenomena menarik kalo kita tela'ah dari segi marketing. Lokasinya di jalan sempit di pelosok Pasar Pagi. Gak mudah menemukannya. Tempatnya kecil dan kumuh. Sama sekali jauh dari nyaman. Saking kecilnya. mungkin gak cukup untuk diisi 10 orang saja. Namun demikian, warung yang berdiri sejak tahun 60-an ini mampu bertahan sampe sekarang. Brandnya sangat terkenal. Orang rela antri dan makan sambil berdiri hanya untuk mencicipi kelezatan Soto tersebut. Luar biasa.

Untungnya kami sampe di sana jam 3. Udah lewat jam makan siang. Tempatnya udah rada sepi. Dengan nikmat kami pun melahap makanan lezat tersebut, Di sini, cuma ada satu jenis masakan dengan variasinya: Soto Tangkar daging, soto tangkar campur jeroan dan soto tangkar sate kuah. Semuanya enak.

Puas makan, saya minta bill. Dan percaya gak kami harus bayar berapa? Untuk dua mangkok soto Tangkar dan dua gelas es teh manis totalnya cuma Rp 65 ribu sodara-sodara sekalian. Hahahaha...

"Kita ngebir2 dulu yuk di kafe?" Tiba2 Sang Nyonyah ngomong.

"OK! Yuk berangkat." Kalo soal bir terus terang gue susah nolaknya.

Di stasiun Kota, Nyonyah mampir ke Circle K untuk beli Tensoplast. Sepertinya dia kesian sama suaminya yang jalan terpincang-pincang gara-gara lecetnya makin parah. Yah... begitulah risiko pake sepatu baru.

Dari stasiun, kami naik KRL lagi sampai stasiun Sudirman. Di sana pindah menumpang MRT dan turun di Bundaran HI. Dari situ kami berjalan kaki lagi ke Kafe Greyhound yang letaknya di Jalan Sunda, tepat di samping Sarinah, Thamrin. Lumayan juga jalan kaki dengan kaki lecet kayak gini.

Sampai di sana kami duduk di smoking area yang letaknya di bagian belakang. Yes! Inilah kenyamanan yang kami rindukan di hari itu. Kafe ini sangat menyenangkan. Interiornya bagus. ACnya dingin. Sofanya besar dan empuk. Tanpa membuang waktu lagi, kami memesan bir dingin untuk melengkapi kenyamanan tersebut. Karena udah gak sanggup makan lagi. Si Nyonyah cuma memesan ravioli sebagai kudapannya.

"Buka sepatu lo. Kaki lo angkat ke sofa." Nyonyah kembali bertitah.

"Biar apa?" tanya gue gak ngerti.

"Gue tambahin Tensoplastnya biar tebel supaya jalan nanti lo gak kesakitan lagi."

"Oh, okay. Thank you." Saya langsung membuka sepatu dan meletakkan kaki saya di pahanya.

Dengan mimik serius, perempuan cantik itu itu menempelkan plester tepat di atas luka di tumit yang terluka. Sementara saya memandangnya dengan paras berterima kasih.

"Sip. Sekarang lo bisa jalan tanpa rasa nyeri," katanya seraya membereskan sisa plester dan memasukannya ke dalam tas.

"Thank you, Sayangku."

Belajar dari berbagai kekecewaan hidup yang saya alami, saya memahami sepenuhnya, Si Nyonyah adalah sahabat terdekat saya. Kami berdua asyik ngobrol ke sana ke mari. Seperti kata pepatah Cina yang bilang: Ngobrol dengan sahabat sejati, 1000 kati arak tidak pernah cukup. Tapi ngobrol dengan orang yang tidak kita sukai, secawan saja rasanya sudah kebanyakan.

Gak terasa waktu udah menunjukkan pukul 9.20. Si Nyonyah udah manggil waiter siap untuk membayar sambil ngomong, "Pulang yuk? LRT terakhir cuma sampe jam 10."

"Biar gue yang bayar." kata saya sambil merogoh dompet.

Ketika waiter dateng menyodorkan bill, saya menatap ke angka yang tertera di sana. Tau gak saya harus bayar berapa? Rp 1.6 juta, sodara-sodara. Hahahahaha... Hadoh! Kalo tau, gue biarin aja Si Nyonyah yang bayar. Kan gue udah bayar Soto Tangkarnya tadi sore. HAHAHAHAHAHAHAHA....

Sampai di rumah, gue memeriksa lecet di tumit tadi sambil ngedumel. "Jalan gini doang kok bisa lecet ya? Padahal kita jalannya gak jauh."

"Gak jauh apanya. Hari ini kita udah jalan 18,750 langkah," kata Si Nyonyah sambil menatap alat yang biasa dia pake saat fitness.

Gue cuma bengong doang karena gak tau 18 ribu langkah itu jauh apa deket. Hehehehehe....

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.