Grassroots Football: Tidak Perlu Mewah, Tetapi Hanya Butuh Kebebasan Akses
Pembangunan yang berkedok peningkatan fasilitas yang dilakukan oleh para developer ini hanya mementingkan nilai komersialitas, tidak memikirkan bagaimana mengembangkan potensi-potensi masyarakat sekitar.
Warga negara Indonesia dikenal sebagai masyarakat gila bola. Pasalnya, olahraga satu ini sangat melekat di kehidupan masyarakat Indonesia. Tak terkecuali di tempat tinggal saya. Saya sendiri lupa kapan tepatnya pertama kali saya mengenal sepak bola. Yang saya ingat, sejak dari kecil saya sudah familiar dengan sepak bola karena tayangan sepak bola di televisi. Kemudian saya semakin mengenal sepak bola melalui lingkungan yang sangat dekat dengan sepak bola. Hampir setiap sore saya selalu bermain sepak bola dengan kawan-kawan di salah satu lapangan sepak bola di desa saya. Lapangan itu luas. Saking luasnya, dalam satu lapangan terdapat beberapa pertandingan yang digelar oleh anak-anak yang berasal dari kampung yang berbeda. Kadang, dalam satu kesempatan ngadu dengan sekelompok anak-anak kampung sebelah. Seru. Dari situlah saya mulai mengenal lebih dalam dan tertarik pada sepak bola. Lingkungan, ketersediaan sarana, dan kemudahan akses membuat saya lebih dekat dengan sepak bola.
Menurut saya, tahapan awal seseorang mengenal sepak bola bukanlah dari SSB atau akademi sepak bola, melainkan dari sepak bola akar rumput yang dimainkan di lapangan bebas akses seperti yang saya lakukan saat masih anak-anak. SSB atau akademi adalah tahap kesekian dalam proses anak-anak mengenal sepak bola.
Grassroots football atau sepak bola akar rumput adalah proses aktivitas alami yang terjadi di lingkungan masyarakat untuk mempertahankan dan mengenalkan sepak bola ke generasi berikutnya. Meskipun menurut Zen RS, Grassroots football di Indonesia itu sulit didefinisikan karena tidak ada sekat yang konkret antara sepak bola akar rumput dan sepak bola professional. Sepak bola profesionalnya pun belum tuntas, kita masih bisa melihat ciri-ciri grassroots football di sepak bola professional Indonesia. Namun, perbedaan sederhananya—masih menurut Zen RS—yaitu menjadi grassroots football ketika tidak termasuk ke piramida kompetisi yang paling tinggi.
Contoh dari grassroots football adalah anak-anak kecil yang bermain bola di lahan kosong atau lapangan, permainan sepak bola nyeker yang dilakukan oleh remaja-remaja kampung, dan liga tarkam yang digelar untuk memperebutkan seekor domba. Dari situlah seseorang bisa mengenal sepak bola. Dalam hal ini, menurut saya ada tiga pilar penting dalam grassroots football, yaitu lingkungan, ketersediaan sarana, dan kemudahan akses.
Namun, dewasa ini saya menemui fenomena yang kurang baik untuk keberlangsungan sepak bola akar rumput. Di sekitar tempat tinggal saya, ada fenomena yang menurut saya bisa menghambat bahkan menghentikan laju grassroots football. Fenomena itu adalah pembangunan lapangan bola terbuka menjadi mini soccer dan stadion mini. Lapangan sepak bola yang awalnya bebas diakses oleh masyarakat sekitar, kini menjadi tertutup dan eksklusif setelah adanya pembangunan. Pembangunan dan peng-upgrade-an fasilitas memang hal yang diperlukan dalam dunia sepak bola, tetapi jika tidak tepat justru akan menimbulkan masalah baru.
Sebelum lebih lanjut, biarkan saya menjelaskan pengertian beberapa istilah yang akan banyak disebut dalam tulisan ini agar tidak terjadi kerancuan. Yang saya maksud “lapangan bola terbuka” adalah lapangan umum yang fungsi utamanya dipergunakan untuk bermain sepak bola oleh masyarakat sekitar dan dapat dipergunakan secara bebas. Biasanya lapangan ini memiliki fungsi lain dalam waktu tertentu, seperti tempat upacara hari kemerdekaan, tempat para remaja belajar motor, dan lain-lain. Sedangkan, yang saya maksud dengan “mini soccer” atau “stadion mini” adalah fasilitas olahraga yang lebih layak dari lapangan bola terbuka yang fungsinya adalah tempat bermain sepak bola dan penggunaannya sangat dibatasi. Berbeda dengan lapangan bola terbuka, mini soccer atau stadion mini tidak bebas akses bagi masyarakat sekitar, karena yang boleh mengakses fasilitas ini adalah siapa pun yang mampu membayar biaya sewa. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini.
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, grassroots football adalah proses alami yang terjadi di dalam masyarakat dan ditandai dengan tiga pilar utama yaitu lingkungan, ketersediaan sarana, dan kemudahan akses. Lingkungan sekitar yang berdekatan dengan dunia sepak bola akan mendorong anak-anak untuk ikut serta ke dalamnya. Kemudian, ketersediaan sarana akan membuat anak-anak untuk mendapatkan pengalaman secara nyata dan bersentuhan dengan sepak bola secara langsung. Kemudahan akses akan menimbulkan repitisi atau pengulangan aktivitas yang terjadi secara alami sehingga anak-anak akan semakin lekat dengan dunia sepak bola.
Lapangan bola terbuka itulah yang menampung tiga pilar utama, tempat di mana grassroots football hidup. Liga tarkam yang digelar tiap akhir pekan di lapangan bola terbuka dapat menjadi hiburan bagi masyarakat, menumbuhkan minat terhadap sepak bola bagi anak-anak, dan memutar roda perekonomian bagi warung sekitar atau pedagang asongan. Semua hal itu bisa terjadi dan terus beputar karena adanya kemudahan akses yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak hanya orang dewasa yang boleh bermain bola di lapangan bola terbuka, anak-anak pun sangat bebas untuk bermain di lapangan itu, entah bermain dengan kawan-kawan satu kampung atau ngadu dengan anak-anak kampung sebelah. Aktivias alami yang terjadi di lapangan bola terbuka itulah yang akan membuat grassroots football tetap hidup, titik awal seseorang dapat mengenal sepak bola.
Namun sekitar 6 tahun lalu, lapangan bola terbuka di desanya saya di-upgrade oleh developer plat merah menjadi stadion mini. Fasilitas sangat meningkat drastis. Ada ruang ganti, bench pemain, papan skor, dan pastinya diberi pagar besi sebagai PEMBATAS. Sejak ada isu lapangan bola terbuka di desa saya akan diperbaharui tentunya saya sangat senang, tetapi setelah lapangan tersebut menjadi stadion mini saya merasa ada sesuatu yang berbeda dan dampaknya terasa sangat signifikan. Sesuatu itu adalah terhambatnya proses laju grassroots football. Hal ini baru saya sadari setelah membaca tulisan-tulisan Zen RS dan artikel tentang grassroots football lainnya.
Lapangan yang dulunya bebas diakses oleh masyarkat sekitar, kini seakan-akan menjadi suatu arena olahraga yang dikerangkeng. Masyarakat sekitar yang tidak mampu membayar biaya sewa hanya bisa berdiri di balik pagar besi dan menyaksikan orang lain yang mampu membayar biaya sewa.
Fenomena inilah yang menurut saya menghambat laju grassroots football, mematikan bibit pesepakbola atau minat anak-anak terhadap sepak bola. Anak-anak kehilangan sarana untuk mengenal dunia sepak bola. Hal ini bukan hanya dugaan. Saya melihat sendiri bagaimana saat ini lapangan atau lahan kosong di kampung saya selalu sepi, tidak terlihat grasak grusuk dan teriakan anak-anak yang sedang memainkan bola. Sedih.
Saya sangat paham sekali bahwa peningkatan fasilitas olahraga itu sangat diperlukan. Namun, jika setelah ditingkatkan tapi akses untuk menggunakannya terbatas, ya, untuk apa? Meningkatkan fasilitas olahraga tapi tidak disertai dengan program sepak bola yang progresif sama saja omong kosong. Hanya mengubah lapangan yang awalnya berfungsi sebagai kiblat sepak bola menjadi arena olahraga yang dikerangkeng. Useless. Dugaan saya, pembangunan yang berkedok peningkatan fasilitas yang dilakukan oleh para developer ini hanya mementingkan nilai komersialitas, tidak memikirkan bagaimana mengembangkan potensi-potensi masyarakat sekitar.
Ironisnya, di sekitar tempat tinggal saya sudah ada dua lapangan yang sebenarnya itu adalah tempat grassroots football hidup tapi justru terkena “gusur”. Saya khawatir hal serupa terjadi juga di daerah lain. Lapangan-lapangan sepak bola yang menjadi tempat grassroots football hidup, justru tergusur oleh pembangunan fasilitas yang tidak menguntungkan bagi masyarakat sekitar dan mematikan grassroots football.
Liga tarkam orang dewasa, permainan bola anak-anak, sepak bola nyeker anak remaja, itu adalah aktivitas alami yang menentukan bagaimana sepak bola Indonesia akan terus tumbuh dan memiliki regenerasi. Dan untuk membuat hal tersebut tetap hidup maka diperlukan sarana yang cukup, tidak perlu mewah tetapi hanya butuh kebebasan akses.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.