NOAM

Noam Bagian 9: Gurun Pasir yang Merindukan Hujan

NOAM

 

“Iya serius, bukan bercanda … tanteku dulu kuliah bareng istrinya wakil presiden AS, JD Vance, di Cambridge,” ungkap Jimmy dengan lebih tegas karena melihat kami seperti percaya-tak percaya. “Mereka saling kenal di Cambridge, suka bergaullah sesama orang India di Inggris,” tambahnya lagi untuk lebih menyakinkan kami.

“Wah kayanya pintar ya istri wapres AS itu … dulu mahasiswa sejarah dan filsafat … tapi kok bisa mau sama JD ya? …. Hahaha,” tanya Lara yang diikuti oleh suara tawanya yang khas ... keras dan pedas.

Iya, kok bisa ya? … Lantas Jimmy tiba-tiba mengubah gestur dan ekspresi wajahnya serta suaranya. “Say thank you …. Did you say thank you?” Ia meniru JD Vance ketika berbicara dengan Presiden Zelensky di Gedung Putih, sebuah pertemuan yang trending menjadi bahan lelucon.

Aku, Lara, dan Linh ngakak melihat lawakan Jimmy itu. Menirunya bisa begitu pas! Aku bahkan berpikir Jimmy akan sukses berkarir sebagai komedian stand-up comedy.

Jimmy melanjutkan lawakannya sementara kami bertiga tertawa lepas menikmati hiburan gratis itu sambil sekali-sekali menenggak bir dari botol dalam genggaman tangan kami.

Tak terasa, ruangan klub yang dikenal memainkan musik postpunk dan indie 90-an mulai padat pengunjung. Kami datang cukup awal sehingga dapat berdiri dekat panggung. Tak lama kemudian lampu dipadamkan dan lampu panggung menyala. Seorang laki-laki yang mengenakan kaos bertuliskan “RESIST!” naik ke atas panggung dan berdiri di hadapan mik seraya berkata “Welcome to our special night. Tonight is electro-pop 80’s dance night and please welcome the new duo, The Flash Boys! …” Lampu kembali padam. Dalam beberapa detik kemudian, lampu sorot menyala. Tampak dua laki-laki, satu di balik kibor dan yang satu lagi memegang gitar elektrik.

Mulut kami serentak menganga terkejut … tidak menyangka … bahwa yang mengisi acara malam ini Noam dan Simon! Linh langsung menengok kepadaku, “Layla …. Ternyata Noam!” katanya seperti senang, tetapi bercampur khawatir.

Sejak kapan Noam dan Simon bikin grup musik The Flash Boys? pikirku. Sejak kapan Noam main musik pop-elektro 80-an? Gak pernah setahuku! Kok bisa … aku jadi datang ke sini bersama Jimmy untuk melihat Noam? … Oh my god!

Mereka membuka gig dengan membawakan lagu unggulan 80-an dari Depeche Mode.

 

People are people, so why should it be
You and I should get along so awfully?

 

Vokal Noam terdengar begitu apik hingga membuatku sedikit merinding. Ia menggunakan jas hitam gaya tahun 80-an dan rambutnya disisir ke belakang semua, menonjolkan keindahan garis tulang pipinya dan sorotan matanya yang bisa bikin orang luluh. Jujur, aku terkesima dan aku berusaha keras menutupinya di hadapan Jimmy.

Sambutan penonton begitu hangat terhadap lagu pembuka itu yang kemudian diikuti dengan “Bizarre Love Triangle” oleh New Order. Lagu tentang cinta segitiga ini membuat aku dan Jimmy saling menatap sesaat. Suasana makin riuh. Lara dan Linh dengan fasihnya ikut bernyanyi sambil berjoget-joget. Aku dan Jimmy hanya berdiri saja, bahkan di tengah-tengah penonton yang lompat-lompat.

Saat lagu ketiga, dari Yazoo, aku makin merasa kikuk berdiri di situ.

 

For the times we've had I don't want to be
A page in your diary, babe

 

Kami berdiri begitu dekat dengan panggung, pada setiap petikan dawai gitarnya aku bisa rasakan mata Noam menatapku tajam.

 

That look in your eyes, I always recognize
Would tell me everything is gonna be fine
You're gonna be mine for a long time

 

Aku jadi terbengong. Aku bisa merasakan Jimmy memalingkan wajahnya untuk menatapku lagi, tetapi kali ini aku tidak membalasnya. Aku malah berbicara ke telinganya, “Aku duduk di bar dulu ya, mau menyapa teman lamaku,” dan langsung berjalan ke arah bar.

Aku agak bersusah payah melewati penonton yang cukup ramai. Sampai di bar aku langsung menghampiri Samantha dan Julie, dua kawan SMA-ku. Kebetulan Samantha juga bekas teman kuliah Noam waktu Noam kuliah di London. Kami sudah janjian untuk bertemu di bar.

Hi Sam, Hi Jules!” Aku sapa keduanya dengan panggilan akrab mereka dan langsung memesan segelas Camden Hells. “Hey … hiya Layla!” balas Samantha dan Julie hampir serentak. “Wah keren ya Noam … aku baru tahu loh kalau dia bisa main musik pop-elektro. Malah lagu-lagunya digarap ulang ya sama mereka berdua, jadi ada vibes indie gitu …,” Samantha langsung nyerocos.

“Jago juga ya …” sambung Julie. Siapa sih cowok yang satu lagi?” tanyanya. “Simon,” jawabku.

“Eh Jules, kasian loh, Noam baru dipukulin orang gara-gara dia Yahudi yang pro-Palestina, kayanya lagi sama si Simon itu juga, dia jadi kena juga ...” cerita Samantha. “Masa iya? Wah kasian ...” tanggap Julie.

“Eh Layla, kamu khan sudah lama putus dengan Noam ya?” tanya Samantha mengenai sesuatu yang dia sebenarnya sudah tahu. Males juga aku nongkrong di sini kalau Noam yang dibahas.

Tahu-tahu ruangan seolah bergerak, lampu berkedap-kedip. Penonton mengayun-mengayun badan mereka sertentak dan selaras. Terdengar suara Noam melantun,

 

Love, love will tear us apart again

 

“Wow! Ini lagunya siapa ya …? tanya Jules. Masih terkenal sampai sekarang, tapi aku lupa nama grupnya ….” “Joy Division,” jawabku.

Lalu sekilas aku melihat Jimmy berjalan dalam hempitan keramaian, menuju pintu keluar.

Hey … see you girls later,” ucapku kepada Samantha dan Julie sambil menghabiskan minumku dan beranjak dari bar, berjalan menuju pintu keluar.

Keluar pintu, aku menengok ke kiri dan ke kanan, tetapi aku tidak melihat Jimmy. Jangan-jangan ia meninggalkanku, pikirku, sedikit khawatir. Aku langsung meneleponnya.

Hey Jimmy,” kataku ketika pada layar ponsel tampak panggilan sudah diterima. “Where are you? I’m looking for you outside.”

“Berjalan saja beberapa langkah ke kanan, aku akan tampak,” jawab Jimmy dengan datar.

Benar, berjalan sebentar dan aku sudah dapat melihat Jimmy di pinggir trotoar. Eh, kok Jimmy merokok? Sejak kapan dia merokok?

Aku langsung mendekatinya dan memberinya sebuah kecupan sementara kedua tanganku mengipas-ngipas asap rokok yang mengitariku. “Aku belum pernah melihat kamu merokok,” ucapku.

Ia merangkulku dan tersenyum. Senyum dan pelukannya selalu begitu hangat, kadang membuat hatiku meleleh.

“Kalau lagi di India, aku selalu merokok, kalau di Inggris, lebih mudah menepis kebiasaan buruk ini. Namun, saat ini, sepertinya aku lagi butuh merokok,” ungkap Jimmy sambil memandang batang rokok yang diapit kedua jarinya kemudian pandangannya beralih ke wajahku.

Aku speechless, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Melihat aku bingung, Jimmy mencium dahiku dan tersenyum meski tatapan matanya tidak tampak begitu senang. “Ayo kita kembali ke klub, bergabung dengan Lara dan Linh,” kata Jimmy sambil mematikan rokoknya.

Sekembali kami ke klub, Noam sedang berbicara kepada penonton. “Kita tutup malam ini dengan lagu 90-an aja ya.” Tepuk tangan dan teriakan penonton menyambut ucapan Noam.

Terdengar ketukan cow bell yang familiar. Penonton langsung menepuk-nepuk tangan mengikuti irama drum machine sambil menggoyang-goyang kepala.

Suara Noam terdengar sendu.

 

I step off the train
I'm walking down your street again
And past your door
But you don't live there anymore

 

Sambil menggenggam tanganku, Jimmy membawaku duduk di bar. Aku tidak melihat Samantha dan Julie lagi, syukurlah! Aku menolak ketika Jimmy ingin memesan segelas draft beer untukku juga. Akhirnya, kami berdua hanya duduk diam memandang ke panggung. Suasana hati kami terasa galau di tengah kebisingan klub, di tengah suara vokal Noam yang menusuk.

 

You're long gone
But I can't move on

And I miss you
Like the deserts miss the rain
And I miss you

 

Lagu “Missing” belum berakhir, kami sudah berjalan keluar dan berdiri di luar pintu untuk menunggu Lara dan Linh.

Tak lama, Lara men-chat-ku. Ia dan Linh akan lanjut ke pesta di rumah salah satu kawan mereka dan mengajak kami. Namun, malam sudah berakhir bagi aku dan Jimmy. Kami tidak ikut dan mencari taksi untuk pulang.

Selama perjalanan, kami tak berkata sepatah kata pun. Kami berpegangan tangan, tetapi aku memandang ke depan dan Jimmy ke samping, menatap keluar jendela. Mendekati apartemenku, kami sempat berciuman sejenak, tetapi mood malam ini sudah rusak.

Tiba di depan gedung apartemenku, Jimmy mengantarku ke depan pintu, mengecup pipiku ketika aku hendak masuk, lalu melangkah cepat kembali ke taksi yang menunggu.

Sampai ke dalam kamar apartemenku, aku melepas sepatuku dan melemparnya bersama tas dan jaketku. Aku langsung menjatuhkan tubuhku ke sofa kecilku dan mengeluarkan ponselku dari kantong celana. Tanpa banyak berpikir, aku unblock nomor Noam. Dalam sesaat, mataku terpejam. Tak sanggup aku melawan lelah perasaanku dan aku pun tertidur lelap.

 

-Bersambung-

Baca Noam 8

Gambar: Mariska Helmendach (@mariskai93) | Unsplash Photo Community

Keterangan lagu:

People Are People (Martin Gore, 1984)

Bizarre Love Triangle (Bernard Sumner/Gilliam Gilbert/John Robie/Peter Hook/Stephen Morris, 1986)

Nobody’s Diary (Mark Saunders/Alison Moyet, 1983)

Love Will Tear Us Apart (Peter Hook/Stephen Paul David Morris/Ian Kevin Curtis/Bernard Sumner. 1980)

Missing (Ben Watt/Tracey Thorn, 1994)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.