PILIHANNYA

Ide cerita adalah pengalaman pribadi penulis. Dari pengalaman ini, penulis membuka wawasannya mengenai LGBT.

PILIHANNYA

PILIHANNYA

(ide cerita berdasarkan kisah nyata penulis. Tapi nama-nama tokoh disamarkan)

 

“Vi, gue gay.

Seketika mataku membelalak, dan kakiku menginjak pedal rem. Badan kami terhentak ke dashboard mobil.  Untung aku tidak menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi, dan mobil berada di jalan sepi.

What? That’s not funny! Gak lucu!”

Aku ubah posisi dudukku menghadapnya. Aku tatap​ ​​​​​wajahnya mencari tanda-tanda bahwa ia hanya sekedar bercanda. Tapi tidak ada kerutan mata, tidak ada senyum tersungging, kecuali tatapan mata serius. Dia serius? Nafasku tercekat.

“Pinggirkan mobil, lalu kita bicara,” katanya dengan suara tenang.

Dengan tangan dan lutut  gemetar, aku turuti perintahnya. Otakku seakan berhenti bekerja. Jantungku berdetak kencang. Kilasan tentang dirinya berkelebat di mataku.

Namanya Rudi. Usianya lebih tua dua tahun daripada aku. Kami bertemu di sebuah proyek pengajaran bahasa Inggris untuk guru-guru SMA se-Indonesia. Ada sepuluh guru yang dikontrak, dan kami adalah dua di antara mereka. Tidak ada yang menarik tentang Rudi. Perawakannya biasa, kulit sawo matang dan berkacamata. Namun ia selalu berpenampilan bersih dan rapih. Tutur katanya sopan dan ia adalah pendengar yang baik.

Dari kami bersepuluh, aku merasa klop dengan Rudi dan satu teman lainnya. Tapi aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Rudi. Aku selalu bisa bicara apa saja dengannya hingga berjam-jam lamanya. Selalu ada topik yang bisa kami bahas tanpa merasa jenuh. Bila aku bertemu dengannya di luar lokasi proyek, kami bisa pindah dari café ke café dari pagi sampai malam. Terkadang kami pergi menonton, lalu melanjutkan dengan makan siang, minum kopi sore, ditutup dengan makan malam. Aku merasa nyaman dan tidak sungkan membicarakan banyak hal dengannya. Namun selama ini, Rudi  tidak pernah menyatakan perasaannya kepadaku, dan aku pun juga tidak merasa perlu merasakan apa-apa kepadanya kecuali persahabatan. Karena sekalipun hubungan kami dekat, aku tidak merasakan getaran asmara terhadapnya. Firasatku mengatakan kalau Rudi merasakan hal yang sama.  Tapi apa yang barusan ia katakan, bukan hal yang aku duga-duga.

OK, let me hear it again. Mungkin gue salah dengar,”kataku.

I am gay.”

Rudi mengulang perkataanya sambil menatap mataku tajam. Perlahan aku rasakan darahku naik ke otak, dadaku sesak yang membuat nafasku terengah-engah, dan tanganku semakin gemetar.

NO! Lo bukan gay! Kita selalu menghabiskan waktu sama-sama tiap minggu. Lo tidak pernah melirik cowo’ mana pun. Gue yang melirik cowo-cowo’ itu.”

“Kita sama-sama melirik dan omongin setiap cowo’ itu.”

“Tapi kita omong cowo’ karena gue perempuan! Gue perlu tahu pendapat elo sebagai sesama cowo’!”

Laki-laki adalah salah topik yang kami bicarakan, terlebih apabila aku melihat laki-laki yang menurutku menarik. Buatku itu normal, karena aku sebagai perempuan usia 20-an tidak banyak tahu tentang laki-laki. Jadi bertanya tentang laki-laki ke Rudi sebagai laki-laki adalah wajar.

“Kalo lo dengar omongan gue dengan seksama, harusnya lo bisa tangkap petunjuk gue ke elo bahwa gue juga punya ketertarikan dengan cowo’,” katanya lagi.

“Bagaimana gue tahu kalau yang loe kasih itu adalah petunjuk?,” tanggapku dengan nada bingung.

Beberapa kali sebenarnya aku merasa heran karena ada komentarnya seperti, ’jangan lirik cowo’ yang itu!, taruhan tuh cowo’ gak suka cewe’, kalo cowo´ seperti itu mending lo kasih ke gue aja.’ Tapi tidak pernah terbersit di pikiranku kalau ia mengisyaratkan bahwa ia menyukai laki-laki. Aku tidak bisa menandai karena selama itu gay  yang aku tahu hanyalah laki-laki yang bekerja di salon. Mudah menandai mereka karena perilaku mereka yang lemah gemulai dan obrolan mereka tentang ‘pacar-pacar’ mereka. Tapi Rudi tidak lemah gemulai. Dia berjalan tegap, suara bariton dan merokok. Tanda-tanda yang menurutku tidak menandakan dia adalah seorang gay.

“Lo bukan gay, Rud,” kataku lebih meyakinkan diriku.

“Gue yang lebih tahu diri gue. Gue yakin kalau gue gay. Bertahun-tahun gue mencari jati diri gue. Gue belajar, bahkan sampai ke luar negeri. Gue tanya ke orang-orang yang sudah duluan menyatakan diri mereka gay. Gue bahkan mencoba pacaran dengan cewe’ beberapa kali. Tapi gue gak bisa bohongin diri gue. Semua jawaban atas pertanyaan apakah gue hetero atau homoseksual menunjukkan bahwa gue adalah homoseksual.“

Rudi meraih tanganku.

“Ini yang gue takutkan kalau gue jujur ke elo soal kondisi gue. Bahwa elo gak bisa terima kenyataan. Tapi elo teman baik gue. Gue percaya sama elo. Gue mau  jujur ke elo. Gue mau elo terima apa adanya gue.”

Tanpa terasa, air mataku meleleh. Lalu aku menangis sejadi-jadinya.

“Gue gak mau elo jadi gay! Gue gak terima! Lo jadi pacar gue sekarang! I will have sex with you,” kataku sambil terisak.

Rudi tertawa.

“Elo tuh masih virgin. Ngapain lo have sex dengan gue cuma untuk ngebuktiin kalau gue bukan gay. You are being ridiculous.”

Tapi aku serius dengan perkataanku. Aku rela telanjang saat itu juga untuk membuktikan bahwa Rudi tidak seperti yang dia katakan. Gay adalah kata yang asing, tidak normal, dan lebih berarti kepada hal-hal yang negatif. Agama pun melarang hubungan homoseksual. Apa yang harus aku lakukan untuk tetap mempertahankan persahabatanku dengan Rudi?

Seperti dugaanku, adikku langsung melarang aku bertemu Rudi lagi. Dia berjanji tidak akan bercerita apapun kepada orangtuaku, tapi aku juga harus berjanji untuk melupakan Rudi. Telepon di rumah bahkan discreening oleh adikku sehingga aku tidak menerima telepon dari Rudi, dan Rudi berhenti menghubungiku.  Namun aku tidak bisa melupakan Rudi dan pernyataannya. Bagaimana aku bisa menjadi sahabat baiknya bila aku dengan mudah menyerah atas situasi yang terjadi antara aku dengannya?

Minggu-minggu selanjutnya, di sela waktu luang, aku pergi ke perpustakaan, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan jurusan psikologi di kampusku. Saat itu belum ada internet, sehingga semua informasi harus dicari di buku dan jurnal. Berjam-jam aku membaca dan mencatat hal-hal yang dianggap  penyebab seseorang menjadi homoseksual. Sesekali aku mengajak mengobrol para pekerja salon laki-laki di salon tempatku memotong rambut. Catatanku bertumpuk dan lebih tebal dari catatan kuliah. Lalu ingatanku kembali ke seorang teman di masa kuliah.

---

Namanya Leni. Ia berpenampilan sangat feminim. Kontras denganku yang lebih menyenangi kaos dan celana jeans. Di salah satu mata kuliah yang aku ambil, Leni selalu mencarikan bangku agar aku duduk disampingnya. Karena saat itu, aku kuliah di dua universitas, aku selalu datang terlambat di kampus kedua. Di hari pertama kuliah, aku datang sangat telat. Bangku yang tersisa hanya di barisan terdepan. Leni duduk sendiri di ujung barisan terdepan. Aku pun duduk di sampingnya. Begitulah seterusnya untuk mata kuliah itu.

Satu waktu Leni mengajakku makan di warung bakso di dekat kampus.

“Vi, lo gak pernah dengar gosip tentang gue?”

“Gue mana ada waktu dengar gosip? Lo kan tau sendiri tugas gue dobel karena kuliah di dua tempat. Gue datang ke kampus ini sudah sore. Pulang malam. Kapan bisa bergosip?,” kataku sambil mengaduk sambal di mie bakso.

“Lo gak pernah merhatiin kenapa gue jalan sendiri?,” tanyanya lagi.

Aku menggeleng. Di kampus kedua ini, aku pun tidak punya banyak teman. Fokusku lebih kepada kuliah di kampus pertama yang merupakan salah satu kampus ternama di negara ini. Kampus kedua ini lebih merupakan pilihan ayahku karena merasa jurusan di kampus pertama kurang menjanjikan karir pekerjaan yang bagus.

“Banyak orang gak mau temenan sama gue, karena gue lesbian.”

Mulutku langsung berhenti menguyah.

“Maksud lo?”

“Gue lesbian. Semua mahasiswa di kampus ini tahu,” jawab Leni.

“Jadi kalau lo lesbian, trus kenapa?,” kataku sambil meneruskan makan.

“Mereka ogah temenan sama gue karena takut nanti seperti gue.”

“Gue enggak tuh. Gue masih suka cowo’.”

“Itu lah,” katanya sambil menghela nafas. “Gue punya masalah sama ayah gue, dan sejak itu gue jadi benci laki-laki, dan gak nafsu lagi lihat laki-laki. Keluarga gue bisa terima kondisi gue, dan gak berusaha mengubah gue. Mereka takut kalau mereka paksa, akibatnya malah fatal. Gue bahagia dengan kondisi gue, bahkan gue bisa punya pacar,” jelasnya.

“Pacar lo cewe’ dong?,” tanyaku.

“Lo gak nyimak ya? Ya iyalah pacar gue cewe’. Gue lesbian,” katanya sambil melotot.

“Jadi elo dah gak mau jadi normal?.”

“Emang normal itu apa? Apa yang gue lakukan menurut gue, itu normal. Gue kerja, kuliah, pacaran. Pacar gue sayang sama gue. Keluarga gue tetap perhatian. Gue menjalankan hidup berdasaran pilihan gue. Gue gak ganggu hidup orang lain.”

“Keluarga pacar lo gimana?”

“Pacar gue lahir dengan dua jenis kelamin. Sekarang dia adalah perempuan. Tapi nanti dia akan dievaluasi lagi oleh psikolog, dan diperiksa oleh dokter untuk melihat hormon dan kelamin mana yang lebih dominan. Baru setelah itu dia menentukan mau jadi perempuan atau laki-laki.”

“Hah? Baru dengar gue ada orang seperti pacar lo itu,” kataku sambil tercekat.

“Ya buktinya pacar gue itu,” tanggap Leni.

“Kira-kira dia milih jadi apa?,” tanyaku tertarik dengan kisah si “pacar”.

“Gue sudah bilang ke dia. Kalo kamu memilih jadi perempuan, kita akan tetap pacaran. Tapi kalau dia memilih jadi laki-laki, kita putus.”

“Tapi dia khan orang yang sama, Len. Hanya jenis kelaminnya dan statusnya yang berubah jadi laki-laki,” aku menanggapi.

That’s the point. Dia jadi laki-laki, dan gue gak suka laki-laki.”

Aku menatapnya bingung. Logikaku kurang bisa mencerna pernyataannya. Melihat ekspresiku, Leni pun tertawa.

“Kalo gue suka laki-laki, gue gak jadi lesbian lagi dong.”

Salahkah?, batinku bertanya. Tapi kelihatan kalo Leni sangat yakin dengan kondisinya dan tidak ingin mengubahnya. Ia bahagia dengan pilihan hidupnya, dan tidak memedulikan pendapat orang lain tentang dirinya.

---

            “Rudi, apa lo yakin seyakin-yakinnya bahwa elo dah gak bisa suka lagi sama cewe’?”

            Rudi mesem sebelum menjawab pertanyaanku.

            “First, I want to say thank you for being my friend. Gue ngerti maksud lo baik. Harapan lo supaya gue bisa sama dengan kebanyakan orang adalah wajar. Tapi tiap orang itu unik karena Tuhan tidak menciptakan dua orang yang sama. Lalu Tuhan memberikan kita pilihan untuk menjalani hidup ini dengan segala konsekuensi yang harus ditanggung dan dipertanggungjawabkan langsung ke Dia. Pilihan gue adalah menjalani hidup sebagai gay dengan segala resikonya, dan mempertanggungjawabkannya langsung kepada Tuhan. Gue gak minta dikasihani, diperbaiki atau pun lo bantu. Cukup elo terima apa adanya gue.”

            Aku mengangkat cangkir kopi. Demikian juga Rudi. Kita berdua menyeruput kopi bersamaan. Di luar café, bulan mulai menampakkan diri untuk menggantikan matahari yang akan menyinari belahan dunia lain. Bumi berputar dan kehidupan menyertai.

           

 

 

 

 

iv widget

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.