Jack Pulang Kampung

Jack Pulang Kampung

Jack terpekur Mencoba merangkai ingatan masa lalu yang bersusah payah dia kubur. Ucapan pria yang duduk dihadapannya itu berusaha tidak dia dengar menyeluruh, Ada luka yang begitu dalam dan sunyi sedang menggerogoti hatinya. Lelaki yang dihadapannya ini kira kira berusia 35 tahun. Jauh jauh datang dari pelosok Sumatera sana untuk mencari Jack.
"Bah... mimpi apa aku tadi malam? " gerutu Jack dalam hati. Setelah 25tahun merantau ke Jakarta dan melupakan semua dengan bersusah payah, menerima hinaan demi hinaan, kekalahan demi kekalahan. membunuh setiap  rasa rindu yang datang.  Hari ini  Jack diperhadapkan pada sesuatu yang tidak mampu dia elakkan. Luka masa lalu itu kembali menganga. Tetapi tidak lagi sesakit apa yang Ojak ingat dulu.


Jack menyalakan rokoknya.  Menghisap rokoknya dalam dalam seolah olah ingin mendapatkan keperihan lain di dalam paru parunya sehingga dia dapat mengalihkan rasa ngilu di relung hatinya. 
25tahun lalu dia meninggalkan kampung halamannya. Dengan luka yang demikian hebat, Ojak berhasil tiba di Jakarta kota pelarian, kota impian. Ojak berusia 13tahun ketika itu. Ketika ayahnya dipasung karena penyakit jiwa yang diderita ayahnya sudah sampai pada taraf berbahaya sebab sudah mulai menyerang warga desa. Teringat dengan Inong (ibu) yang bertubuh kurus kering karena terbiasa lapar dan mendapatkan perlakuan buruk dari Among (Bapak) yang sedang sakit jiwa. Ojak teringat rasa lapar yang sering melanda Ojak dan adiknya Sahata. 


Tidak ada sawah ladang, Inong hanya mengandalkan upah harian yang didapatkan dari membantu orang di ladang. Inong tidak sering mendapatkan pekerjaan karena Inong bertubuh kecil dan kurus. Tidak ada saudara yang mendekat. Karena penyakit Among begitu memalukan. Teringat Inong, Ojak tidak kuasa menitikkan air mata. Segera di seka nya mata nya dengan kasar.  "Ah, apa kabarmu Inong?" bisik Ojak dalam hati. Sunyi.
Ojak juga teringat hari itu. Ketika dia melihat Sahata adiknya memungut tungkul Nanas di tempat sampah dekat  gerobak si penjual buah potong. Sahata yang lapar mengambil sisa potongan tungkul nanas dari tempat sampah karena tidak memiliki uang untuk membeli nanas. Sahata menyeringai bahagia, menikmati tungkul nanas dan aroma segar yang memenuhi rongga hidung dan rasa segar di tenggorokannya. Dari Jauh, Ojak mengamati penuh airmata bercucuran.. Betapa Ojak ingin membelikan Sahata sepotong nanas dari potongan terbaik dan termanis. Tetapi apalah daya.. Ojak hanya seorang remaja kampung pengangguran yang ber Ayah kan orang gila yang dipasung. Ingatan-ingatan Jack seperti lecutan lecutan cambuk yang dihujani ke hatinya. Potongan potongan gambar bergerak memenuhi kepala nya, memerihkan matanya. Teringat ada malam yang lapar, hujan dan atap rumah yang bocor yang menghalangi Ojak dan adiknya Sahata untuk tidur nyenyak. Ada gambar berjalan di pikirannya yang menceritakan bagaimana Ojak harus mencuri makanan orang yang sedang panen padi di sawah supaya Ojak dan Sahata dapat mencicipi kuah dari masakan gulai ayam yang diperuntukkan untuk pekerja panen saja. Nasi kuah gulai ayam itu sangat sedap. Bahkan cubitan Inong tidak mampu membuat Ojak jera untuk mencurinya lagi jika ada warga yang panen padi lagi. 


Ojak juga mengenang  hinaan anak anak kampung yang tidak memperbolehkan mereka bermain bersama anak anak kampung yang lain. Sepotong gambar tentang tangisan Inong di tagih uang berobat yang dipinjam untuk membeli obat Among. Atau senyum Inong ketika mendapat jatah beras dari gereja. Setidaknya untuk beberapa hari mereka akan makan nasi. Dapur Inong akan tercium harum sekali. Ada tentang makanan Inong yang sedap meskipun lebih sering makan nangka rebus atau pisang rebus. Kata Inong nangka muda rebus baik untuk kesehatan perut. Lama Ojak paham bahwa itu hanya lah alasan Inong karena upah Inong telah habis untuk menebus obat di apotik. 
Siang yang gersang itu ,Ojak dengan gontai pulang ke gubuk reyot mereka. Setidaknya dia akan tetap menemukan sesuatu di dapur Inong yang penuh jelaga. Ojak melihat Inong memotong motong nangka muda yang akan direbus untuk santapan makan siang sekaligus makan malam. Inong selalu melakukannya jika tidak memiliki apa apa untuk dimakan, Inong akan segera ke pekarangan gereja mengambil nangka muda sebagai makanan mempertahankan hidup.  Selalu begitu, Entah kesabaran apa yang dimiliki oleh Inong, batin Ojak selalu.


Itu pulalah yang menjadi hari terakhir melahap rebusan nangka muda. Karena kemudian Ojak sudah melarikan motor pendeta yang sedang parkir di halaman gereja dan menjualnya kepada penadah di kota. Tidak lupa , Ojak meninggalkan beberapa lembar uang untuk membeli beras dan membelikan ayah obat , dan juga membeli beberapa buku tulis untuk si Sahata. 
Ojak melarikan diri dan membawa mimpi untuk menjadi pria sejati. Menjadi pria yang seperti Among anak anak lain. Yang menjadi  pelindung, menafkahi dan memberikan hadiah hadiah kepada anaknya. Bukan seorang laki laki yang membuat istri dan anaknya kelaparan. Bukan seorang laki laki yang menyerah pada keadaan dan kehilangan akal sehatnya. Menjadi gila dan DIPASUNG! Bibir Ojak bergetar menahan keperihan itu kembali datang menyergapnya. 


“ Ayolah kita pulang, Abang…” ucap pria yang dihadapannya itu membuyarkan lamunan Ojak.
“ Apa kabar Inong?” tanya Ojak sekali lagi. 
“Inong merindukanmu. Sejak kamu pergi, Inong selalu menunggumu hingga sekarang. Inong selalu mendoakanmu. Itu pula pesan Inong padaku. Tidak perduli berapapun saya harus membayar, saya harus membawamu pulang, Abang..” dengan suara tercekat Sahata menjelaskan. 
“Kita tidak lagi semiskin dulu. Sekarang saya pedagang dan memiliki toko yang penghasilan ku sudah bisa memberikan inong rumah yang layak. Aku juga sudah punya toko dan rumah di kota.Ayolah kita pulang, Bang… Tidak ada yang menghinamu lagi di kampung. Bahkan dulu pun Amang Pendeta juga tidak melaporkanmu ke Polisi “ jelas Sahata hati-hati. 
“Tidak lama setelah kamu pergi, kondisi kesehatan Among semakin memburuk. Seringkali dia mengamuk dan menjerit jerit memaki maki. Kadang kadang Among menangis memanggil namamu sambil mengantuk antuk kepalanya ke dinding pohon tempat Among dipasung” lanjut Sahata menjelaskan dengan perasaan campur aduk. “Tidak sampai setahun, Among meninggal” sesaat keduanya terdiam seperti sedang mengirimkan doa kepada Tuhan. 

Ojak yang kemudian dikenali sebagai Bang Jack. Mengawali hidup di Jakarta sebagai pelarian. Remaja kampung, masih ingusan , bertarung membawa tekad dan mimpi ke Jakarta. Tidur di terminal atau emperan toko atau dimanapun Ojak dapat merebahkan kepalanya. 
Kehidupan jalanan sudah membentuk Ojak menjadi Jack. Lelaki pekerja keras yang suka tertawa dan sangat sopan kepada wanita. Mungkin itu sedikit bentuk permintaan maaf Ojak kepada Inong yang menangis menunggu dirinya. Tidak banyak pencapaian Ojak. Dari kuli panggul di pasar menjadi kernet Metromini maupun kopaja. Pencapaian tertinggi adalah menjadi supir cadangan tanpa SIM. Karena selain tidak tahu baca tulis, Ojak juga tidak memiliki identitas. 

Pencarian Sahata bertahun tahun membuahkan hasil. Seseorang dari Jakarta membawa kabar bahwa dia melihat Ojak di terminal Rawamangun. Berbekal informasi ini, Sahata berangkat diiringi doa Inong untuk menemukan Ojak, anak kesayangan yang lari dan hilang. 

Pertemuan Sahata dan Ojak sangat pilu. Butuh berminggu minggu untuk Sahala menemukan Abangnya bertanya dari satu kondektur ke kondektur lain. `Tidak ada photo sebagai alat bantu pengenal.Hanya ciri_ciri fisik yang mungkin sudah hilang. Untung nya wajah Sahata mirip dengan abangnya. Seorang perempuan penjaga warteg memberi tahukannya. “Jangan -jangan yang mas maksud itu adalah abang Jack. Soalnya wajahnya mirip” kata perempuan itu sambil sibuk meladeni pembeli. 
Bermula dari sana, kemudian Ojak dipertemukan di warteg itu dengan Sahata. Tidak kuasa `Sahata menangis keras ketika bertemu dengan Bang Jack, Ojak abangnya. Ojak sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, ada bangga melihat penampilan adiknya, ada rindu yang menggunung, ada rasa malu, berbagai perasaan bercampur menjadi satu dalam pelukan tangis. 
“Ayolah kita pulang Bang… apakah ada wanita yang sudah kau peristri di Jakarta ini?”selidik Sahata. Ojak menatapnya sekejap kemudian kembali wajahnya menekuri lantai.
Mbak Tri yang penjaga warteg kemaren sudah menceritakan pada Sahata bahwa Ojak belum menikah. Ojak tidak pernah punya keberanian menikah. Hubungan asmara nya berganti ganti, tetapi tidak satupun yang berlanjut ke perkawinan. Sebesar apapun Ojak mencintainya, Ojak selalu memiliki pengharapan bahwa perempuan yang dinikahinya adalah seorang yang mendapat restu dari Inong.
Rasa takut yang pernah menghajar Ojak di masa remaja membuatnya lari sejauh mungkin dari kampung halaman. Menjalani kehidupan yang keras, membunuh setiap kali rasa rindu hinggap. Sahata menghidupkan kembali rasa rindu itu dengan caranya sendiri. Betapa ingin dia memeluk Inong ketika suatu kali di bulan bulan pertama Ojak menginjakkan kaki ke Jakarta, dipukuli oleh preman. Diperlakukan sangat tidak manusiawi. Malam ketika Ojak babak belur dipukuli oleh preman yang mabuk, malam dimana Ojak membutuhkan pelukan Inong, di saat yang sama memutuskan untuk melupakan Inong, Among, Sahata dan kampung halaman. Rasa itu hadir kembali, meronta ronta semakin hebat dalam hati Ojak. 

“Saya tidak memeliki uang” kata Ojak sambil menundukkan wajah. “Aku tidak mendapatkan hal baik dalam perantauanku” lanjut Ojak lagi. “Jangan khawatir, Bang.. saya sudah punya uang sekarang. Berapa ton nanas sudah bisa kubeli” jawab Ojak sambil menitikkan airmata bahagia. 
Mereka kembali berpelukan. Lebih erat dari ketika mereka dihina oleh teman sekampung di masa kecil. 
Malamnya Ojak hampir tidak mampu memejamkan mata. Karena suara yang paling merdu yang didengar nya dari telpon sudah menyita seluruh hasratnya. Pesawat pertama pagi ini dari bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Polonia Medan, Ojak dan Sahata tidak berhenti saling menatap dan tersenyum bahagia. 
“Inong, Aku pulang…”kata Ojak ketika pesawat lepas landas meninggalkan Jakarta.

 

Sekarang Jack tahu bahwa paling ksatria menjadi laki-laki adalah berani menghadapi kenyataan meskipun sepahit apa itu terlihat. 

Membawa pulang mimpi yang sama, bahkan lebih besar, Ojak pulang kampung. Ojak bertekad memperbaiki apa yang pernah Ojak rusak dulu.Tentu dengan semangat yang baru, semangat seorang laki-laki yang tangguh. 

 

Selamat datang kembali, Ojak 

Unnie

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.