Tenggelam di Laut Kelam
(Dan sungguh Kami akan memberimu cobaan berupa sedikit ketakutan) terhadap musuh, (kelaparan) paceklik, (kekurangan harta) disebabkan datangnya malapetaka, (dan jiwa) disebabkan pembunuhan, kematian dan penyakit, (serta buah-buahan) karena bahaya kekeringan, artinya Kami akan menguji kamu, apakah kamu bersabar atau tidak. (Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar) bahwa mereka akan menerima ganjaran kesabaran itu berupa surga. [Al Baqarah:155]

Darahku mengalir dari pergelangan tanganku, masih terasa lunglai tubuhku akibat obat penenang yang kuminum sejak beberapa jam tadi. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berakhir di sini, di atas ranjang, sendirian. Inikah pembaringan terakhirku? Sepertinya aku tidak merasakan apa-apa, sakitpun tidak. Hanya lemas yang berangsur-angsur lebih mendalam, seperti tenggelam di dalam air es. Mungkin ini adalah akhirku, dadaku mulai terasa sesak, namun jantungku terasa lamban berdetak. Aku merasakan ketakutan, tapi tak kuasa tubuhku bergerak apalagi berteriak.
Pikiranku mengawang, apa yang akan terjadi kepada keluargaku? Apa yang akan terjadi kepada orang tuaku? Aku sudah tidak lagi bisa menahan mataku, tapi aku bisa merasakan sakitnya sekarang, “tidak! aku tidak mau mati! Tuhan maafkan aku!”
Beberapa tahun sebelumnya.
Namaku Rioko, orang tuaku memanggilku Oko, ini cerita hidupku. Aku adalah pemilik anak perusahaan dari perusahaan yang tidak lain didirikan oleh ayahku yang sudah meninggal, dan mewariskan kekayaan yang terdiri dari beberapa perusahaan. Karena perusahaan ayahku tersebar di beberapa kota, aku harus hidup berpisah dari ibu dan kakak laki-lakiku karena kami harus mengurus beberapa perusahaan ayah. Ibuku berbeda jauh dari ayah, dia adalah seorang ibu yang selalu sibuk dengan urusan komunitasnya sendiri, jadi dia tidak mau direpotkan dengan urusan usaha keluarga. Namun ibuku adalah seorang ibu yang tidak akan pernah menikahi orang lain, setelah sepeninggalnya ayah. Ibu memiliki komitmen dalam pernikahan, dia selalu merasa pernikahan adalah sesuatu yang sakral, dan cintanya kepada ayahku, sepertinya sebuah ikatan yang sarat dengan nilai-nilai tradisional.
Ayah dan ibuku, bukan seperti orang tua yang pada umumnya, saat aku dan kakakku masih kecil, ayah selalu mengajarkan kami bagaimana agar bertahan hidup dalam kesulitan. Ayah bukanlah pengusaha yang sukses pada awalnya, ayah hanyalah pegawai dari sebuah perusahaan kecil namun keuletannya dalam bekerja, ayahku bisa menyekolahkan aku dan kakakku di sekolah yang cukup bagus, ayah selalu berpesan, “sekolah itu kamu harus ranking satu, supaya kamu jadi insinyur!” Mungkin insinyur adalah gelar tertinggi yang membanggakan di masa ayahku.
Tegas dalam mendidik, obsesi dalam mengajarkan anak-anaknya agar sukses, sudah tertanam sangat mendalam di hati, dan hingga saat ini, itulah pendidikan yang tersalurkan ayah untukku dan kakakku. Kami berdua dituntut untuk kerja keras dan kesempurnaan di setiap detil dan hasil. Perjuangan sampai titik darah penghabisan untuk memenuhi hak anak dalam mendapatkan pendidikan tertinggi. Ya begitulah ayah, beliau mungkin bukan figur seorang ayah yang lembut, tapi kasih sayang yang tidak tampak dalam kelembutan, mengalir jelas dari keteguhan dan kegigihan ayah dalam mengasuh dan mendidik. Dalam situasi yang berbeda, ayah rela bekerja hingga harus jauh dari keluarga, agar kebutuhan terpenuhi. Peluh yang menetes dari dahinya saat pulang ke rumah, kadang membuat ibu terisak karena ibu tahu keringat itulah yang akan menjadikan pemberat timbangan kebaikan ayah di akhirat. Ibu selalu berkisah tentang pemberat timbangan kebaikan, walau hanya seberat zarrah atau debu, itu bisa mengantarkan kita ke surga kelak.
Ibu adalah figur pengingat diri akan surga dan neraka, walaupun hanya belajar agama sedikit dari buyut, dan mungkin itupun hanya sebatas surat Al Fatihah yang bisa dihafalnya. Dengan surat hafalannya aku dan kakakku selalu dibacakan oleh ibu berulang-ulang, tidak tahu untuk apa, tapi dengan keterbatasan itu, ibuku mengajarkan aku dan kakakku untuk terus menerus berpegang erat pada tali agama Islam, ibu selalu berpesan, “jangan pernah lupa sama Gusti Allah, supaya Allah ingat kamu terus.” Saat mendengar pesan ibu aku tidak terlalu memahaminya, tapi yang aku tangkap, maksud ibu yah jangan lupa shalat.
Pola pengasuhan yang jauh dari ideal namun menancap kuat pada nilai pendidikan dan agama. Aku dan kakakku berhasil bukan karena kami bisa, tapi karena ayah dan ibu yang terus menerus mengasah, mengasuh dan mengasih kami. Ayah dan ibu memang sama-sama berdarah Jawa Timur yang kental akan budaya wedi, isin, dan sungkan. Dalam pengasuhan di keluarga kami, wedi atau takut maksudnya adalah sikap patuh dan jangan pernah menantang orang tua, isin adalah menjaga rasa malu dan tidak memalukan, sungkan adalah sikap untuk selalu rendah diri terhadap orang yang lebih tua. Didasari oleh tiga prinsip ini, ayahku tidak pernah mengizinkanku untuk memilih apapun sendiri. Hingga aku pun tidak pernah merasa puas dengan apa yang aku lakukan, karena semua itu harus atas kehendak ayah. Kami diajarkan untuk selalu tunduk patuh, menjaga martabat agar tidak memalukan terutama dalam pendidikan, serta tidak pamer atau menyombongkan kekayaan materi ataupun jabatan.
Benar-benar pakem jawa yang membuatku sedikit terhimpit karena aku dibesarkan di Jakarta, sebuah kota besar di mana peleburan multikultural sangat dinamis, tapi kurasakan begitu luar biasanya nilai positif yang menjadi bekalku sebagai manusia dewasa.
Karena darah jawa inilah aku harus menjaga tiga prinsip yang sangat mengakar di relung jiwa ayahku, walaupun di masa aku beranjak dewasa, sangat sulit menjalaninya. Terlebih lagi aku kuliah di salah satu universitas internasional, di mana semua budaya kedaerahan tidak lagi diperhitungkan. Begitu banyak pertentangan yang harus dihadapi dalam beranjak dewasa, dan akupun harus tetap menjaga akar kebudayaan keluarga.
Tidak lama, penghasilan dari usaha ayah semakin maju dan berkembang, aku dan kakakku dikuliahkan dengan tujuan agar ayah bisa mewariskan usaha kepada anak-anaknya. Ya, memang semua terserah ayah. Tidak ada kata “tidak mau” yang bisa diterima oleh ayahku. Kalaupun tidak mau, maka itu sudah menjadi nasib pertarungan batin antara diriku dan kewajibanku. Aku hanya berharap, aku bisa membuat ayahku berhenti mengatur hidupku.
Saat aku sudah dewasa, aku berpikir bisa mengatur hidupku, ternyata akupun masih dipaksa untuk menjadi seorang pimpinan perusahaan ayahku yang membuatku sejujurnya merana, karena banyaknya cibiran dan cemoohan, mereka mengecap diriku sekadar boneka polesan yang mewarisi harta kekayaan. Aku tidak tahu apakah mereka iri karena apa yang aku miliki, atau memang itulah manusiawi, mencari kesalahan orang lain tiada henti. Ibarat diriku ditelanjangi sampai benar-benar tidak ada lagi ruang untuk bersembunyi.
Aku sudah merasa muak dengan perspektif orang lain tentang diriku, hidup di bawah bayang-bayang membuatku rapuh, sementara memendam amarah yang bergejolak menutup jiwaku separuh. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan kondisi ini. Kecemasan yang membuat diriku harus selalu mawas diri, menjaga pencitraan diri yang tinggi, dan hampir tidak ada alasan untuk membuat kesalahan, jikapun ada yang luput dengan sigap aku harus memperbaiki.
Aku memiliki High Functioning Anxiety di mana kesempurnaan dan keteraturan seperti tingkat tertinggi di piramida kehidupanku. Kondisi gangguan psikologis yang tidak terlihat dari luar, tapi jika level kecemasan meningkat, tidak jarang aku sulit mengendalikan atensi dan emosi, semua bercampur aduk membuat frustrasi. Bahkan hal ini sering membuatku memikirkan untuk mengambil jalan pintas, walau tidak pantas. Menyendiri bukanlah sebuah pilihan, aku tidak memiliki teman yang mampu menemaniku di saat diriku stress. Teman bagiku hanyalah semacam penambah kewalahan, kebanyakan memang mereka tidak akan memahami kondisi pertarungan yang sedang aku lawan, semua orang hanya bisa berkomentar, “tenang saja, sabarlah! It is only in your mind!”Biasanya aku memang akan mengacuhkan, tapi kali ini naluriku mengingatkan, “I am not fine!”
Tidak ada yang bisa aku jadikan sandaran atau memang gangguan kecemasan telah merasuki alam bawah sadar sehingga membuat diriku tak lagi bisa bersosialisasi dan menghadapi casual conversation atau basa basi. Ada banyak momentum yang membuat diriku memilih tidak punya teman asal hidup nyaman, karena nyatanya teman itu adalah racun buat orang yang bermasalah kejiwaan, karena kondisi ini membuat seluruh indera dan otak lebih peka menyerap semua rasa, sensasi, pengalaman dan pemahaman, tidak jarang, seluruh emosi yang tidak bisa kusaring membuatku justru tidak sanggup melawan. Di sisi lain ini adalah kekuatan, karena aku lebih bisa mengendalikan perusahaan secara terorganisir dan berorientasi detil. Semakin tinggi kecemasanku semakin aku tidak membutuhkan orang lain dalam mengatasinya, namun di dalam diri aku seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, di mana saja, tanpa perencanaan.
Maka, aku hanya bisa menemui orang-orang yang memang berkebutuhan untuk pekerjaan dan yang berhubungan dengan perusahaan. Keluh kesah tidak lagi menjadi kebutuhan untuk diluapkan, karena prioritasku tertuju pada pencitraan dan kesibukan. Aku tidak bisa menampakkan kerapuhan di depan orang, terlebih lagi para asisten dan rekan kerja, aku tidak boleh terlihat lelah, apalagi lemah. Walaupun mengganjal di dalam benak, membuatku sesak, seperti terinjak. Aku hanya bisa memendam semua emosi negatif yang bergejolak.
“Kenapa aku harus terlihat sempurna? Kenapa aku selalu merasa takut untuk menjadi manusia?”
Batinku berteriak, karena seluruh materi yang kumiliki hanya bisa membuat jiwaku nyeri. Tidak ada lagi rasa bahagia, hanya tersisa hampa. Mereka tidak akan pernah memahami kondisiku, karena semua yang mereka lihat adalah palsu. Ibarat aku seperti seorang nakhoda perahu layar yang tersesat terombang-ambing di tengah lautan dan badai, berusaha melewati ombak yang menerjang di tengah gelapnya malam, aku hanya bisa pasrah tenggelam.
“Apa yang sebenarnya harus aku tempuh dalam hidup?”
Pertanyaan yang belum bisa aku jawab karena kehidupanku saat ini hanya berputar di tengah-tengah tanpa arah. Materi melimpah, keluarga tak lagi mesra, teman tak ada yang bisa aku percaya. Orang-orang yang berada di sekelilingku mereka semua berpikir sama, kalau bukan mengejar fakta berita, mereka mengejar gosip recehan, semua hanya bualan. Bagi mereka aku adalah properti hiasan yang menghasilkan uang.
“Begitukah manusia zaman sekarang? Tidak ada lagi kemurnian dan kepolosan? Mereka berpikir kepopuleran dan kemewahan adalah akhir cerita, seperti dongeng Cinderella? Padahal kalau mereka tahu, aku hanya ingin menjadi alien yang bisa terbang ke luar angkasa dan menghilang dari sorotan dunia. Aku terpuruk di dalam kemegahan hiruk pikuk, duniaku tak lagi berarti, rasanya memang lebih baik mati.”
Di saat orang lain terprogram menjadi seperti robot yang selalu ikut-ikutan, aku mempelajari konsep diri dan memilih untuk menjadi yang terasingkan. Karena yang terlihat saat ini, semua orang termasuk diriku, jiwanya semakin terkikis menipis, mudah terbuai lalai akibat banyaknya pengaruh social media feeds yang menggerogoti psikis, sangat tragis.
Terngiang di dalam kepalaku sebuah filosofi “Hidup Sempurna Mati Legenda”, menjadi pertanyaan sekaligus pencarian di benakku, apakah filosofi itu benar adanya? Sepertinya yang membuat filosofi itu sekedar khayalan para pecinta musik dan junkie halusinasi akibat overdosis psikedelik.
Beginilah pertarungan batin di dalam diriku menjadi sebuah dialog antara pikiranku sendiri, benar-benar gangguan jiwa. Sepertinya sebuah harga yang harus aku bayar karena hidupku begitu “sempurna”.
Manusia sebenarnya sudah diciptakan sempurna, tapi kenapa kehidupan ini menuntut manusia harus melebihi kesempurnaan yang telah diberikan Sang Pencipta?
Apakah aku yang salah? Apakah aku harus menjadi lebih dari yang terbaik?
Pertanyaan demi pertanyaan dalam benakku, seperti sebuah peluru yang membombardir kalbu, menguak perasaan sendu dan pilu.
Hari demi hari semua pertanyaan itu menjadi gunung yang berat, karena tidak dapat terjawab dan akhirnya menjadi penat.
Aku hanya bisa berbaring di ranjangku, sendiri, tidak ada solusi. Seluruh badanku terasa nyeri. Aku putuskan untuk bunuh diri.
Ketakutan yang dahsyat mulai kurasakan dari kaki menjalar ke atas tubuh, dan kerongkonganku. Aku tak bisa lagi bersuara atau bergerak, oksigen tak lagi bisa kuhirup, semua sensasi dan akalku tertutup, hanya satu pikiran yang terbersit, “aku tidak mau mati, aku tidak mau mati.” Lalu semua gelap.
Pagi menjelang, burung berkicauan, aroma kopi dan sentuhan hangat di jari jemari membuat inderaku terstimulasi. Cahaya matahari yang menyilaukan membuatku enggan membuka mata, aku berada di sebuah kamar yang bercat putih, bersandar di atas tanganku kepala ibuku sambil memegang lembut tanganku, tertidur lelah dengan air mata membasahi pipi. Aku mencoba mengingat apa yang terlah terjadi, tapi kepalaku terasa pening. Lalu kulihat perban yang terlilit di pergelangan tanganku, terasa perih. Seketika air mata menetes penuh penyesalan, aku hanya bisa menangis pelan. Isakanku membuat ibu terbangun, langsung memelukku erat, begitulah seorang ibu yang sangat memahami kerapuhan sang buah hati tak perlu sepatah kata, hanya sebuah pelukan yang hangat.
Kemudian kakakku datang menenangkan, “Ko, kamu sekarang sudah di rumah sakit, tidak apa-apa Ko. Aku dan ibu di sini.”
Aku hanya bisa menyapa kakakku dengan senyuman, bukan kebahagiaan, tapi kelegaan yang tidak akan bisa tergantikan. Sentuhan hangat keluarga yang kurindu dan tak kusangka kicauan burung dan aroma kopi yang tak pernah aku hiraukan, menumbuhkan rasa syukur yang telah lama hilang dari kalbu.
Selang beberapa hari, aku pulang ke rumah ibuku bersama kakakku, mencoba mulai menata hidupku kembali, dengan langkah-langkah bayi. Aku menyadari bahwa aku manusia yang tidak akan bisa sempurna tapi bisa membuat hidup lebih bermakna. Tragedi malam itu takkan pernah bisa terhapus, tapi aku yakin sekarang bahwa harapan takkan boleh pupus. Karena Tuhan telah memberiku sebuah hidayah yang luar biasa dan pastinya bukan lagi fatamorgana. Aku mulai hijrah dari kehidupanku yang sebelumnya dan memperdalam tentang makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya.
Manusia diciptakan dengan akal sehat dan hati nurani untuk terus menerus menggali potensi dan batasan diri, namun di dalam jiwa manusia terdapat sifat-sifat yang lemah inilah yang membuat manusia itu menjadi manusiawi, bukan berarti manusia yang mengalami kondisi gangguan kejiwaan tidak memiliki akal sehat ataupun hati nurani, keduanya tetap ada. Yang berkurang atau bahkan hilang hanyalah pembatasan diri dan makna hidup yang hakiki. Manusia pasti diberikan ujian demi ujian dan takkan pernah berhenti, sampai mati. Dan tidak akan ada yang sempurna dalam hidup kita, namun kita bisa berusaha menjadi lebih baik di dunia, untuk menggapai surga.
Semua kondisi kejiwaan atau psikis serta pengalaman traumatik seseorang adalah bagian dari proses kehidupan yang tidak boleh diumbar tapi perlu diberikan perhatian yang sama seperti kondisi kesehatan fisik apapun, namun bukan berarti kondisi jiwa yang terluka atau terganggu menjadi sandaran bahwa hidup seseorang tidak berhasil, gagal atau tidak bermakna. Justru, bisa dijadikan acuan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang pasti selalu membutuhkan bantuan dari orang lain, jadi manusia memang membutuhkan bantuan profesional seperti psikolog atau terapis, tidak terbatas hanya dengan kondisi jiwa tertentu atau terganggu.
Dalam aspek manusia sebagai mahluk yang beragama, makna hidup yang hakiki adalah yang bersumber dari Tuhan. Oleh karenanya, makna hidup seseorang akan menjadi lebih jelas terpetakan jika manusia mengambil petunjuk yang berdasarkan sumber-sumber Ketuhanan.
---->>><<<----
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.