Kisah Anak-Anak Jalanan
Namaku Yanto. Ketika masih kecil, aku ditinggal pergi begitu saja oleh ibuku. Aku berteriak-teriak histeris memanggil ibuku, tetapi tak pernah lagi bertemu dengannya. Rasanya sangat sedih, panik, dan mau mati saja.
Aku tidak pernah tahu keberadaan ayahku. Karena tidak memiliki saudara, akhirnya aku terlunta-lunta dan menjadi anak jalanan. Aku makan apapun yang bisa kudapatkan sepanjang perjalanan. Kadang ada orang baik yang memberiku makanan, tetapi lebih sering aku mengais-ais tempat sampah untuk menemukan makanan.
“Ibuuu …. Ibu …. Ibu di mana? Ibuuu ….”
Aku terus berjalan, sambil memanggil-manggil ibuku. Aku berharap menemukan ibuku. Siang hari ketika matahari terlalu terik, aku beristirahat sejenak jika menemukan tempat teduh. Sering kali aku terus berjalan terseok-seok. Aku tidak memakai sandal atau sepatu, sehingga kakiku terasa panas dan perih.
Jika melewati rumah orang, aku tidak selalu bisa numpang berteduh. Mereka cenderung menyuruhku pergi. Mungkin karena tubuhku sangat kotor, atau mereka tidak mau berurusan dengan anak jalanan sepertiku.
Di perjalanan, aku bertemu dengan anak-anak jalanan yang kurang lebih punya nasib mirip denganku. Kebanyakan mereka lebih tua dariku. Rata-rata mereka tidak ramah kepada sesama anak jalanan, apalagi yang masih anak kecil sepertiku. Jika bertemu di jalan, aku memilih menghindari mereka.
Ketika langkahku makin gontai, tubuhku bergetar karena lemas kurang makan, aku menemukan sebuah rumah yang terlihat ‘mengundang’. Kulihat beberapa anak jalanan ada di teras rumah sedang makan. Aku memberanikan mendatangi rumah itu. Semoga tidak ada yang mengusirku.
“Halo …. Aduh kasihan sekali, kamu, Nak. Tubuhmu kok gemetaran dan kurus banget. Ayo, ke sini ikut makan, yuk. Mama ambil tambahan makanan, ya. Tunggu ….”
Pandanganku sudah berkunang-kunang. Aku meilihat seorang perempuan setengah baya yang menyambutku. Aku pasrah duduk di teras dan mulai makan. Aku tidak bisa makan banyak, tubuhku terlalu lemas. Aku menyandarkan badan dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
* * *
“Halo, Sayang. Untunglah kamu sudah bangun. Mama ambilkan minum, ya?”
Kala aku membuka mata, aku menyadari bahwa aku berbaring di tempat yang empuk, hangat dan nyaman. Dengan badan masih lemas, aku menerima minum dan makanan yang disodorkan si ibu itu. Dia menyebut dirinya mama, dan dia segera mengurusku.
Setelah beberapa hari, kondisi tubuhku perlahan membaik. Di pagi hari, aku sarapan di teras rumah. Kadang aku berjalan di sekitar rumah sambil menikmati sinar matahari pagi. Beberapa anak jalanan ikut sarapan di teras. Seiring waktu, aku mengenal mereka satu demi satu.
Ada satu, yang meskipun memiliki badan kekar seperti preman, tetapi dia baik hati. Namanya Dobi. Dia selalu menunggu sampai yang lain makan, barulah dia terakhir makan.
Makanan selalu cukup bagi kami semua, mama memastikannya. Ia selalu menyebut dirinya sebagai mama. Kami memanggilnya mama.
Selain Dobi, ada lagi cowok yang pendiam. Namanya Jiji. Dia suka memanjat pohon rambutan di depan rumah, dan nongkrong di dahan di ketinggian. Ia juga baik, bukan yang suka konfrontatif.
Yang ketiga adalah sosok yang tangguh, meskipun dia cewek. Namanya Is. Sepertinya Is sebaya dengan Jiji. Jangan coba-coba mengganggu Is, karena tanpa banyak cingcong dia akan melabrak.
Satu lagi yang sebaya dengan Jiji adalah Cuprit. Dia cewek, kurus, cantik, namun tipe yang menjaga jarak. Cuprit sering terlihat berdua dengan Jiji, kecuali saat Jiji nongkrong di pohon.
Yang kelima sangat berbeda dari empat sebelumnya. Mama memanggilnya sebagai Nona. Nona ini tipe ekstrovert dan galak. Dia cantik dan selalu jadi pusat perhatian. Hanya Nona yang berani berlagak layaknya dia si empunya rumah. Dengan cuek ia duduk dan bahkan goleran di sofa di ruang tamu. Bahkan Nona berkali menginap dan tidur di kamar. Yang lain mana punya nyali? Mungkin karena cantik, Nona cepat punya pacar dan bahkan kemudian hamil. Ketika melahirkan dan beberapa waktu setelahnya, Nona jarang mengunjungi rumah mama.
Perlu kuceritakan, bahwa anak-anak jalanan yang mampir ke rumah mama biasanya terbatas hanya pada jam makan dan hanya di teras. Rumah mama seakan berfungsi sebagai shelter.
Aku merasa kerasan di rumah mama, apalagi selalu dimanjakan oleh Kakak Wid, anak mama. Beberapa kali aku sempat sakit parah, tetapi untungnya mama dan Kakak Wid sigap membawaku ke dokter. Sejak masa pemulihan dari sakit, aku lebih sering mengurung diri di kamar. Lebih tepatnya, mama tak lagi mengizinkan aku ke luar rumah. Aku jadi jarang berinteraksi dengan teman-teman.
Yang kemudian kutahu, Nona beberapa kali mengajak anaknya datang berkunjung. Hanya saja, mama membatasi gerak-gerik Nona. Sepertinya semua dilakukan demi aku, yang waktu itu sedang sakit.
“Maaf, sementara ini Nona tidak boleh menginap. Yanto masih sakit dan perlu istirahat.”
Nona seketika cemberut dan sepersekian detik kemudian berteriak-teriak marah. Mama bergeming. Makanan dan minuman tetap tersedia untuk Nona, anaknya dan yang lain, tetapi hanya aku yang tinggal di dalam rumah.
Akhirnya setelah beberapa kali aku bolak-balik ke dokter dan terkapar di pembaringan, akhirnya aku sembuh. Horee!! Hanya saja, hingga kini mama belum mengizinkan aku ke luar dari rumah.
“Mas, Mama enggak ngasi kamu maen di luar rumah, ya. Kata bu dokter tunggu sampai treatment berakhir, baru setelah itu boleh, deh. I am so sorry, but that’s the way it is.”
Sebenernya aku bosen hanya di rumah saja. Aku sudah mencoba membujuk mama, tanpa hasil. Aku hanya bisa mengamati dan mengikuti perkembangan berita teman-teman lain dari dalam rumah.
Nona tidak pernah lagi datang. Kudengar ia kehilangan anaknya, yang mati entah kenapa. Nona memilih tinggal bersama sebuah keluarga di RT sebelah.
Cuprit yang pendiem itu, masih rajin berkunjung, bahkan ketika dia hamil dan melahirkan. Hanya saja, tak pernah dia mengajak anaknya. Beberapa waktu kemudian, Cuprit tak lagi datang. Jiji yang selalu bersamanya tidak tahu ke mana Cuprit menghilang. Jiji semakin menarik diri, meskipun dia masih selalu menyapa hangat mama ketika bertemu. Jiji lebih sering menghabiskan waktunya di ketinggian.
Is juga hamil dan melahirkan bayi kembar. Setelah kedua anaknya agak besar, Is mengajak keduanya, yaitu Ella dan Cinder, berkunjung ke rumah bahkan akhirnya mereka bertiga menetap di halaman belakang. Awalnya kedua anaknya tampak malu-malu jika bertemu mama dan Kakak Wid. Seiring waktu, keduanya mau mendekat. Ketika mereka bertiga tinggal di halaman belakang, mama menyediakan makanan dan minuman juga di teras belakang.
Sebenarnya suasana sempat menyenangkan. Aku sudah sembuh dan aku bisa berkomunikasi dengan teman-teman meskipun hanya dari dalam rumah. Paling sering aku menemani si kembar ketika mereka makan, dari balik pintu.
Ngerrooong … ngerrooonggg … NGEERRRROOONNGGGG ….
Di suatu hari, terdengar teriakan-teriakan dari luar. Tidak hanya sekali dan satu hari, tetapi semakin sering dan hampir setiap hari. Jiji membalas teriakan itu, dan mencoba menghadapi si pembuat onar. Hanya saja, karena karakter Jiji lembut dan ogah confront, akhirnya Jiji memilih nangkring di ketinggian. Ia bersembunyi di atap, yang aman karena si pembuat onar tidak bisa memanjat dan mencarinya ke sana.
Sementara itu, Dobi sudah tidak pernah datang lagi. Satu-satunya laki-laki yang ada untuk melawan si pembuat onar ini adalah aku: Ubiyanto. Masalahnya, mama belum mengizinkan aku ke luar rumah.
Ngeroong … ngeerrrrrooooongggg … NGERROONGGG!!!
Aku hanya mampu berteriak-teriak dari dalam rumah. Bulu-bulu oranye di punggung dan ekor pendekku berdiri ketika aku jengkel dan marah kepada di pembuat onar itu.
Mama menamai si pembuat onar itu Black Tail. Memang bulu ekornya berwarna hitam, badannya berwarna putih. Moncongnya pendek, bulunya panjang dan sangat dekil. Si Black Tail sepertinya lebih tua dariku dan bertampang preman, tetapi aku tidak takut. Beberapa kali aku berhadapan dengan dia dengan kaca jendela sebagai batas di antara kami. Kami saling teriak.
Ulah si Buntut Hitam jelek itu sungguh membuatku marah! Kadang dia berteriak-teriak di halaman belakang dan membuat si kembar bersembunyi ketakutan. Is bahkan tidak tahan dan memutuskan pergi begitu saja meninggalkan kedua anak gadisnya.
Mama juga terganggu dengan kedatangan si preman jelek itu. Biasanya ia akan ke luar rumah dan mengusirnya. Mama tidak tahan karena si kucing jelek itu hobi pipis-pipis di mana-mana untuk menandai teritorinya.
Sebenarnya aku sudah bilang ke mama bahwa aku bisa menghadapi si preman jelek itu. Sayangnya mama tidak memberiku kesempatan. Aku tetap harus tinggal di dalam rumah.
“ADUUUUHHHHHH!!!!! Ubiiiii … kenapa kamu malah nyokot dan nyakar Mama???”
Mama berteriak kesakitan ketika aku lepas kontrol dan menggigit dan mencakarnya. Kaki dan tangannya berdarah.
Ulah si Buntut Jelek itu membuatku sangat marah dan pengen ngamuk rasanya. Mama mengurungku di kamar ketika dia keluar rumah untuk mengusir si kucing preman itu. Di kamar aku meraung-raung marah, dan ketika mama membuka pintu, aku lari menubruk mama dan menggigitnya.
Teriakan kesakitan mama dan sikap mama mendiamkan aku beberapa hari setelahnya, tidak memberikan efek jera kepadaku. Aku bahkan mengulangi di kesempatan lain, sampai tiga kali!
Sejak itu, mama membiarkan aku meraung-raung marah ketika Black Tail membuat ulah. Dia mengusir Black Tail ketika aku tidak mengetahuinya.
Aku tak tahan dengan kelakuan si preman itu. Kata mama, aku harus menunggu setelah vaksin dan steril sebelum aku boleh maen di luar rumah. Apapun artinya itu, aku sangat ingin segera bisa berhadapan dengan si Black Tail.
Kurang ajar banget, tuh, si Jelek. Harus ada yang membuatnya jera. Aku akan membuatnya jera. Lihat saja nanti!
Selamat Hari Kucing Sedunia, 8 Agustus 2024
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.