Sandal

Cerita Perth

Sandal
Koleksi Padmi Kramadibrata
 
"Ting!"
 
Denting pada lift menjadi pertanda bahwa lantai tujuan sudah dicapai. Pintu lift terbuka, dan aku pun melesat keluar. Dengan berjalan cepat melalui lobi rumah sakit yang tak terlalu luas itu, segera aku mencapai pintu kaca menuju ke luar.
 
Malam sudah turun, aktifitas pendaftaran pasien masuk di lobi masih tetap tampak bergerak. Meski, kulihat orang-orang yang menanti tak sebanyak kemarin malam.
 
Begitu kakiku menapak di pelataran beraspal, tak sengaja aku memandang ke bawah. Aduh! Segera kulihat bahwa aku memakai selop yang seharusnya adalah sandal kamar. Aku lupa nenggantinya! Akibat terburu-buru setelah abang ojol pengantar makanan menghubungiku. Memberi tahu bahwa dia sudah berada di pelataran parker.
 
Waktu itu, aku sedang menjaga adikku yang sakit, di sebuah rumah sakit di daerah Bekasi. Demi menjaga kebersihan, aku membawa selop khusus kamar ini untuk dipakai hanya di kamar tentunya.
 
Kembali ke dalam gedung rumah sakit, aku gosok selopku sebanyak mungkin di keset. Berharap sebanyak mungkin pula debu lepas, sehingga tak terbawa ke dalam kamar adikku.
 
Dalam hati, aku tertawa. Sebab, ini kedua kalinya si selop yang sama menapak keluar rumah. Menyalahi kodratnya sebagai sandal kamar atau sandal dalam rumah. Kejadian pertama adalah di Perth, kampung halaman si selop. Beberapa minggu sebelumnya.
 
Suatu sore di Perth, Ami sepupuku yang tinggal di sana, berkata bahwa kami akan beranjang sana ke Pantai Coogee yang cantik.
 
"Bisa lihat sunset," kata Ami.
 
Horeee! Aku lalu mengganti baju dan jaket rumah dengan yang biasa dipakai jalan-jalan keluar.
 
Semua siap, lalu kami keluar melalui pintu dapur yang menyambung ke garasi. Setelah semua berada di luar, pintu dapur dikunci dan pintu otomatis garasi dibuka. Saat itulah aku melihat bahwa aku masih memakai selop dalam!
 
"Eeeh, ganti sepatu dulu!" seruku panik
 
Semua tertawa.
 
"Udah, nggak papa pakai itu saja," sahut Ami
 
Kupandang lagi kakiku yang tak hanya memakai selop, tapi juga kaus kaki—Perth itu dingin banget lho, makanya di dalam rumah aku tetap berkaus kaki!
 
Duh, kalau kaus kakinya basah kena air laut, gimana? Hahaha, seolah-olah kami akan main air di cuaca dingin pada saat menjelang malam begini. Berkaus kaki dengan memakai selop, sering dilakukan oleh anak abangku yang masih remaja. Dia terlihat imut tampil begitu. Kalau aku, pasti terlihat bahwa aku kedinginan.
 
Kami pun berangkat. Di pantai, kaus kakiku kena pasir beberapa kali, tapi tak basah karena kami jauh-jauh dari air laut. Tentunya selopnya demikian juga. Berlumuran pasir—ah, ya tak segitunya sih.
 
Malamnya, sepulang dari Coogee Beach, dan juga setelah mampir makan malam di satu restoran Malaysia di sudut kota Perth, akhirnya kami tiba kembali di rumah.
 
"Selopnya bisa cuci di mana, Mi?" tanyaku.
 
Ami menujukkan tempatnya. Melihat aku yang bertelanjang kaki, ia berkata lagi.
 
"Sementara, pakai sandalmya Wida aja dulu".
 
Wida adalah sepupu paternal Ami, yang sudah pulang duluan ke Indonesia sehari sebelumnya. Sandalnya model flip-flop alias sandal jepit.
 
Kupakai sandal tersebut. Duh, aku meringis dalam hati. Ternyata, sandalnya terlalu keras untuk kakiku yang tapaknya agak tak biasa. Untung juga bahwa aku akhirnya memilih si selop garis-garis hitam putih ini saat kami baru tiba di Perth. Meskipun sebelumnya aku bilang bahwa aku mau yang model flip-flop.
 
Sebelum kami berangkat, Ami memberitahukan bahwa kami tak perlu repot membawa sandal. Dikirimnya foto tiga pasang sandal. Dua model flip-flop, satu model selop.
 
"Aku yang flip-flop," dengan cepat aku memutuskan.
 
Lainnya tak geragas seperti aku haha...
 
Alasan aku memilih flip-flop adalah, karena aku baru saja memakai dua hari-ku yang berharga untuk mencari selop yang bisa dibawa ke Perth. Yang kutemui ternyata semua terlalu keras untuk kakiku. Terutama bagian atasnya. Maka, aku berpikir pasti selop di foto itu pun keras juga.
 
“Ya, Nina sebaiknya yang flip-flop aja,” kata Ami setuju.
 
Sesampainya di Perth, kakiku malah meluncur ke si selop. Ternyata, empuk nian! Baik tapaknya, maupun bagian atasnya. Nyaman rasanya!
 
"Aku yang selop aja deh!" seruku yang goyah keputusan.
 
Benar, deh! Tak ada yang seribut aku soal alas kaki ini. Hihi, maaf ya...
 
"Bawa aja selopnya, Nin," kata Ami di hari kepulangan kami.
 
Sepertinya, Ami melihat betapa cintanya aku pada selop itu. Dan, betapa si selop dan aku begitu berjodoh. Maka, direlakannyalah untuk kubawa pulang.
 
Si selop pun ikut menemaniku waktu aku harus menjaga adikku yang sakit di rumah sakit. Senangnya…
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.