Angeun Kacang dan Makna Lagu Tokecang

Sayur Kacang Merah Khas Sunda

Angeun Kacang dan Makna Lagu Tokecang
Angeun Kacang

Menceritakan tentang makanan Indonesia, sebetulnya bukan keahlian saya. Maksudnya, jika penjelasan itu disampaikan seperti pakar kuliner kita Almarhum Pak Bondan, tentu sulit sekali. Pasalnya, alih-alih bisa menggambarkan rasa makanan dari paduan bumbu-bumbunya secara paripurna, sejauh ini saya cuma bisa bilang satu makanan enak atau enak banget. Nggak ada yang gak enak. Paling karena saya nggak suka, dan itu bukan berarti makanan itu nggak enak, kan? Cuma soal preferensi saja.

Sampai tiba-tiba ...

Tokecang tokecang bala gendir tosblong

Angeun kacang sapariuk kosong

Aya listrik di masigit meuni caang katingalna

Aya istri jangkung alit karangan dina pipina

(Lagu Tokecang dari Jawa Barat)

Saat sedang makan di satu resto Sunda, saya mendengar lagu itu diputar. Sejenak–di antara pedasnya sambal yang membalut gurihnya paru goreng, membuat keringat membasahi pelipis, tak sadar saya ikut berdendang.

Lagu itu membuka kenangan akan almarhum ayah saya, Papap–demikian kami biasa memanggilnya. Oh bukan karena beliau seorang penyanyi atau hobi menyanyi, tapi karena lirik lagunya. Ayah saya sangat menyukai angeun kacang atau sayur kacang merah khas Sunda.

Lelaki yangtahun lalu wafat jelang usianya yang ke-75 itu adalah seorang pelaut. Beliau bekerja di kapal pesiar, yang waktu kerjanya 10-12 bulan, lalu pulang dan tinggal di rumah sekitar 2-3 bulan. Begitu sejak tahun 1971 sampai pensiun di 2011.

Setiap Papap pulang dari kapal, Mamam–ibu saya, nyaris selalu memasak angeun kacang itu. Rasanya perpaduan antara manis dan sedikit asam, dari gula merah dan asam jawa. Bersama bumbu lain mulai dari bawang merah sampai daun salam, rasanya sungguh lezat dengan perpaduan aroma daun salam dan kayu manis yang menggoda.

Disajikan bersama sambal, ayam atau ikan goreng, tempe-tahu dan kerupuk. Itu menu paripurna untuk menyambut Papap. Aromanya yang khas, bikin beliau kaya orang yang sudah nggak makan berhari-hari, lahap sekali!

Sayur itu memang enak. No debat, masakan ibu saya, apa sih yang nggak enak? Gak ada! Saya cuma heran, kenapa ayah saya sebegitu sukanya sama menu itu? Apa sih spesialnya?

"Teteh, zaman Papap kecil dulu di Garut, Imi (neneknya Papap) bukan orang kaya. Gak kaya kita sekarang yang leluasa beli ikan atau ayam setiap hari, Papap mah dulu makannya tahu, tempe, ikan asin, sayur/lalap. Ya ada lah sesekali ayam atau daging. Tapi gak sering. Nah di antara sayur yang suka dimasak sama Imi, Papap paling suka angeun kacang beureum (sayur kacang merah) ini. Nggak tau kenapa, tapi kayanya ini paling enak dibandingkan masakan lainnya."

Oh ya ampun ...

Ternyata ini alasannya. Saat itu, ingat betul kalau penjelasan beliau bikin saya terdiam sesaat.

Dari dulu sampai sekarang, pertimbangan saya untuk menyukai suatu makanan, murni karena rasanya, masuk di lidah atau tidak. Dirindukan atau tidak. Terakhir, bila makanan itu disajikan saat saya sudah makan, apakah masih menggoda selera sekadar untuk icip sedikit saja, atau tidak. Kalau jawaban atas semua itu 'Ya', maka fix itu akan masuk jadi daftar makanan favorit saya. Perkara harga nomor dua. Bukan karena saya banyak uang, tapi makanan yang saya sukai memang bukan macam steak yang mahal. Untuk lauk makan, saya suka sayur lodeh dan gulai babat ala Padang . Sementara kudapan, juara di lidah saya pempek.

Saya bertanya tentang hal itu pada Papap sekitar usia SMP. Di situ saya baru sadar, kalau ada--bahkan mungkin banyak, orang yang menyukai satu jenis makanan, karena di antara keterbatasan finansial, hanya itulah yang bisa disajikan di masa kecilnya. Makanan yang kemudian diingat hingga ia dewasa. 

Saya pernah punya teman yang kondisi finansialnya lebih dari cukup, di mata saya dia bahkan kaya raya. Kami pernah makan bareng. Tau nggak makanan favorit dia apa? Ulukutek Oncom Leunca! Makanan yang bahkan pembantunya yang berasal dari daerah luar Jawa Barat aja, nggak suka. Aneh katanya. Tapi dia masa bodoh amat. Katanya makanan itu mengingatkannya pada almarhumah ibunya. 

Dulunya teman saya ini berasal dari keluarga sederhana. Bagi dia dan kakak serta adiknya, oncom merupakan salah satu makanan yang dinanti. Bahkan adiknya ada yang bilang, kalau makan itu serasa makan daging. Teman saya bahkan cuek aja makan pakai tangan di resto dengan menu itu. Kesederhanaan yang terlahir dari kenangan masa kecil, tampak kontras dengan cincin berlian di jarinya.

Kembali ke Angeun Kacang Beureum favorit Papap. Suatu hari saat kami sedang makan menu tersebut di rumah salah satu kerabat, Papap tidak makan sebanyak jika di rumah. Saya pikir, mungkin Papap malu. Betul sih, tapi selain itu Papap bilang, rasanya tak seenak buatan Mamam yang bumbunya medok sekali. Padahal menurut beliau kunci kelezatan sayur kacang merah khas Sunda terutama Garut (kota kelahiran ayah saya), ya di bumbu yang melimpah, sampai warnanya pekat. Itu kan beda dengan sup kacang yang memamg berkuah bening.

"Tapi tentu saja kita nggak boleh memperlihatkan hal itu di depan tuan rumah. Pokoknya kalau disajikan makanan apa saja di rumah orang lain, makan secukupnya. Kalau memang enak, puji. Bilang terimakasih. Karena esensi rasa itu cuma dua, enak dan enak banget. Kalau terasa nggak enak, artinya kita gak cocok dengan makanan itu. That's it!" Begitu nasehat Papap yang saya ingat, lalu saya praktekkan sampai saat ini.

"Oh jadi kalau suka, boleh ambil banyak atau minta bekal?" Saya bertanya iseng.

"Ya nggak gitu juga, Teh. Itu ada kan di lagunya juga. Tong siga tokecang (jangan kaya tokecang), rakus!"

"Tokecang?"

Papap lalu menceritakan kisah Tokecang–yang baru saya tau artinya saat itu, bahwa itu bukan nama binatang dalam basa Sunda atau nama tokoh legend macam si Kabayan, tapi singkatan dari tokek makan kacang!

Tokecang tokecang bala gendir tosblong

Angeun kacang sapariuk kosong

Lagu ini mengisahkan tentang seekor tokek yang mengambil sayur kacang hingga habis seperiuk (sepanci penuh).

Ah makanan daerah Jawa Barat memang seringkali memiliki sejarah atau cerita unik di baliknya. Seperti halnya seblak. Kuliner dari kerupuk yang direbus dan diberi bermacam topping itu, konon awalnya karena pada zaman dulu, di daerah Priangan stok kerupuk menumpuk. Kalau sudah lama kan tidak enak ya. Yang sudah matang akan melempem, yang masih mentah akan sulit mengembang. Dari situ tercetuslah ide mengolahnya menjadi seblak. Makanan anti mubazir.

Urang Sunda dengan segenap kearifan lokalnya, salah satunya kesederhanaan, sungguh mengagumkan. Padahal menurut sejarah yang saya baca, tatar Sunda ini dulu terbilang dataran yang gemah ripah loh jinawi. Segala tanaman sayur, buah serta umbi-umbian melimpah. Sawah terhampar luas menghijau, menghasilkan kualitas padi yang baik. Kekayaan alam ini pula lah konon yang menjadikan sebagian besar masyarakat Sunda tak terlatih merantau. Kenapa harus pergi jauh jika nyaris segalanya sudah terpenuhi di kampung sendiri, bukan?

Tapi sebagaimana Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasangan, ada kekurangan dan kelebihan. Jika kekayaan alam membuat sebagian masyarakat Parahyangan ini enggan merantau, di sisi lain kesederhanaan mereka boleh dibanggakan. Tak boleh ada makanan mubadzir, pamali, begitu istilah para leluhur. Urang Sunda juga terbiasa menyederhanakan makan, tak berlebihan. Lalapan dan sambal, akan terasa cukup untuk lidah sebagian dari mereka. Bahkan ada anekdot yang bilang, "Kalau ada lomba survive di tengah hutan, boleh jadi urang Sunda lah pemenangnya. Mereka akan bisa tetap hidup hanya dengan makan sayur mentah!"

Saya sebagai mojang Bandung penggemar lalap dan sambal, tentu saja sepakat. Kalau kamu gimana?

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.