Naniura: Ikan Mentah Khas Batak yang Kaya Rasa
Kenali Naniura, kuliner tradisional Batak dari Danau Toba. Ikan mentah tanpa api ini hadir dengan cita rasa unik asam, pedas, dan rempah yang menggoda.

Kita selalu berpikir bahwa api adalah satu-satunya cara memasak. Tapi di sebuah lembah tenang di tepian Danau Toba, para leluhur suku Batak sudah lebih dulu tahu, bahwasanya tidak semua rasa harus dibakar, loh. Beberapa justru dibiarkan hidup dalam diam, direndam dalam kesabaran, dan diracik dengan cinta penuh. Dari sanalah Naniura tercipta. Sebuah sajian kuliner yang seperti bisikan halus dari masa lalu, mentah, tapi matang. Tak dimasak, tapi lengkap.
Saya pertama kali mencicipi Naniura di rumah seorang kerabat di daerah Samosir, ketika matahari sore jatuh malas di permukaan danau. Di atas meja kayu tua, disajikan sepiring besar ikan mas terbentang utuh. Sepintas belahannya rapi, warnanya menggoda. Cantik, kuning keemasan dengan taburan bumbu yang harum menusuk. Bukan amis yang tercium, melainkan Jeruk Jungga yang asam segar, serai yang rempahnya membelai hidung, dan andaliman, si lada Batak yang khas getirnya memancing air liur.
“Ini Naniura," kata Nangtulang saya dengan bangga. “Dulu cuma raja-raja yang boleh makan ini.”
Dipicu rasa penasaran, tak sadar saya langsung mengambil sendok dan mencicipinya sedikit. Ada keheningan sejenak. Dalam gigitan pertama, saya merasakan sesuatu yang tak biasa. Ada rasa asam yang tajam tapi menenangkan, asin yang muncul perlahan, lalu pedas menyusul pelan-pelan. Ikan yang katanya mentah itu, terasa seperti telah lama meresap dalam perjalanan rasa yang tidak tergesa. Manis alami dari daging ikannya hadir seperti kejutan kecil di tengah kehebohan bumbu.
Saya tidak pernah menyangka, bahwa Tanah Batak yang keras dan berbukit itu menyimpan kelembutan dalam bentuk makanan. Naniura bukan hanya soal teknik memasak, eits lebih tepatnya: tidak memasak.
Naniura adalah cerita tentang kearifan, tentang bagaimana manusia memahami alam tanpa perlu mengubahnya terlalu banyak. Cukup dengan buah Jungga sebagai asam alami, cukup dengan waktu sebagai penyempurna, dan bumbu yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Orang Batak menyebutnya Dekke Naniura yang berarti “ikan yang tidak dimasak dengan api”. Ia lebih dari sekadar makanan, Naniura adalah simbol status dan budaya khas Tanah Batak. Di masa lalu, hanya dalam upacara adat tertentu atau pesta besar sajian ini boleh muncul. Konon, tidak sembarang orang yang bisa membuatnya. Hanya mereka yang dipercaya, yang tahu persis takaran Jeruk Jungga, yang tahu bagaimana menyiangi ikan Mas hingga tidak tersisa amis sedikit pun, dan tahu kapan saat yang tepat menyajikannya.
Yang menarik, ikan yang digunakan bukan sembarang ikan, loh. Idealnya, haruslah ikan Mas, yang merupakan ikan endemik Danau Toba. Sebagai tambahan informasi, ikan Mas merupakan ikan yang sangat dihormati di Tanah Batak. Ikan ini sering dijadikan simbol atau sajian penghormatan.
Meski kini ikan Mas pada Naniura bisa digantikan dengan ikan mujair, ataupun ikan nila karena ketersediaan, namun ikan Mas selalu menjadi yang terutama.
Meski tak dibakar atau digoreng, daging ikan pada Naniura tetap kenyal, padat dan sama sekali tidak amis. Semua berkat proses perendaman selama beberapa jam dalam air perasan buah Jungga yang membuat protein ikan “matang” secara alami, mirip seperti Sashimi dari Jepang atau Ceviche dari Peru. Tapi sekali mencoba, kamu akan tahu kalau Naniura berbeda.
Bumbu Naniura layaknya puisi. Serai, Andaliman, kemiri, kunyit, bawang putih, bawang merah, dan cabai, semuanya digiling, ditumbuk, lalu disatukan sedemikian rupa dalam ritual. Ada yang memilih menumis bumbu sebelum dioleskan, ada pula yang menjaganya tetap mentah. Semua tergantung pada warisan dapur yang mereka terima dari leluhurnya.
Kini, Dekke Naniura tidak lagi hanya milik para raja. Di berbagai rumah makan khas Batak, dari Medan hingga Balige, dari restoran modern hingga warung lapo sederhana, kita bisa mencicipi warisan kuliner yang dulu hanya hadir di rumah para bangsawan. Ia telah menjadi bagian dari keseharian, tanpa kehilangan nilai sakralnya.
Namun, bagi saya, Naniura bukan hanya rasa. Bukan hanya kuliner khas Tanah Batak. Ia adalah perenungan agung. Tentang bagaimana leluhur kita meramu alam dengan tangan kosong tapi penuh rasa hormat. Tentang bagaimana sesuatu yang terlihat sederhana, ikan Mas mentah di atas piring, bisa menyimpan sejarah panjang, bahkan spiritual.
Nah, pernahkah kamu mencicipi Naniura? Atau mungkin kamu punya cerita sendiri tentang makanan khas dari tanah kelahiran kamu yang menyimpan makna serupa? Saya ingin mendengarnya juga, loh. Yuk, bagikan di kolom komentar, karena kadang, rasa yang paling dalam justru muncul dari cerita yang kita bawa.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.