NOAM

Bagian 10: Senapan Imajiner

NOAM

 

Great gig, mate!

Congrats on a great show last night, Noam!

Awesome duo—The Flash Boys

Senang juga bangun-bangun buka Instagram dan melihat posting beserta pujian beberapa teman, bahkan dari orang yang aku gak kenal yang nge-tag.

Ketika sedang scrolling, aku menyadari ada yang aneh. Jari-jariku jadi gemetar. Sensasi di perutku rasanya seperti aku sedang meluncur di air terjun.

Kok aku bisa melihat posting Layla?

Aku bahkan bisa melihat ceritanya! (Ada foto dia dan Jimmy di situ … urghhh!)

Ha?? Layla telah meng-unblock aku?

Aku langsung mengecek aplikasi lainnya … Profil Layla muncul … Aku coba mengirim pesan. Tanda diterima muncul.

“Hi Layla” … begitu saja tulisku

Sampai keringat dingin aku menunggu balasannya.

Sepuluh menit, belum dibaca.

Lima menit kemudian baru tanda dibaca tampak.

Urat syarafku kencang menanti balasan. Akan berkata apa, Layla?

Lima menit … sepuluh menit …. dua puluh menit …

Tiga puluh menit … Ah, aku nekat meneleponnya …!

Sudah berdering cukup lama … Ah, apa sengaja dia tidak mau menerima telepon dariku?

Beberapa detik kemudian muncul pesan dari Layla. “Sori Noam, aku lagi di jalan, tidak bisa menerima telepon saat ini.”

Begitu terhiburnya hatiku mendapat secuplik kata-kata dari Layla. Lega, kulepaskan napasku!

***

Sudah ratusan orang berkumpul di sekitar jalan Downing Street No 10. Kami datang menuntut agar pemerintah Inggris menekan pihak Israel untuk melepaskan para aktivis yang telah berlayar untuk mengantarkan bantuan ke Gaza dan kini ditahan.

Beberapa hari yang lalu kami sekeluarga—bapakku, ibuku, kakakku, dan aku—bergabung dengan ribuan warga, termasuk kawan-kawan Yahudi kami—melingkari parlemen dan menuntut pemerintah Inggris untuk menghentikan keterlibatannya dalam perang Gaza. Suara ibuku lantang meneriakkan “Stop mempersenjatai Israel!” Mantap Mum!

Keluargaku sudah jarang sekali berkumpul dan melakukan apa-apa bersama. Hari ini, sekali lagi, menyatukan kami sekeluarga. Kami berjalan, beriringan bersama lagi, untuk mengusik mereka yang punya kuasa di balik pintu nomor 10.

 

 ... dari kejauhan aku melihat seorang perempuan Asia sedang berjalan dengan syal Palestina melingkari lehernya ...

 

Banyak sekali media yang hadir, berbeda dengan waktu kami turun di kawasan parlemen. Tiba-tiba seorang wartawan menghampiri ibuku dan mewawancarainya. Di hadapan kamera Mummy menyampaikan dengan tegas:

“Sejarah mencatat tindakan pemerintah kami! Pemerintah layaknya membantu pelepasan para aktivis yang jelas-jelas menggunakan kapal dengan bendera Inggris! ….”

Bravo Mum!

Mummy belum selesai berbicara, aku jadi salfok ketika dari kejauhan aku melihat seorang perempuan Asia sedang berjalan dengan syal Palestina melingkari lehernya, mengenakan jaket coklat yang familiar. Helaian rambutnya yang cokelat pekat sebahu bersibak ditiup angin …. Itu Layla! Aku hafal gerak-geriknya. Aku sudah menduga dia pasti ikut aksi ini! ...

Sudah hampir dua bulan sejak aku terhubung lagi dengan Layla, tetapi dia tidak pernah mau menjawab teleponku, selalu ada alasan. Pesan-pesanku kadang tidak dijawab, kadang dijawab hanya dengan beberapa kata saja.

Can we meet, Layla?

I don’t think so.

Why not?

Because I have a boyfriend.

Itu jawaban yang membuatku ingin membenturkan kepalaku ke tembok. Kenapa bisa aku biarkan itu terjadi??! …

 

Aku sempat memanggil “Layla … Layla …!” Namun, suara bising keramaian membuat suaraku tenggelam.

 

Melihat Layla, secara refleks aku berlari ke arahnya, tetapi aku tersendat-sendat karena harus melewati kerumunan. Aku sempat memanggil “Layla … Layla …!” Namun, suara bising keramaian membuat suaraku tenggelam.

Lalu dari belakang Layla seorang laki-laki jangkung, berkulit gelap, berpakaian necis menyusul dan merangkulnya. Si Jimmy, tentunya.

Aku berhenti berlari, lalu berdiri terperangah. Mereka saling memandang satu sama lain dan tersenyum; mereka tampak bahagia. Aku segera berbalik dan berjalan perlahan kembali. Bahuku terasa berat. Hatiku terasa baru dilindas bus double decker.

***

Dua hari kemudian … seperti setiap paginya, aku siap-siap untuk berangkat kerja ke kampus. Sambil berpakaian, aku mengecek surelku. Wah …  gila! Aku tidak percaya apa yang aku terima! … Sebuah surel dari fakultas. Aku mendapat surat teguran terkait ‘tindakan yang tak pantas’.

“Aku melepas pekerjaanku di kampusku di Leeds untuk bekerja di kampus sekarang ini di London. Baru tujuh bulan, eh aku malah terancam dipecat,” ceritaku kepada Neil, teman kampusku.

Kami ngobrol berdua di kantin kampus, usai pertemuanku dengan petugas HRD kampus yang menjelaskan mengapa aku mendapat surat teguran.

 

“Ah, mereka pasti sudah mengawasi sebelum itu, Noam. Mereka juga pasti tahu tentang pacarmu itu ...”

 

“Mereka pasti sudah memperhatikan gerak-gerikmu dari beberapa bulan lalu, Noam,” ujar Neil.

“Kayanya karena dua hari lalu wajahku muncul di berita. Saat protes di luar Downing Street, ibukku kebetulan diwawancara oleh salah satu pers dan beritanya tampil di berbagai media sosial. Aku berdiri di dekatnya untuk beberapa menit,” jelasku kepada Neil.

“Ah, mereka pasti sudah mengawasi sebelum itu, Noam. Mereka juga pasti tahu tentang pacarmu itu,” tanggap Neil.

“Pacarku?” Jawabku heran.  “Aku gak punya pacar saat ini.”

“Pacarmu yang orang Arab itu,” balas Neil.

“Aku gak pernah punya pacar beretnis Arab,” jawabku, bingung.

“Yang Muslim itu, yang aktif ikut aksi Pro-Palestina itu loh. Aku saja pernah dengar,” ungkap Neil.

 “Ohhh itu … aku khan sudah lama putus sama dia … Lagi pula dia bukan beretnis Arab, dia Asia. Keluarganya memang Muslim …. Dari mana sih kamu dengar?” tanyaku heran.

Neil tersenyum. “Makanya, hati-hati kalau posting foto cewek.”

Aku baru teringat, foto lamaku dengan Layla di medsos tidak kuhapus.

***

Pulang kerja, aku menelepon kakakku untuk meminta saran. “Kalau sampai dipecat, ajukan banding terhadap tinjauan pihak universitas,” Justine mengingatkan akan langkah-langkah yang bisa aku tempuh.

 

Hati dan pikiranku seperti ingin berlabuh … entah di mana.

 

Malam itu, aku jadi overthinking, marah, sekaligus kecewa dengan sikap pihak universitas. Aku jadi susah tidur.

Hati dan pikiranku seperti ingin berlabuh … entah di mana.

***

Menjelang tengah malam aku masih belum bisa tidur. Pikiranku beralih ke saat aku melihat Layla pada aksi Downing Street. Senyumnya begitu cantik. Melihatnya tersenyum kepada yang lain, membuat luka di hati serasa meradang. Senyum Layla dulu pernah hadir dalam hidupku. Ia akan tersenyum dan menyelusup ke dalam pelukanku dan tampak begitu bahagia dalam rangkulan kedua lenganku. Layla pernah mencintaiku.

 

Di antara aku dan Layla ada sebuah senapan imajiner ...

 

Berbaring di tempat tidur, wajahku menatap langit-langit. Aku teringat kisah seorang pesyair Palestina yang pernah menjalin kasih dengan seorang perempuan Israel, tetapi cinta mereka kandas karena konflik kedua bangsa. Tanganku menggapai salah satu buku yang tergeletak di lantai di samping tempat tidur. Aku membuka kembali sebuah buku lama milik Justine yang dititipkan kepadaku. Buku itu merupakan kumpulan puisi pesyair ternama asal Palestina, Mahmoud Darwish. Aku membaca sajak "Rita and the Rifle" yang berkisah tentang perempuan Israel yang pernah menjadi kekasihnya.

 

Oh, the silence of dusk
In the morning my moon migrated to a far place
Towards those honey-colored eyes
And the city swept away all the singers
And Rita.
Between Rita and my eyes—
A rifle.*

 

Membaca bagian akhir puisi itu membuatku merinding. Walaupun kami berada di Inggris dan relatif aman, aku merasa seperti aku dan Layla dipisahkan oleh situasi di luar kekuasaan kami. Di antara aku dan Layla ada sebuah senapan imajiner yang diciptakan keluarga, tetapi terlebih lagi oleh orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kami.

Cintaku, pekerjaanku, hidupku, semuanya seperti berada di luar genggaman tanganku.

Ahhh, aku sudah kehilangan akal! Aku chat Layla.

“Hey Layla,” ku mulai chat-ku.

“Aku melihat kamu loh di aksi protes Downing Street dua hari lalu. Aku panggil-panggil, tetapi kamu gak dengar.”

Iseng, aku mengirimkan tautan ke lagu baru Suede yang baitnya begini:

 

I see your face and I fade away
And I hear your name
I'm in a trance, I'm in a trance state
**

 

Tanda dibaca langsung muncul, tetapi sudah beberapa menit berlalu, Layla belum membalas.

Aku langsung ke tujuanku sajalah. Aku ceritakan tentang surel dari universitasku.

Lantas aku mengirimkannya puisi “Rita and the Rifle.”

Tanda dibaca pun segera muncul. Namun, tidak ada respons. Mungkin dia sudah mau tidur, pikirku.

Lambat laun, kelopak mataku memberat. Ketika mata hampir terpejam, aku dikejutkan oleh bunyi nada panggilan.

Aku mengangkat ponsel ke wajahku … tak kusangka … pada layar muncul nama L A Y L A.

 

*"Rita and the Rifle" oleh Mahmoud Darwish, 1967
** “Trance State” oleh Brett Anderson, Neil Codling, dan Richard Oakes (Suede), 2025

Gambar: Vecteezy/Pinterest/Canva

-Bersambung-

Baca

Noam 9

Noam 8

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.