Haruan, Meninggoy dan Perihalnya

Haruan, Meninggoy dan Perihalnya
Ilustrasi AI dibuat menggunakan Ideogram

 

'DILARANG MAKAN IKAN HARUAN DI RUMAH INI’. Itu peraturan tidak tertulis yang harus dipahami dan dipatuhi mutlak oleh seluruh anggota keluarga di rumah kami. Abah, Ibu, aku, dan kedua adik laki-lakiku semuanya terlarang mengonsumsi ikan haruan dalam bentuk masakan apa pun, atau menu apa pun yang mengandung ikan haruan di dalamnya. Dan bukan hanya di rumah ini saja, tapi juga saat siapa pun dari anggota keluarga kami ke luar rumah, di mana pun kami berada. Karena itu, saat memesan menu di restoran atau makan di rumah teman, kami harus benar-benar hati-hati takutnya tanpa sengaja termakan haruan.

Aku pribadi tak pernah tahu apa rasanya haruan, karena sejak kecil hanya melihatnya digoreng oleh uwak di rumah dia sendiri, lalu dimakan bersama keluarganya yang lain—yang bukan anggota keluarga dalam rumah kami. Sepertinya enak. Apa rasanya mirip ikan patin goreng ya? Ikan kesukaan Ibuku yang selalu dimasaknya dengan ulekan cabai merah pedas manis sebagai pelengkap.

Pantangan makan haruan tentu saja bukan karangan. Tidak ada yang alergi ikan ataupun alergi makanan laut di rumah kami. Hal ini bermula waktu orang tuaku (mungkin saat itu Abah) pergi berobat ke orang pintar. Pasalnya, setiap anak yang baru lahir dari orang tuaku selalu meninggoy.

Sini aku spill runtutan ceritanya satu per satu... Sebelum aku lahir, beberapa tahun mundur, Ibuku hamil anak lelaki. Namun saat dilahirkan, bayinya meninggoy. Dua tahun kemudian, Ibuku hamil bayi lelaki lagi. Kali ini juga meninggoy sama. Orang tuaku sepertinya saat itu sedikit putus asa. Mereka lalu mengadopsi bayi dari seorang ibu muda. Bayi perempuan—tentunya bukan aku—aku anak kandung katanya, dan belum lahir. Bayi ini dulu diadopsi orang tuaku dengan memberi sejumlah uang pada ibu kandungnya karena ibunya saat itu mengaku sangat kekurangan. Maka bayi adopsi ini tinggal di rumah dan dirawat Abah dan Ibu.

Mereka menamai si manis gemoy itu Vicky, tentu saja terinspirasi dari nama seorang pemandu senam kondang yang pamornya melejit era 80–90-an. Mereka berharap ia tumbuh sehat dan panjang umur seperti halnya Vicky tenar yang selalu gemar olah-body. Tapi setelahnya, hanya dalam hitungan hari, ibu aslinya datang lagi sambil menangis. Dengan sedih ia mengungkap kalau ia kangen anaknya. Tersedu, ia menggendong bayi itu, mengeluarkan tete lalu menyusuinya.

Orang tuaku sebenarnya tidak pernah ada masalah jika ibu dari bayi adopsi ini datang tiap hari sekalipun, untuk menyusui anaknya atau apa pun. Yang jadi masalah adalah kenapa tiap kali ia datang selalu dengan adegan menyek-menyek dan menangis tersedu-sedu. Jadilah tiap hari selalu ada episode sinetron dengan scene: orang tuaku, anak bayi netek, plus seorang perempuan termehek-mehek sambil nyusui. Bosan menghadapi adegan tersebut, Ibuku akhirnya geram juga. 

“Ambil saja anaknya, bawa balik,” kata Ibuku sembari menyerahkan bayi itu ke tangan ibu kandungnya—tepat sebelum ia start akting wajah mewek hari itu.

Lalu apa hubungannya dengan larangan makan haruan? Setelah anak bayi gemoy kembali pada yang punya, kan orang tuaku belum punya anak lagi nih. Mereka sepakat untuk berkonsultasi dan minta saran dari orang yang ‘lebih ngerti’. Mereka bercerita perjalanan punya anak dari awal yang beberapa kali meninggoy itu, sampai adopsi anak juga diambil alih orang balik. Kemudian... ketemulah solusinya! Orang pintar yang mereka datangi mendoakan mereka agar segera punya anak daaan... mengharuskan mereka untuk stop makan ikan haruan sekeluarga! That’s it. What a genius and creative idea...

Katanya, ikan haruan punya sifat tidak baik. Ibu haruan bisa jahat, ia bisa melahap anaknya sendiri hingga mati dan habis. Karena itu, Ibuku dilarang makan haruan—takut terpapar sifat mama haruan. Abahku juga dilarang makan. Saat itu aku belum eksis. Pesan orang pintarnya, semua anak orang tuaku setelah lahir juga harus pantang makan ikan haruan. Orang tuaku pun nurut, demi. Satu tahun kemudian lahirlah aku. Disusul dengan kedua adikku beberapa tahun kemudian.

Saat di sekolah dasar, penasaranku akan haruan makin memuncak. Terlebih lagi ketika pembagian rapor. Hari itu, sesuai tradisi setempat, jadi hari spesial di sekolah kami. Dimana tiap murid membawa dua porsi makanan—satu untuk diri sendiri dan satu untuk guru. Nama hari spesial tersebut adalah ‘Hari Pestaan’. Biasanya, menu makanan paling umum dibawa adalah nasi kuning. Kami duduk di bangku masing-masing, melahap makanan yang kami bawa sambil berbincang santai, bercanda tawa, sebelum akhirnya menerima kenyataan rapor merah yang akan dibagikan kemudian. Hari yang berlimpah berkah bagi guru sekolah inpres, karena mereka akan pulang dengan bungkusan kresek besar berisi puluhan bungkus nasi kuning.

Menu yang kami bawa sebenarnya beragam: ada nasi campur, nasi kebuli, nasi ayam, nasi goreng buatan ibu masing-masing juga boleh. Umumnya, orang-orang di kota ini sarapan dengan nasi kuning. Karena zaman dulu menu makan yang dijual saat pagi buta masih sangat terbatas, jadi lebih gampang dan praktis langsung beli nasi kuning yang banyak dijual saja. Nasi kuning khas orang Kutai biasanya disajikan dengan lauk masak merah ikan haruan atau ayam, dan telur sebagai pelengkap. Ada juga oseng tempe basah, sedikit tambahan serundeng, dan taburan bawang goreng. Zaman sekarang penjual pun improvisasi menambahkan oseng mie kuning beserta sambal. Banyak dari temanku membawa nasi kuning mereka dengan ikan haruannya. Hanya aku sendiri yang selama bertahun-tahun membawa nasi kuning lauk ayam—lauk yang selalu itu itu saja, tak pernah ganti. Sahabat sebangkuku seringkali menawarkan makanannya.

“Kamu mau?”

“Aku nggak boleh makan nasi yang ada haruannya,” ucapku polos saat itu.

Persis dengan apa yang dipesankan Ibu. Nasi kuning punya dia sudah meresap kuah dari ikan haruan masak merah khas Kalimantan. Wangi bumbu merah menyerbak dari makanan bawaan para murid. Harum bumbu cabai merah kering yang digiling lalu matang bersama minyak dan rempah menyebar, mengisi ruang-ruang yang penuh maupun lengang hingga lorong sekolah. Di hari Pestaan seperti ini, biasanya aku sengaja tidak sarapan agar bisa lebih nikmat menyantap perbekalan kami. Tiap semester, ibu dari teman sebangkuku ini banting setir jadi penjual nasi kuning khusus untuk Hari Pestaan saja. Karena posisi rumah mereka tepat di seberang sekolah, maka ini kesempatan strategis yang sayang untuk dilewatkan. Banyak orang tua murid yang melarisi dagangan mereka. Temanku itu pun berkali-kali menawarkan dagangan ibunya padaku. Namun seperti kebanyakan penjual, masakannya lagi-lagi mengandung haruan. Sekalipun aku tidak pernah membelinya meski kami sangat akrab.

Hingga pada satu hari, saat pembagian rapor dan Pestaan yang kesekian kali, sahabatku ini bilang, “Kamu hari ini beli nasi kuning ke ibuku aja, ya. Soalnya ibuku udah bikinin nasi kuning yang pakai ayam, nggak kena haruan, khusus untuk kamu.”

Aku sampai terdiam mendengarnya. Sumpah, kata-katanya mungkin akan membuatku teringat sampai seumur hidup. Siapa lagi coba yang mau memasak menu spesial diluar yang biasa ia jual, khusus untuk satu orang saja? pikirku saat itu. Apalagi aku bukan keluarga mereka. Sayangnya, saat itu Abah sudah keburu membelikanku nasi kuning ayam yang lain di tempat langganan kami. Kutolak tawaran temanku. Terlihat sedikit kecewa pada ekspresinya.

Sekian lama menaati pantangan memakan ikan haruan, aku makin penasaran. Masa sih sampai gede seumur hidup aku harus pantang makan haruan? Oh, tidak bisa. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan agar aku bisa mencicipi salah satu hidangan masakan Indonesia yang ada haruannya. Jikapun bukan dalam bentuk nasi kuning, haruan bakar, haruan goreng, setidaknya dalam bentuk menu lain. Atau kalau tidak, aku bisa makan sembunyi-sembunyi seperti Abah.

Aku kelas dua SMP, Ibuku hamil lagi. Ia melahirkan anak perempuan yang gemoynya bukan main. Dagunya bulat bagai boneka Susan, pipinya bagai bakpau putih bersih kemerahan, wajahnya cantik rupawan, hidungnya mancung ke-Arab-Arab-an, rambutnya hitam lebat sedikit bergelombang. Tak lama bertahan, belum sampai sebulan, adikku ini meninggoy juga. Pada titik itu, Ibuku tampak sudah biasa ditinggal meninggoy oleh anaknya. Ia tidak menangis sedikit pun pada saat pemakaman. Kata orang, saat bayi meninggoy, nanti di hari akhir ia akan menunggu orang tuanya di pintu surga.

Lalu, untuk apa kami selama ini dilarang makan haruan? Kalau adikku akhirnya meninggoy juga, berarti suruhan orang pintar untuk pantang makan haruan agar semua anak orang tua kami hidup, menjadi tidak valid. Aku pun makin sering mengkode-kode Abah agar diperbolehkan makan haruan, meski tetap diam-diam dari Ibuku. Akhirnya Abah angkat bicara. Dia bilang ada satu syarat pematah pantangan tersebut. Nah ini! Inilah solusi yang selama ini aku tunggu-tunggu.

Ternyata, ada satu hal yang harus dilakukan untuk mencabut pantangan aneh tersebut. Kata Abah, kalau mau mematahkan pantangan, kami harus membunuh ikan haruan dewasa dengan tangan kami sendiri. Boleh pakai bantuan alat, asalkan jangan minta bantuan tukang ikan. Dan syaratnya: kami harus sudah berusia lumayan besar atau bukan anak-anak lagi.

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Saat itu umurku 13 atau 14 tahun, sekitar kelas tiga SMP. Kebetulan di belakang rumah kami ada kebun kecil dan kolam tempat Abah menghabiskan hari-harinya bercocok tanam dan memelihara ikan. Banyak haruan juga di kolam itu, yang sering ia bagikan ke keluarga di luar rumah kami. Sore itu aku siap mengerahkan seluruh tenaga untuk membunuh haruan. Abah sigap menyiapkan beberapa ekor ikan haruan berukuran besar dalam sebuah ember hitam. Ia menyodorkan kayu panjang padaku. Mata-mata ikan haruan terlihat syahdu. Aku menatap mereka—mereka balik menatapku.

“Pukul kuat-kuat,” katanya.

“Hiaaaaatttt!!!” Bagaikan jurus kungfu, aku menyasar target dengan tepat, melesat. Tak puas dengan sekali pukulan, aku menghantam mereka berkali-kali hingga aku yakin kalau mereka meninggoy pastinya. Kalau diingat adegan itu, sepertinya penuh kekerasan. Padahal biasa saja. Orang-orang pasar lebih banyak membunuh ikan. Seketika haruan-haruan itu metong. Tak susah ternyata.

Sejak hari itu, secara aturan, aku sudah boleh makan ikan haruan. Keyakinan luguku tenyata tak ada gunanya. Tetap saja Ibu tidak mau masak apalagi menyajikan masakan haruan pada kami. Tidak ada haruan goreng, haruan bakar, atau nasi kuning dengan haruan bumbu merah. Ibuku masih melarang kami semua makan itu. Adik-adikku masih kecil, kata dia.

Puluhan tahun berlalu, kami hampir lupa perihal cerita pantangan makan haruan. Ibuku juga sudah meninggoy semenjak 2012 lalu, sebab diabetes yang dideritanya. Suatu hari Abah bilang, “Kasihan Vicky. Kata tetangga mereka, ia sering dapat kekerasan dari ibu kandungnya.” Kami baru tahu, sewaktu kecil, si Vicky—bayi adopsi orang tuaku dulu yang sudah balik dengan ibunya—ternyata sering dipukuli dan dimarahi dengan kejam. Akhirnya, Vicky sakit dan meninggoy saat usia anak-anak. Kata Abah, kalau dia tahu mereka akan kasar dengan anak itu, tidak bakal orang tuaku menyerahkan kembali Vicky pada orang tua kandungnya.

Begitulah, yang ditakdirkan meninggoy akan tetap meninggoy, meski pantang makan masakan haruan atau tidak. Toh pada akhirnya, semua orang meninggoy juga.

 

***

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.