Di Bawah Langit Biru

Di  Bawah Langit Biru
ilustrasi cerpen

       Langit biru cerah di atas sana. Matahari baru saja bangkit menggeliat dan menyinari alam semesta. Dikuceknya kedua matanya yang masih ingin terpejam untuk beberapa saat lagi. Tapi keheningan pagi itu telah berubah menjadi kebisingan yang mengganggu. Tak lain  karena suara teman-temannya yang sudah bangun  dan mulai  saling berbicara antar  sesamanya.

            “Bangun Gong!” suara besar dan berat terdengar di telinganya

            “Sudah siang Gong. Ayo bangun!” suara yang lebih nyaring mendekat lalu tubuhnya terasa digoyang-goyangkan oleh tangan kurus dan kasar.

           “Iya, aku sudah bangun,” sahutnya sambil menguap dan membalikkan tubuh ke sisi kanan menghindari suara-suara itu.

          “Bangun itu duduk  dulu,” seru suara lain yang jauh lebih kecil dari suara sebelumnya. Bagong belum terlalu mengenal suara itu. Kelihatanya dia  baru saja masuk ke Rumah Singgah beberapa hari yang lalu.

            Tak ingin berlama-lama menjadi sasaran teman-temannya, Bagong pun bangkit dari dipan bersusun dua yang sudah ditidurinya beberapa bulan terakhir ini. Suara berderit besi-besi penyangga dipan sedikit mengganggu telinganya tapi tak dihiraukannya.

            “Hari ini ada pelajaran pagi,” Suranto mengingatkan Bagong sebelum anak laki-laki dua belas tahun itu menghilang ke kamar mandi.

            “Pelajaran apa lagi? Aku sudah bosan,” tukasnya tak peduli.

            “ Matematika dan Bahasa Indonesia,” sahut anak kecil bersuara nyaring tadi yang ternyata bernama Andi. Nama yang bagus untuk seorang anak jalanan.

            “Supaya kamu nggak salah hitung uang kembalian kalau ada yang beli koranmu,” kata Suranto lagi.

            “Mas Bagong gantian nyemir sepatu saja gimana? Aku yang jual koran,” Andi  menyela dengan suara penuh harap.

            “Nggak bisa,” tolak  Bagong sambil melotot ke arah Andi. “Kalau kamu nggak becus nyemir , ngamen aja. Bikin kecrekan dari tutup botol terus nyanyi keras-keras dengan suaramu itu. “

            Andi mundur beberapa langkah dan tak lagi bersuara.  Jari-jarinya yang kecil dirasakan menebal belakangan ini. Menggosokkan sikat ke sepatu butuh tenaga juga.  Tapi membuat sepatu hitam mengkilat bukan soal baginya. Tenaganya seperti hampir habis setiap menjelang senja saat ia harus mengakhiri pekerjaannya di jalanan. Padahal hanya ada beberapa orang yang menggunakan jasanya sebagai tukang semir sepatu.

            Bagong bersandar di dinding kamar mandi menunggu yang sedang mandi di dalam. Diketoknya pintu kamar mandi beberapa kali supaya segera menyudahi mandinya. Semua anak yang tinggal di sini punya hak yang sama untuk menggunakan kamar mandi itu.  Tapi pengamen jalanan yang sedang mandi terus saja bernyanyi sambil mengguyurkan air berkali-kali. Suaranya yang jauh dari merdu membuat setiap orang yang mendengarnya ingin segera  menghentikannya dengan memberi recehan seadanya.

            “Sunu, cepat ke luar. Gantian !” teriak Bagong sudah hilang kesabaran. Digedornya pintu kamar mandi sampai hampir jebol. Tindakannya itu memang akhirnya berhasil membuat Sunu menyudahi lagunya dan lari terbirit-birit ke luar kamar mandi.

            Bagong merasa puas dan lega. Mengguyurkan air ke seluruh tubuh dimulai dari kepala terasa begitu menyegarkan. Lupa pada berbagai masalah yang menderanya. Meskipun beberapa kali bayangan itu mengganggunya. Bayangan rumahnya di dekat rel kereta di pinggir kota Surabaya. Ah, itu bukan rumah. Bangunan dari triplek itu beratapkan asbes  sehingga penghuninya seperti dioven. Panas sekali rasanya tinggal di sana. Bagong selalu tidur tanpa baju dan terbangun dengan lelehan keringat di sekujur tubuhnya. Begitu pula kedua adiknya yang masih kecil. Lebih panas lagi kalau dia harus mendengar perang mulut di antara Bapak Ibunya. Sumpah serapah dan makian sering ke luar dari mulut lelaki yang kata Ibunya adalah Bapaknya padahal keduanya tak pernah terikat pernikahan. Lalu kedua adik laki-lakinya itu entah siapa Bapaknya, Bagong tak mau tahu. Wajah mereka sangat tidak mirip Bapaknya.

            “Kamu nggak usah sekolah aja Gong,” kata Bapaknya . “Sudah bisa membaca dan berhitung sudah cukup. Nggak ada duit buat beli seragam dan sepatu. Adik-adikmu itu sebentar lagi juga mau sekolah.”

            Bapaknya jualan buah potong dengan gerobak dorong  sedangkan  Ibunya buruh cuci setrika di perumahan dekat stasiun. Bagong mengira mereka bisa hidup dengan pendapatan yang diperoleh Bapak Ibunya. Ternyata tidak. Sebagai anak tertua Bagong harus ikut bekerja. Terpaksa bekerja dan meninggalkan bangku  kelas tiga sekolah dasar. Pertengkaran Bapak Ibunya yang seperti sudah menjadi menu harian membuatnya tak betah berlama-lama di rumah.

            Malam itu Bagong tidak pulang ke rumah. Uang hasil jualan koran masih dikantonginya ketika terbersit niat meninggalkan kota Surabaya. Dengan numpang truk pengangkut sayur dan buah-buahan, Bagong terbawa sampai ke ibu kota. Memulai hidupnya dengan menjadi pengemis di sekitar pasar. Uang yang didapat hanya cukup untuk sekali atau dua kali makan. Itu pun dia harus menunggu belas kasihan pemilik warung agar sudi menukar beberapa recehan miliknya dengan sebungkus nasi dan lauk sekedarnya.  

            Setelah berkali-kali dikejar  Tramtib, akhirnya Bagong terdampar di rumah singgah milik sebuah LSM yang dia sendiri kurang jelas apa saja kegiatannya. Seminggu tiga kali mereka mendapat pelajaran seperti di sekolah. Bagong tidak terlalu suka belajar ilmu pengetahuan yang dia sendiri kurang tahu apa kegunaannya. Dia lebih suka diajari memperbaiki sepeda motor atau servis perkakas elektronik. Itu jauh lebih berguna dari pada membaca cerita atau mengerjakan soal-soal matematika.  Tapi mau  tak mau dia harus mengikuti semua aturan di situ. Sama seperti  semua anak lainnya.

            “Gong, cepat ! Gantian !” suara keras itu menyadarkannya untuk segera menyudahi kegiatan membersihkan badan.

            Sebagian besar anak kelihatannya sudah selesai mandi. Wajah-wajah mereka kelihatan lebih segar dari pada keseharian mereka selama di jalanan. Debu dan asap kendaraan membuat kusam wajah dan kotor pakaian mereka. Apalagi kalau hujan, genangan air di jalanan seringkali membasahi pakaian mereka jika ada mobil yang melaju kencang. Mau marah juga tak ada gunanya. Para pengendara itu tak akan mendengar sumpah serapah mereka.  Siapa juga yang mau mendengarkan anak jalanan seperti mereka. Bagong kadang geram diperlakukan seperti itu. Seolah mereka bukan manusia.

            Setelah semuanya selesai mandi, makan pagi pun sudah  disiapkan. Anak-anak berbaris dengan piring di tangan dan mendapatkan jatah makan paginya. Mereka kembali duduk menghadap meja panjang untuk memulai makan pagi. Seorang anak ditunjuk untuk membaca doa sebelum mulai makan.  Tukang masak rumah singgah menyediakan minuman di  ceret-ceret besar yang dijajarkan di atas meja.  Ada yang berisi teh  dan ada yang berisi air putih. Terserah mereka mau minum yang mana. Biasanya mereka minum keduanya secara bergantian.

            Guru sudah datang. Benar kata Suranto, mereka akan belajar bahasa Indonesia dan Matematika di  halaman rumah. Bagong tak bisa menolak karena itu sudah menjadi kewajiban mereka. Kata pemilik rumah singgah ini, setiap anak berhak mendapatkan  pendidikan tak terkecuali mereka meskipun anak jalanan.

            Kembali Bagong mencermati penjelasan guru. Bedanya pelajaran ini tidak diberikan di dalam kelas seperti waktu dia dulu sekolah. Guru-gurunya pun  mengajar dengan gaya lebih santai. Mereka sepertinya mahasiswa yang peduli pada nasib anak-anak jalanan. Memberikan pelajaran dengan penuh semangat. Tidak perlu membayar. Tidak perlu berseragam dan bersepatu. Semua anak diperlakukan sama. Dibantu jika kesulitan memahami pelajaran. Termasuk Andi yang sering salah membaca. Rupanya dia belum hapal semua abjad.  Guru perempuan bernama Mbak Siska mengajarinya  dengan sabar.

            “Kamu harus hapalkan abjad dulu,” kata Mbak Siska sambil memberikan selembar kertas bertuliskan seluruh huruf abjad yang ada.

            Waktu pelajaran matematika juga banyak anak yang merasa kesulitan mengalikan dan membagi. Sebetulnya itu pengetahuan dasar yang harus dimiliki setiap anak. Sayangnya tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan di bangku sekolah formal. Bagong pun menyadari kekurangannya dalam berhitung. Benar kata Suranto, dia memang harus bisa berhitung dengan baik karena itulah bekalnya nanti dalam berjualan.

            Pelajaran hari itu selesai jam sembilan. Itulah saat anak-anak meninggalkan rumah singgah untuk bekerja di jalan. Andi yang biasanya menenteng kursi kecil dan sikat sepatu beserta semirnya, kali ini membawa bekas tempat selai yang diisi kerikil. Rupanya dia mengikuti saran Bagong untuk mengamen dari pada menjadi tukang semir sepatu yang dirasanya terlalu berat untuknya. Bagong tersenyum melihatnya. Tiba-tiba dia berniat menggantikan Andi untuk menjadi tukang semir sepatu tapi kebiasaannya berjualan koran tak akan ditinggalkan juga. Siapa tahu dengan melakukan dua pekerjaan sekaligus akan lebih menguntungkan.

            “Mana peralatanmu nyemir?” tanya Bagong.

            “Ada di kamar, Kak,”

            “Bawa sini biar aku yang pakai !” pintanya setengah memaksa

            Andi berlari ke kamarnya dan segera kembali membawa peralatannya menyemir. “Semirnya masih banyak Kak,. Kalau dapat duit aku dikasih ya !” harapnya dengan wajah antara rela dan tidak untuk melepaskan peralatan menyemirnya pindah ke tangan Bagong.

            “Ya, tenang aja ,” janji Bagong melegakan.

            “Ayo kita berangkat sekarang. Mumpung masih pagi!” ajak Suranto dengan semangat yang menyala-nyala di matanya. Seperti Bagong, dia lebih memilih berjualan. Tapi dia menjadi pedagang asongan yang menjual tahu dan telur puyuh di terminal. Suaranya pun nyaring seperti Andi. Terbiasa berteriak menjajakan dagangannya di dalam bis kota.

            “Ndi, kamu kenapa lari dari rumah?” tanya Bagong sambil melangkah meninggalkan halaman rumah.

            “Aku nggak lari, Kak tapi numpang kereta api,” jawabnya lirih.

            “Kenapa ?” potong Suranto .

            “Aku sudah nggak tahan dipukuli Bapakku hampir tiap hari,” keluhnya lebih berupa jeritan yang tertahan.

            “Pemabuk?” Bagong mencoba menebak.

            “Ya, begitulah, Kak. “

            “Kalau Ibumu bagaimana?” Suranto ingin tahu.

            “Sama saja. Ibuku cerewet. Suka pergi malam pulang pagi. Kadang bawa laki-laki ke rumah kalau Bapakku nggak di rumah. Aku nggak suka dengan kelakuan Bapak Ibuku.”

            “Tapi kamu masih sekolah, Ndi?”

            “Masih. Aku sudah kelas tiga,” sahutnya bangga.

            “Kok nggak lancar membaca?” ledek Suranto.

          “Sering bolos , kesiangan bangun. Kalau malam aku nggak bisa tidur karena sering ditinggal sendiri di rumah. Ada tiga Kakakku, semuanya laki-laki. Kerjanya malakin orang  dan tiap  sore sudah nggak di rumah. Pulangnya nggak tahu jam berapa.”

            “Kamu sudah siap berapa lagu buat ngamen nanti?” selidik Bagong.

            “Sepuluh ,” jawab Andi mantap

            Mereka  berpencar setelah sampai di terminal terdekat. Andi memilih mengamen di bis-bis yang ke luar masuk terminal. Begitu pula Suranto yang mengambil dagangan dari belakang terminal untuk dijajakan kepada para penumpang bis.  Sementara  Bagong berkeliling dari rumah makan-rumah makan yang berderet di dalam dan di luar terminal. Mencoba menawarkan jasa membuat mengkilat sepatu. Tapi segepok koran pun dibawanya dari agen di pojok terminal. Kepada pemakai jasanya menyemir dia akan menawarkan koran juga. Dengan begitu dia bisa mendapat lebih banyak penghasilan hari itu. Tadi dia sudah berjanji akan membagi pendapatannya dari hasil menyemir sepatu dengan Andi si pemilik peralatan semir.

            Langit masih biru meskipun sedikit memudar karena cahaya matahari telah berpendar ketika matahari meninggi. Di bawah langit itulah mereka menggantungkan hidupnya.  Tanpa ada lagi belaian kasih sayang orang tua. Barangkali harapan tak selalu sesuai dengan kenyataan. Harapan tinggal bersama orang tua dalam sebuah keluarga yang harmonis  tak pernah bisa diwujudkan. Kecewa itu tertimbun bersama waktu yang terus melaju dalam kehidupan mereka.

        “Nanti siang kita ketemu lagi di depan rumah makan Padang yang besar itu ya!” kata  Bagong sebelum mereka berpencar.

        Andi dan Suranto mengangguk hampir bersamaan lalu berlarian dari satu bis ke bis yang lain.  Tak sempat lagi berpikir tentang hari esok karena begitulah keseharian mereka. Menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan. Membagi waktu antara bekerja , belajar dan bermain. Sebenarnya sama seperti anak yang lain. Bedanya mereka memilih jalan sebagai tempat menghabiskan sebagian besar waktunya.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.