Kenoto, sebuah upacara adat peminangan gadis Sabu
Mengenal peminangan dan pernikahan adat Sabu
![Kenoto, sebuah upacara adat peminangan gadis Sabu](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_64dceb64d39d4.jpg)
Kenoto merupakan sebuah tempat berbentuk kotak dimana orang selalu menyimpan sirih pinang yang terbuat dari daun lontar atau pandan hutan dan selalu dibawa kemana-mana, sebagaimana kita ketahui bahwa saudara kita dari timur sehari hari mengkonsumsi pinang sirih, tak terkecuali Masyarakat Sabu di Nusa Tenggara Timur. Istilah Kenoto juga merupakan tempat untuk menyimpan benih atau berang-barang tertentu yang dianggap sakral.
Kenoto juga dipakai sebagai sebutan terkait dengan Peminangan dan Pernikahan Adat Sabu. Peran Kenoto menjadi sangat penting dan sakral, sejak peminangan (Pejadd’i Kenoto) hingga acara pernikahan adat (Pe abba Kenoto), ketika seorang laki laki ingin meminang gadis pujaannya yang keturunan Suku Sabu.
Nona Freda, seorang gadis berdarah Sumba Sabu telah menetapkan hati untuk mengikat janji pernikahan dengan Kadek keturunan Bali Maumere. Keluarga besar Kadek telah datang meminta gadis pujaan hatinya ke orangtua Freda dan keluarga besar menentapkan acara peminangan dengan Adat Sabu (Kenoto).
Segala hal dipersiapkan dengan baik dan dengan penuh rasa syukur hari H pun tiba. Acara dilaksanakan di sebuah tempat bernuansa jawa di sudut Kota Yogyakarta.
Pengaturan ruang terbuka yang asri itu disesuaikan dengan kebutuhan upacara adat. Ada sebuah pelaminan yang elegan dan didepannya terdapat dua hamparan tikar adat (saat ini dipakai karpet) untuk masing masing keluarga duduk bersila dan melaksanakan upacara adat Kenoto.
Sekitar jam 10.30, Paman Freda (dari pihak Ibu) yang mengenakan pakaian adat Sumba lengkap dengan parang panjangnya, Juru Bicara Adat serta seluruh pihak keluarga telah siap duduk bersila di atas tikar adat yang menghadap pintu utama dimana pihak keluarga Kadek akan masuk. Sementara keluarga inti (ayah Ibu dan adik adik duduk di barisan depan di sisi "tikar adat"). Ayah Freda juga mengenakan pakaian adat Sumba dan pihak keluarga yang wanita mengenakan kebaya dan kain Sabu.
Tepat jam 11.00, keluarga besar Kadek berjalan memasuki pintu utama dan disambut oleh penerima tamu. Dalam iringan rombongan keluarga Kadek, Kadek nampak gagah dalam balutan pakaian adat mempelai pria Maumere, Juru Bicara Adat dan Christo, sepupu Kadek yang membawa ihi kenoto berada di barisan paling depan, diikuti oleh Ayah, Ibu dan kakak perempuan Kadek, di belakangnya adalah sanak saudara yang membawa seserahan.
Seserahan terdiri dari sarung sabu yang sesuai dengan marga Freda, bahan kebaya, beserta aksesoris pemanis lainnya termasuk perhiasan (emas) dan sembako, berbagai kue serta babi (disini babi disimbolkan dengan uang lauk pauk) untuk makan bersama.
Rombongan keluarga Kadek lalu duduk di tikar adat, sesuai urutan pada saat kedatangannya, sementara pembawa seserahan masih berdiri menunggu waktu untuk menyerahkannya.
Acara diawali dengan Kadek dan kedua orang tuanya menyalami dan cium hidung ke seluruh keluarga besar Freda di tikar adat sebagai salam pembuka.
Usai Kadek dan kedua orangtuanya kembali duduk di tikar adat, kedua juru bicara adat berdiri dan juru bicara adat Freda menyiapkan penerima seserahan. Satu per satu seserahan diterima oleh keluarga Freda, diikuti dengan cium hidung saat menyerahkannya.
Inti acara kenoto sendiri dimulai setelah semua duduk dengan tenang dan juru bicara adat Freda membuka percakapan, “.... yang menjadi harkat dan martabat keluarga besar Wulang, Dimu, Kalendiwaoe, Bara Pa, kami ingin mendengar apa yang mau disampaikan, silahkan.”
“Yang kami hormati, keluarga besar Wulang Dimu, keluarga besar Kalendiwaoe, Bara Pa, bersama segenap rumpun yang berada di sekitarnya, saat ini kami datang membawa persyaratan adat yang sudah ditentukan secara turun temurun untuk meminang anak Freda sebagai istri dari anak kekasih kami, Kadek” ujar juru bicara adat Kadek.
“Apakah ihi kenoto yang disyaratkan adat sudah dibawa dan sudah lengkap?” lanjut juru biacara adat Freda.
“Sudah lengkap dan kami siap menyerahkannya”, tandas juru bicara adat Kadek.
“Silahkan diserahkan kepada Banni Ha’u, untuk dapat kita lihat bersama sama” jawab juru bicara adat Freda sambil memberi isyarat pada Banni Ha’u untuk menerima ihi kenoto.
Banni Ha’u saat ini adalah Nona Pruden sebagai anak perempuan dari sepupu Mama Freda sebagaimana disyaratkan adat.
Ihi kenoto diserahkan oleh Christo -sepupu Kadek dari sisi Papa Kadek- ke Pruden, lalu Christo duduk disamping Pruden untuk bersama sama menyaksikan Pruden memeriksanya.
Ihi kenoto yang diserahkan dibungkus dengan tas kain sabu yang indah ditumpahkan ke sebuah tampah.
Berhamburan keluarlah isi ihi kenoto yaitu daun sirih*, buah sirih, buah pinang segar, pinang iris (pinang kering), kapur, tembakau, serta beberapa amplop berisi uang (dan perhiasan untuk Banni Ha'u).
Sebagian pinang kering, buah sirih, kapur dan lainnya dimasukan kembali ke dalam kantong kain sabu (sebagai syarat adat) dan diikat kembali seperti semula dan pinang sirih lainnya akan dibagikan ke para hadirin yang suka mengkonsumsinya setelah upacara usai
Banni Ha’u memeriksa berbagai amplop yang ada sambil berujar lantang, “daun sirih 25 lembar, ada; amplop untuk juru bicara; ada; amplop untuk persembahan gereja, ada; amplop untuk penerima kenoto, ada; sirih pinang lengkap”, keluarga besar kedua belah pihak dan hadirin riuh bertepuk tangan merasa lega bahwa upcara adat telah dilaksanakan tanpa kekurangan satu apapun.
Jika upacara adat kenoto dilakukan di Sumba dan sekitarnya, akan ada amplop untuk pihak pemda, karena mereka mencatat pernikahan adat.
Sebagai catatan, Freda sebagai mempelai tidak boleh menikmati ihi kenoto.
*daun sirih disini adalah istilah untuk uang kenoto atau belis, dimana nilai belis Freda tidak boleh melebihi nilai belis mamanya saat dipinang dengan adat kenoto dulu dan nilainya dikonversikan dengan nilai saat ini.
"Belis orang sabu pada umumnya adalah binatang baik itu kerbau atau kuda. Ada juga suku atau klan tertentu yang belisnya harus ada Mas atau perak. Harga belis seorang anak tidak boleh lebih dari ibunya. Kalau Ibunya punya belis tiga ekor kerbau maka anak dan keturunannya juga demikian. Tidak boleh dirubah. itu sudah ditetapkan menjadi hukum adat dalam perkawinan di Sabu Raijua" sumber artikel; Kenoto oleh Joey Rihi Ga.
Daun sirih/uang kenoto ini, secara adat yang paling utama berhak menerimanya adalah orangtua dan paman Freda dari sisi mamanya (saudara laki laki dari Mama Freda) istilahnya dalam Bahasa Sabu adalah Pili Dida. Selanjutnya atas kebijaksanaan orang tua Freda, daun sirih dapat dibagikan kepada sanak keluarga orangtua Freda lainnya seperti oma, opa, tante, adik, kakak juga para sepupu.
Setelah Banni Ha'u menyatakan ihi kenoto sudah lengkap, juru bicara adat pihak Freda berkata, “ihi kenoto sudah lengkap tapi belum cukup bagi keluarga Freda”.
Juru bicara adat Kadek menjawab “memang ihi kenoto sudah lengkap dan kami akui memang masih belum cukup untuk semuanya. Oleh karena itu, secara adat kami akan mencukupkannya itu untuk keluarga besar Wulang, Dimu, Kalendwaoe, Bara Pa, inilah…..” Kadek dan keluarga besarnya bergegas bangun dari duduk, menghampiri keluarga besar Freda dan memberikan ciumam kasih (cium hidung), maka lengkaplah sudah semuanya dengan ciuman kasih.
Setelah itu, Kadek diperkenankan menjemput kekasihnya, Freda yang berada di kamarnya. Kadek membimbing Freda berjalan bersama ke hadapan seluruh keluarga untuk bersanding di pelaminan.
Di penghujung acara kenoto (masih di tikar adat) juru bicara adat pihak perempuan menyampaikan penegasan berupa wejangan pernikahan adat yang mana pembicaraan harus disaksikan oleh kedua belah pihak keluarga yaitu;
Yang pertama adalah jika Freda dan Kadek memiliki anak perempuan dan sudah saatnya akan menikah nanti akan diperlakukan sama seperti saat Ibunya dipinang yaitu harus di kenoto.
Kedua, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada Kadek, maka Freda harus kembali ke marga keluarga mamanya (Mama Freda berasal dari Suku Sabu dengan Marga Ai Ledo).
Ketiga atau yang terakhir yang tak kalah penting adalah bagaimana Kadek akan memperlakukan Freda dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Sebagaimana filosofi Sabu "Meo kemale dammu, Ngaka jaga toka", yang artinya adalah kucing (meo) yang berada di dalam rumah, anjing (ngaka) yang berada di luar untuk menjaga rumah.
Kucing biasanya berada di dalam rumah, menguasai dan mengetahui seluruh isi rumah hingga isi loteng tempat menyimpan makanan, sedangkan anjing biasanya hanya mengetahui yang berada di luar rumah menjaga pintu/pagar.
Kadek menjawab dengan tegas di hadapan seluruh keluarga besar sebagai janji adat bahwa dia akan memperlakukan Freda seperti Meo, dimana Freda sebagai istri akan mengetahui dan menguasai serta mengatur semua isi dalam rumah, Freda akan mengetahui penghasilan Kadek dan mengatur bersama pengeluarannya secara terbuka.
Dengan usainya upacara adat kenoto, maka sah sudah sebuah peminangan/pernikahan adat Sabu dan dapat dilanjutkan dengan pencatatan sipil dan pemberkatan di gereja.
Acara ramah tamah dimulai dengan makan bersama kemudian masuk ke acara hiburan bernyanyi dan dansa dansi yang diikuti oleh kedua belah pihak keluarga serta para undangan dengan riang gembira.
Sebagai acara penutup adalah Freda berpamitan kepada mamanya (hegutu ka'do). Acara ini dimulai dengan sang mama duduk di lantai dengan kaki terbuka yang elegan dalam balutan kain sabu di antara dua tikar adat untuk menerima Freda menyampaikan maksudnya.
Freda datang dan berdiri diantara kedua kaki mamanya sebagaimana dulu dia dilahirkan, memberikan segenggam pinang sirih kepada mamanya sebagai simbol bakti anak kepada orangtuanya, lalu Freda duduk dan memeluk mamanya, berucap "terimakasih mama, untuk semua kasih yang mama berikan, yang mama lakukan sejak saya lahir hingga saat ini. Saya akan pergi untuk ikut Kadek sebagai suami pilihan saya". Sangat erat sang mama memeluk anak gadisnya dengan uraian airmata yang tak tertahankan.
Lalu sang mama berdiri dan duduk di sebuah kursi dan memanggil anak dan menantunya untuk duduk dipangkuannya, menyuapkan sesendok gula sabu dan kacang hijau, sebagai simbol bahwa sang mama menerima menantunya sebagai anaknya. Gula sabu dan kacang hijau yang disuapkan tidak boleh dikunyah dan harus ditelan bulat bulat.
Gula Sabu yang manis legit, menjadi simbol dan harapan hubungan Freda dan Kadek dalam mengarungi rumahtangganya yang akan selalu manis, selalu baik, jangan sampai ada kepahitan dalam keluarga. Kacang hijau yang berangkai rangkai yang isi kacangnya banyak, menjadi harapan akan rejeki dan berkat yang berlimpah dari Tuhan bagi keluarga baru Freda dan kadek, juga ketika nanti mereka diperkenankanNya untuk mendapat keturunan yang baik lagi membanggakan.
Cium hidung adalah lambang cinta kasih. Permasalahan mungkin akan sering datang dalam hidup berkeluarga, dalam persaudaraan, namun ketka ada cinta kasih di dalamnya, semua masalah akan dapat terselesaikan dengan baik. Cinta kasih akan menghapus semua kekurangan, semua kesalahan.
Selamat menempuh hidup baru Freda dan Kadek, semoga langgeng dan bahagia hingga maut memisahkan
Terimakasih Mama Bida Bara Pa, Kak Opi Kalendiwaoe untuk informasi adat Sabu; Kak Maryori Shirley Kalendiwaoe dan Kak Ama Wulang untuk daun sirih tanda cinta kasihnya; Debby Kalendiwaoe untuk kirim semangatnya; Freda, untuk ijin tayang fotonya; Om Bud untuk saran dan bimbingannya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.