Pada 16 Desember 2024 lalu, secara kebetulan aku melihat seekor induk ayam dan dua pitiknya. Ah, tapi apa sih istimewanya melihat ayam di seantero Indonesia ini? Lokasinya itu lho, bung!
Tempat aku menemukan mereka bukanlah di area perumahan di mana ayam banyak bebas berkeliaran. Melainkan, di tepi hutan kecil di wilayah sebuah kampus perguruan tinggi yang besar dan terkenal di ibu kota negara. Di dekatnya, ada jalan besar beraspal dua jalur. Di seberang jalan aspal itu, terdapat sebuah stasiun commuter line.
Setelah keluar dari stasiun tadi dan lalu menyeberangi si jalan aspal, kita akan bertemu dua jalan setapak conblock. Dua-duanya membelah hutan kecil yang telah kusebut di atas. Satu ke kiri, satu ke kanan. Hari itu, aku ambil jalan setapak yang kiri. Di situlah, dari sisi sebelah kananku, kudengar suara pitik ayam riuh tapi halus.
Kutengokkan kepalaku, dan kulihat seekor induk ayam hitam yang tak terlalu besar badannya. Di dekatnya, terlihat dua anak ayam yang mungil-mungil. Mereka tampak riang gembira mengikuti gerak induknya, yang asik mematuk-matuk tanah mencari makan. Posisi mereka di bawah semak-semak, menyamar menjadi daun.
Merasa lucu melihat mereka berada di tempat luar biasa itu, kupotretlah dengan ponselku. Ternyata susah banget, karena, pertama aku sungguh tak pandai memotret, apa lagi memakai ponsel yang begitu-begitu saja spec-nya. Belum lagi para piyik kerap sigap menyusup ke bawah semak, setiap kali aku sedikit saja mengendap untuk mendekat demi mendapat gambar yang lebih jelas. Beberapa kali mereka kufoto, dan pada foto-fotoku itu yang jelas terlihat hanya hijaunya dedaunan saja. Di satu foto sedikit bokong si induk tampak menyembul.
Sudahlah, pikirku. Kutinggalkan mereka dan melanjutkan perjalananku. Dua hari jelang pergantian tahun, aku lewat lagi di sana. Saat itu, aku sudah lupa dengan mereka, dan hidup pun berlangsung terus. Sampai pada 3 Januari 2025, ketika aku lewat lagi di sana.
Eh, ternyata mereka terlihat lagi! Kali ini, pitiknya hanya ada seekor, yang warnanya mirip induknya yaitu kehitaman. Pitik yang bulunya lebih banyak putihnya sama sekali tak tampak. Si pitik hitam itu kelihatan sudah lebih besar dibandingkan dengan saat pertama kali aku melihatnya. Barangkali sudah dua kali ukuran sebelumnya.
Terpana karena teringat lagi pada keluarga mungil itu, aku berdiri diam selama beberapa jenak. Mataku mencari-cari si kecil satunya, dan menunggu. Siapa tahu si putih muncul dari semak-semak. Kutajamkan telingaku, mengharap sekurangnya aku bisa mendengar suara piyek-piyeknya dari dalam semak-semak. Tapi, sama sekali tak ada terdengar suara si pitik kedua, apalagi penampakan gerakannya.
Meski aku diam saja bagai patung, keberadaanku sepertinya disadari oleh dua anak beranak itu. Mereka sepertinya menjadi cemas, dengan sedikit terburu-buru mereka pun menjauh. Masuk ke dalam semak-semak. Melihat hal itu, aku cepat-cepat mengeluarkan ponsel untuk memotret. Cekrek! Cekrek!
Kalau di foto-foto sebelumnya, yang kubuat pada 16 Desember 2025 lalu, meski gambar ayam-ayamnya buram, tetapi dedaunan semak-semak nan hijau itu masih tampak jelas. Sementara, foto kali ini semua buram. Baik hijau dedaunan apalagi hitamnya si ayam. Mungkin, karena aku super buru-buru berhubung sudah panik melihat para ayam makin menjauh. Atau, memang payah saja aku dalam hal memotret.
Kuhela nafas sebelum melanjutkan langkah menuju tujuan. Hatiku bertanya-tanya, apa kiranya yang telah terjadi pada si pitik putih. Jangan-jangan, dia sudah di Jembatan Pelangi. Mungkin penyakit yang meniadakannya, tapi mungkin juga tertangkap predator. Ular, misalnya, atau burung-burung buas. Atau juga, kucing liar yang seringkali terlihat tidur atau bengong di sekitar hutan kecil, sambil berkeliaran demi berjuang untuk hidup.
Hidup meliar seperti itu pastinya tak gampang buat ayam yang biasanya dipelihara manusia. Aku bertanya-tanya, apa sebab si induk ayam itu bisa 'berakhir' di hutan kecil ini. Bagaimana bisa? Apakah ia lepas dalam perjalanan menuju ke pejagalan? Kaburkah ia dari tempat peliharaan di rumah penduduk yang pastinya cukup jauh? Atau, mungkin terbang terbawa angin keras yang belakangan sering terjadi di daerah itu?
Pastinya sih, dia masih hidup saat kujumpai untuk yang kedua kalinya, dan masih bersama keturunannya yang mungil itu meski hanya tinggal seekor. Sambil berjalan menjauh di jalan setapak itu, sekali lagi kuhela nafas seraya menghempas doa. Semoga, si induk ayam dan pitiknya bisa hidup damai selama mungkin. Semoga, tak ada manusia yang lalu menangkapnya –tak bsa dipungkiri bahwa ada saja manusia yang bila melihat ayam tak bertuan lalu berpikir untuk memindahkannya ke piring.
Semoga mereka aman. Meski hatiku rada kecut juga. Burung liar saja ditangkap oleh manusia, apalagi ayam yang 'seharusnya' hidup di kandang. =^.^=