Bukan Lagi Laboratorium Biologi

Bukan Lagi Laboratorium Biologi
Image by OpenClipart-Vectors from Pixabay
Waktu Ibu masih ada, jelang lebaran kupastikan bahwa aku pulang ke rumah beliau—kami hidup di kota yang sama. Lalu, seperti masa ketika aku masih tinggal bersama Ibu dan Ayah, jadwal jelang lebaranku adalah beberes rumah yang cenderung berantakan habis-habisan. Ibuku penerjemah, kertas-kertas pekerjaannya berserakan di mana-mana, buku-buku dan kamus-kamus tergeletak di sana-sini. Semua itu harus dirapikan, tapi, tak boleh membuat Ibu kehilangan jejak dari urusan pekerjaannya. Agak runyam memang.
 
Namun, yang sebenarnya lebih runyam lagi adalah lemari es Ibu. Lemari es dua pintu punya Ibu, yang besar itu, selalu penuh. Bahan-bahan makanan macam sayur-sayuran, buah-buahan, serta makanan-makanan jadi atau separuh jadi; semua ada disitu. Palugada-lah! Apa yang lu mau, gue ada. Masalahnya, berapa banyak dari itu semua yang masih bisa dikonsumsi?
 
Sayur-mayur, atau yang semula sayur-mayur, umumnya tersimpan dalam kantong-kantong plastik yang tertutup rapi. Sebagian besar sudah hancur menjadi cairan kental menghitam, atau sekedar layu menguning. Lainnya berubah menjadi gumpalan-gumpalan tanpa bentuk. Pada kacang-kacangan dan umbi-umbian sudah tumbuh akar atau pucuk daunnya. Lainnya telah ditumbuhi oleh berbagai jejamuran dan entitas lain yang tak dapat kuidentifikasi.
 
“Lemari es atau laboratorium biologi, nih?” almarhum Ayah, dulu, selalu bertanya sambil tertawa geli.
 
Tak jarang aku menjadi penasaran, apa sejatinya sebuah gumpalan tak berbentuk dalam suatu kantong plastik atau apalah namanya.
 
“Ini apa sih, Bu?” tanyaku sambil memperlihatkan temuan tertentu itu.
 
Ibu menengok ke arahku sejenak dari apapun yang dikerjakannya. Mengintip melalui bagian atas kacamata bacanya, lalu merespon pendek, “Wah, apa ya?” Dan, kemudian beliau kembali menekuni apapun yang tadi tengah ditekuninya sebelum aku melontarkan pertanyaan.
 
Dapat dipastikan, nyaris 100% dari isi lemari es Ibu akan berakhir di tempat sampah. Kalau kupikir lagi, bagian paling seru dari kegiatan beberes jelang lebaran di rumah kami, dan lalu di rumah Ibu, adalah, operasi bongkar lemari es ini. Cukup asik juga lho, mengupayakan suatu pengerahan tenaga untuk mengembalikan kondisi lemari es tersebut, sampai menjadi bukan lagi laboratorium biologi. Kalau boleh sombong, kukatakan kegiatan itu adalah bagai sebuah proses yang ajaib.
 
Ketika semua yang telah tak berbentuk dienyahkan, dinding dalam kulkas aku seka bersih-bersih. Rak-rak pun dicuci, dan kulakukan tindakan lainnya yang sejenisnya di se-antero lemari es. Sampai lemari es Ibu itu menjadi enak dipandang lagi. Cerah dan terang.
 
Kelar bebersih, aku jadi iseng. Beberapa kali kubuka pintu kulkas lebar-lebar, hanya untuk memandangi hasil karyaku dengan bangga. Sambil merasakan sejuknya lemari es yang mendadak kembali normal, bersamaan dengan lenyapnya spesimen-spesimen laboratorium ala-ala tadi.
 
“Hei, cepat tutup pintunya! Pintu menganga lebar begitu buang-buang listrik, tahu!” tegur Ayah yang selalu ribut akan tingginya tagihan listrik,
 
Kututup lemari es yang sudah bersih dan telah kosong itu. Puas hatiku! Si lemari es sudah bisa diisi lagi oleh berbagai makanan dan bahan makanan. Ia sudah siap menerima kedatangan sisa-sisa makanan lebaran esok hari. Makanan-makanan yang jangan-jangan baru pada malam takbiran tahun berikutnya akan keluar lagi dari situ. Dengan kemungkinan setelah berubah menjadi spesimen labratorium biologi.
 
Ibu kini sudah tak ada, telah menyusul Ayah ke alam sana. Tapi, ternyata aku sering lho menemukan Ibu pada diriku sendiri. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya ya—kecuali jatuhnya di sungai barangkai. Coba tebak, hal paling buruk apa yang Ibu turunkan padaku? Kalau kamu menjawab,”Mengubah lemari es menjadi laboratorium biologi”, nah, silakan ambil payung cantiknya, kakak…
 
Itulah hal paling horror yang ‘kuwarisi’ dari Ibu—maaf ya, Bu, main tuduh-tuduh begini hehehe... Coba saja lihat, lemari es-ku, yang meski hanya satu pintu dan ukurannya hanya setengah dari ukuran lemari es Ibuku dulu, seringkali isinya adalah pengulangan cerita lemari es Ibu. Mungkin saja situasiku lebih buruk. Sebab, Ibu dulu mempunyai aku sebagai si sapu jagat. Sementara, aku tidak punya siapa-siapa—eeeh, bukan artinya aku sebatang kara sih.
 
Sampai suatu hari, saya ikut Eating Reorder—batch 6, Coach Aline Jusria dong *heart*. Malam setelah zoom menu pertama selesai, saya masih sempat untuk belanja ke warung sayur terdekat, yang tak jauh jaraknya dari rumah. Mereka sudah mulai kukut-kukut karena sudah lewat jam 9 malam, tapi aku sukses belanja. Beli selada, pepaya, telur, dan berbagai macam bumbu—sebagai orang yang tak pernah memasak, garam pun aku tak punya.
 
Dengan sedikit ngos-ngosan saking semangatnya, aku sampai kembali di rumah. Kubuka lemari es dengan maksud hendak menyimpaan belanjaan tadi. Eits! Koq lemari es-nya penuh!? Untungnya, dengan sedikit melakukan maneuver sana maneuver sini, masalah akhirnya bisa teratasi. Bahan-bahan yang perlu masuk lemari es, sudah berhasil masuk semua! Lalu, aku pergi tidur. Agak-agak berharap bahwa pada saat aku tidur bakal ada peri-peri baik hati yang membenahi lemari es-ku—tentu saja tak ada.
 
Keesokan harinya, sesudah sarapan, kuniatkan memulai razia kulkas. Untungnya, belum ada yang sudah terbentuk spesimen-spesimen biologi tingkat lanjut. Segala macam yang sudah tak layak dikonsumsi baik oleh manusia maupun kucing-kucing, kubuang. Yang masih berbentuk (dikenali apakah itu), bagus, dan masih bisa dimakan tetapi tak ada di menu; saya berikan ke tetangga.
 
Sebagian yang saya serahkan ke orang lain itu saya lakukan dengan rada-rada sedih hati lho. Semisal, kacang teri kering pedas. Itu makanan enak benar, sampai-sampai makannya diirit-irit. Saking di-irit-iritnya sampai nggak habis-habis, e tahu-tahu aku ikut ER, yang kita semua tau sangat idih-idih dengan makanan sejenis itu. Tapi, aku memberikannya ke tetangga dengan sangat rela dan ikhlas koq, apalagi melihat tetangga tersayang menjadi bahagia banget saat menerima seplastik besar kacang teri itu.
 
Sampai menjelang snack pagi, lemari es sudah beres dan bersih. Untungnya, freezer-nya tidak dalam kondisi parah. Jadi, tak perlu di-defrost. Aku pun mempersiapkan snack pagi pertamaku di program ER-ku. Selesai snack pagi, sambil duduk membaca buku, saya mulai berpikir segala sesuatunya tentang program ER. Sebab tak konsentrasi dalam membaca, kututup bukuku dan ku-elus Obli, kucingku yang waktu itu baru berumur 10 tahun—sekarang sudah 12 tahun.
 
“Wah, repot juga ya kalau tiap hendak makan harus ditimbang-timbang terlebih dahulu,” kataku ke Obli, yang tak meresponku sama sekali.
 
“Mungkin sebaiknya aku timbang-timbang saja dulu semuanya ya, Bli, lalu dipaket-paketkan. Jadi, tiap mau masak tinggal ambil paket yang diperlukan. Pepayanya juga. Bagaimana menurutmu, ide bagus, kan?” aku mengajak Obli diskusi—lagi-lagi tak ada respon darinya, ia bahkan melengos.
 
Terserah apapun pendapat Obli, niat itu segera kuwujudkan. Kuambil kantong-kantong plastik, baik yang baru maupun bekas tapi bersih. Kubongkar tempat penyimpanan boks-boks plastik mika bekas makanan, yang semula hendak kuhibahkan ke siapapun yang membutuhkan.
 
Selada, tempe, pepaya, nasi; kutimbang ke gramasinya masing-masing. Kutempatkan selada dan tempe pada kantong-kantong plastik. Dengan spidol tahan air, kububuhkan catatan waktu makannya dengan kode huruf awal. B = breakfast, L = lunch, D = dinner. Nasi dan potongan pepaya masuk ke dalam boks mika-nya masing-masing. Kutempelan stiker label putih pada tutupnya, kububuhkan catatan serupa. Dijamin aku takkan nyasar deh.
 
Bahan makanan menu pertama untuk beberapa hari ke depan, sudah beres tergramasi. Kini, waktunya untuk kantong-kantong plastik dan boks-boks mika itu masuk ke dalam lemari es yang kini kosong dan bersih. Selesai mengisi lemari es, semakin jelas terlihat betapa sesungguhnya bersih dan apiknya lemari es tersayangku itu. Tumpukan kotak-kotak mika dan kantong-kantong plastik tampil rapi jali tertata. Dan, kurasa karena isi yang teratur serta sudah bersih, suhu dalam lemari es-ku pun membaik—maafkan kalau teori cocokologi ini ngawurnya sangat bukan main.
 
Wahai sang semesta, lihatlah! Baru hari pertama di menu pertama Eating Reorder saja aku sudah mendapatkan hal positif, yang tentunya sangat berguna. Ini jelas sebuah langkah awal bagi lemari es-ku agar tak lagi jadi calon laboratorium biologi. Pasti takkan muncul lagi spesimen percobaan seperti sebelumnya. Aku yakin itu! Aku bisa! Dengan kepastian gramasi, bahan makanan takkan bersisa. Aku pun jadi selalu tahu apa saja isi lemari es-ku—sesuatu yang ternyata berlanjut bahkan setelah program ER-ku selesai.
 
Masih dengan perasaan puas, bangga, dan senang; di hari pertama menu pertamaku itu, berkali-kali kubuka pintu lemari es-ku lebar-lebar. Kuhirup hawa sejuk nan bersihnya. Kupandangi, lagi dan lagi, isinya yang teratur. Kukagumi hasil kerjaku sendiri dengan bangga. Kubuka pintu lemari es selama mungkin, sepuas-puasnya, selebar-lebarnya. Mumpung takkan ada teguran dari Ayah soal mahalnya tagihan listrik—meski aku mau membayar berapa saja untuk bisa mendengar suara Ayah lagi barang sekali.   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.