Partuturan
Warisan komunikasi interpersonal dalam lingkup kekerabatan suku Batak Toba

Mungkin kita pernah menjumpai situasi dimana orang Batak yang baru kenal dengan orang Batak lainnya bisa langsung akrab seolah keluarga dekat. Hal yang lumrah memang. Kenapa bisa begitu? Ada istilah partuturan (tatanan kekerabatan) yang membuat keakraban itu terwujud meski sebelumnya dua orang atau pihak belum saling kenal. Itu pula yang membuat partuturan suku Batak ini menjadi istimewa diantara suku bangsa lainnya.
Partuturan sendiri kurang lebih adalah sistem kekerabatan atau pertalian keluarga berdasarkan pada marga dari orang yang bercerita atau si penutur yang bersangkutan. Sebagai contoh, jika seorang wanita Batak bermarga (boru: anak perempuan dari) Siahaan dan ibu boru Marpaung, maka paman bermarga Siahaan dari garis ayah akan disebut Amangtua (bapak tua) atau Amanguda (bapak uda) tergantung usia dan urutan marga dalam silsilah (tarombo). Sedangkan bibi semarga ayah akan disebut Namboru. Posisi sebaliknya, paman dari marga ibu akan disebut Tulang dan bibi akan disebut Inangtua (Mama tua) atau Inanguda (Mama Uda) menurut usia dan urutan marga pada silsilah. Saudara dengan gender yang sama akan disebut Akkang-Anggi untuk laki-laki dan Kakak-Anggi/Adik untuk perempuan. Ito/Iboto untuk saudara beda gender. Pariban untuk anak perempuan Tulang atau anak laki-laki Namboru. Cukup rumit bagi yang kurang terbiasa tetapi jika sudah paham betul akan merasakan perbedaan saat saling mengenal dimulai dari partuturan. Dari yang semula hanya menjabarkan pertalian keluarga inilah dapat berlanjut ke hal yang lebih luas. Komunikasi antar keluarga, antar kelompok, baik untuk kepentingan sosial, bisnis, atau apapun itu. Maka tidak heran jika partuturan sebagai media untuk saling kenal juga untuk berkomunikasi dengan lebih akrab.
Lalu muncul pertanyaan apakah semua orang Batak pasti bisa dan lancar partuturan? Penulis secara pribadi akan menjawab "tentu tidak". Hal ini penulis dasarkan pada pengalaman pribadi penulis yang lahir dari pasangan ayah berdarah Batak dan ibu dari suku Toraja. Penulis sendiri lahir dan besar di salah satu kota di pulau Sulawesi.
Lahir dan besar dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang terbilang majemuk menjadikan penulis (secara pribadi) agak kesulitan mendalami kultur salah satu suku bawaan orang tua. Akibatnya, penulis hanya tahu sedikit tentang kultur Batak dan sedikit tentang Toraja. Sebaliknya, apakah terlahir dari orang tua berbeda suku akan mutlak membuat anak lupa partuturan? Penulis akan menjawab tentu saja tidak. Lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam hal ini. Adik penulis justru lebih pandai dalam hal partuturan. Seringnya bertemu dengan orang sesuku dan bertegur sapa serta berdiskusi membuat dia lebih paham dan mudah dalam menjelaskan pertalian keluarga dari marga kami.
Kembali tentang partuturan sebagai media komunikasi. Teringat beberapa tahun lalu ketika penulis dalam suatu kesempatan mengikuti ibadah di gereja Batak di negara adidaya. Penulis merasa canggung bahkan cenderung minder berada di tengah-tengah orang Batak yang merantau di negeri Paman Sam. Mereka malah terkesan cuek. Orang yang tak kenal akan mengatakan mereka sombong. Hingga ketika penulis ditanya marga dan menuturkan ini dan itu, siapa memanggil apa, dan seterusnya, raut wajah mereka sumringah bahkan ada yang berkomentar bahwa penulis sangat pandai partuturan. Penulis dengan halus menolak. Penulis sadar diri, itu hanya basic skill seorang boru Batak, yang tak perlu dipuji apalagi berlebihan. Yang penting adalah bagaimana setelah partuturan itu, suasana menjadi dekat, lebih cair, lebih rileks.
Obrolan tentang suka-duka menjadi diaspora mengalir diselingi canda dan guyonan tetap dengan rasa hormat kepada yang lebih tua baik dari segi umur maupun pertalian kekerabatannya. Percakapan ringan berjalan bahkan ketika ada yang berkeluh kesah sulitnya menjadi minoritas dan menahan rindu di negeri orang. Maka disadari atau tidak, komunikasi yang tadinya hanya supaya didengar berubah naik tingkat menjadi media untuk mempererat pertemanan bahkan untuk mencari solusi atas suatu masalah. Ini bermula dari sekedar perkenalan melalui partuturan singkat.
Partuturan pula yang membuat dua orang yang berselisih paham bisa duduk bersama dan mengkomunikasikan masalah diantara mereka dinaungi warisan leluhur Dalihan Na Tolu atau 3 Dasar Tungku, yaitu Somba Marhulahula (hormat pada keluarga atau marga istri), Elek Marboru (Mengayomi atau belas kasih kepada anak perempuan), dan Manat Mardongan Tubu (Berhati-hati pada yang semarga). Lantas apakah dengan partuturan maka mutlak tidak akan ada konflik antara dua orang atau pihak? Menurut hemat penulis, konflik atau masalah terjadi terutama bukan pada subjek, siapa dengan siapa, tetapi pada apa yang menjadi bahan atau biang masalah. Partuturan tidak mutlak menjadi jawaban atas suatu masalah tetapi melalui partuturan ada komunikasi yang lebih terarah, lebih "segan dan hormat" pada pihak lawan bicara yang membuat kedua pihak lebih dapat menahan diri dan mengurungkan niat untuk bersitegang.
Penulis merasa beruntung lahir di tengah keluarga yang memiliki warisan seindah dan seberharga partuturan ini. Seandainya ada yang salah memanggil julukan pada orang lain, maka jangankan untuk duduk bersama menyelesaikan masalah, bertegur pun mungkin sulit, saking pentingnya penghargaan atas partuturan. Tak kenal tua atau muda, kaya atau miskin, keturunan bangsawan atau petani, jika ikut partuturan maka mutlak hormat atau segan pada marga dan orang yang lebih dituakan. Maka tak heran jika partuturan tidak hanya menjadi media komunikasi untuk lebih mempererat kekerabatan tetapi juga untuk berbagi cerita dan berkeluh kesah, karena bagi penulis semua masalah dapat diselesaikan dengan komunikasi.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.