Watashinoie (Bagian Kedua)

Tempat praktek dokter Rizal adalah sebuah paviliun yang sangat asri dan sejuk. Tampak dari luar antrian sudah sedikit karena waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Lia memarkir mobilnya persis di samping mobil dokter Rizal. Beberapa saat Lia sempat merapikan rambutnya dan juga riasan wajahnya. Malam ini dia mengenakan pakaian santai overall jins dengan dalaman kaos oblong putih, rambutnya digerai dan dihiasi bandana warna kuning hingga sangat serasi dengan wajahnya yang cantik dan putih. Secara keseluruhan dia menampilkan wajah segar, tidak tampak seperti mahasiswa tingkat akhir dan sudah menjadi asisten dosen.
Amalia melangkah menghampiri meja pendaftaran dan tersenyum menyapa suster Arini yang sudah sangat dikenalnya.
"Lho Mbak Lia, ini 'kan bukan jadwal kontrol Ibu?" sapa suster Arini spontan.
"Iya Sus, tadi sudah ada janji dengan Dokter Rizal," sahut Amalia sopan.
"Ini Lia belikan martabak. Pasti Suster belum makan malam 'kan?" ujar Lia sambil menyodorkan plastik berisi dua dus martabak yang tadi dibelinya di jalan. Ini bentuk lain perhatian Amalia pada semua staf dokter Rizal yang sudah seperti keluarga sendiri. Mereka selalu senang bila Amalia datang, karena semua staf dokter Rizal sudah sangat mengenal keluarga Lia dan juga Ibu serta tante Karin.
"Waah terima kasih ya, Sayangku, tahu aja sih, kalau perut kami sedang bergenderang karena lapar," ujar suster Arini bahagia.
Sambil duduk di kursi tunggu, Amalia tersenyum mencoba menyembunyikan gundah hatinya tentang apa yang akan disampaikan dokter Rizal padanya nanti.
Tak berapa lama setelah semua pasien selesai, Suster Arini datang menghampiri Amalia yang sedang asik membaca buku yang sengaja dibawanya dari rumah untuk mengisi waktu menunggu.
"Kalau anak pintar memang beda, ya, menunggu sambil baca buku. Ayo, Sayang, dokter Rizal sudah menunggu di dalam." Suster Arini lembut menggandengnya lembut.
"Oh, sampai kaget, sudah selesai semua, Sus?" tanya Amalia kaget.
"Sudah, Sayang, masuklah." Suster Arini mempersilakannya masuk.
Perlahan pintu dibuka oleh Lia, dia melangkah perlahan menghampiri meja dokter Rizal yang duduk dengan senyum khasnya menyambut Amalia.
"Selamat malam dosen muda, kalau kamu begini ke kampus bisa-bisa kamu disangka anak SMA yang kesasar masuk kampus, Lia," sapa dokter Rizal hangat.
"Dokter bisa aja, masa Lia harus pakai setelan jas menemui Dokter?" balas Lia dengan humor.
"Kamu cantik sekali, seperti anak sekolah. Bagaimana Ibumu?" lanjut dokter bertanya.
"Alhamdulillah Ibu sehat, minggu ini lebih tenang dan beberapa hari kami bisa ngobrol yang nyambung, Dok. Ibu tidak gelisah dan cenderung aktif, mungkin karena Tante Karin mengajak Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di kebun. Mereka sedang asik menanam tomat dan cabai." Penjelasan Lia panjang dan didengar dengan seksama oleh dokter Rizal.
"Syukurlah, bila Ibu sudah ada pada fase ini, saya ikut senang dengan perkembangan Ibu. Semoga besok kalau panen tomat saya diundang untuk menikmati jus tomat," ujar dokter Rizal.
Tiba-tiba pintu dibuka, suster Arini masuk dengan piring kecil berisi martabak yang dibawa Lia tadi. "Ini ada oleh-oleh martabak, Dok, dari Lia," ujar suster Arini sambil meletakkan piring martabak di meja.
"Waah ini traktiran dari Bu Dosen, ya? Alhamdulillah kebetulan saya lapar," sahut dokter Rizal sambil melirik Lia.
"Ih, Dokter tinggal dimakan aja, jangan sebut Dosen kenapa, sih?" ujar Lia tersipu malu.
"Dosennya cantik sekali, curiga mahasiswanya antri buat nganterin pulang, nih," sahut suster Arini.
"Tuh 'kan, Suster ikutan, Lia kalau ngajar galak, lho!" protes Lia dan mereka bertiga tertawa.
"Jadi, bulan depan saya ada tugas belajar ke Jepang, Lia. Selama saya di Jepang, semua rekam medis Ibu saya serahkan pada Dokter Danu. Dia juga dokter muda yang berbakat, dia sedang ambil spesialis untuk penyakit Ibumu." Dokter Rizal menjelaskan sementara Lia mengangguk paham.
"Berapa lama dokter di Jepang?" tanya Lia.
"Sekitar 8 bulan. Kurang boleh, tapi lebih tidak boleh. Jadi jangan risau, saya akan pantau dari sana," ujar dokter Rizal karena tahu bahwa Amalia tampak gelisah.
"Dok, Lia boleh 'kan sewaktu-waktu telepon Dokter? Bila Ibu kambuh?" tanya Lia polos.
"Tentu saja, kamu boleh menelepon kapan saja, tiap hari juga boleh," sahut dokter sambil tertawa.
Lia pun ikut tertawa, jadi sudah dipastikan tak ada yang bisa dirisaukannya bila terjadi sesuatu pada Ibu. Dia bisa menelpon kapanpun ke dokter Rizal.
"Tenang saja, besok sebelum berangkat ke Jepang saya ke rumah dulu, pamit pada Ibu agar beliau tidak gelisah bila nanti langsung berhadapan dengan Dokter Danu." Penjelasan dokter Rizal membuat hatinya tenang.
Dokter ini memang selalu bisa membuat Lia tenang, mungkin karena dokter Rizal sudah lama mengangani Ibu, bahkan seingatnya sejak dokter Rizal menjadi asisten dokter Farok, dan itu terjadi saat Amalia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama di saat awal ibu menderita depresi. Sejak dokter Farok pensiun, maka pengobatan ibu dilimpahkan pada dokter Rizal.
Terkadang Amalia membayangkan memiliki kakak seperti dokter Rizal yang bisa menemaninya kemanapun dia pergi, mengajarinya mengerjakan tugas sekolah, bahkan melindunginya di saat dia kesal diganggu teman sekolah yang usil. Tetapi pada kenyataanya Amalia adalah anak tunggal yang tak memiliki saudara. Dirinya seperti ditakdirkan untuk hidup sendiri dan menghadapi semua sendiri tanpa ada teman berbagi.
Kadang ada gelisah di hati, melihat teman kuliah yang bisa memiliki teman dekat tapi semua menjadi pupus saat dia melihat kondisi ibu yang tambah parah, dia tak ingin ada orang lain yang tahu bagaimana kondisi kejiwaan ibu. Terkecuali beberapa dosen yang sering bekerja sama dengannya dalam proyek kampus yang mengerti kondisi jiwa ibu. Dan ini justru menjadikannya dipandang sebagai mahasiswi hebat dan mandiri. Hal itulah yang membuatnya menjadi pembicaraan di kalangan dosen, tentang bagaimana tegarnya seorang gadis menghadapi rumitnya hidup.
Walau sejatinya kondisi ibu justru membuat Amalia minder, merasa terasing dan merasa tidak nyaman dalam pergaulan. Selalu ada kata penolakan bila temannya mengajaknya bergaul. Tak pernah ada waktu bagi dirinya untuk melakukan hal yang berjiwa muda.
Malam ini ada rasa yang hilang saat Amalia mendengar berita bahwa dokter Rizal akan pergi ke Jepang dalam waktu yang lama, ia tak pernah tahu rasa apa yang dialaminya malam ini. Yang dia tahu semua menjadi hilang, semua lenyap berganti rasa sepi walau tak ingin dia perlihatkan pada dokter Rizal. Masih bisa dihadapan dokter Lia tersenyum sambil menikmati martabak yang mendadak menjadi hambar di lidahnya.
"Selamat jalan, ya, Dok. Lia mau dibawakan kimono motif bunga Sakura, dong?" pintanya manja seperti adik yang merengek meminta sesuatu pada kakaknya.
"Tenang, nanti saya kirimkan untuk Lia, yang penting jaga Ibu, ya? Kabari bila ada sesuatu yang gawat," ujar dokter Rizal dengan suara yang lembut.
Entah mengapa, tiba-tiba Lia menjadi sangat sedih mendengar kata-kata dokter Rizal padanya. Dia teringat pada seorang lelaki yang juga pernah memberinya pesan yang sama tentang ibu. Memberi kabar yang penting tentang ibu, itu sudah membuat air di pelupuk matanya tak bisa dia tahan. Sambil tersedu dalam diam dia mengangguk dan mengambil tissue untuk menghapus air matanya. Dari balik mejanya dokter Rizal yang melihat Lia menangis, seperti bingung hendak melakukan apa, maka dengan lembut dia menggengam tangan gadis itu.
"Ayolah Jepang itu dekat, kalau ada yang menyakitimu saya janji untuk langsung terbang kembali ke Indonesia untuk menghantam siapapun itu. Jadi jangan nangis, ya? Kamu persis anak kecil kalau lagi mewek gitu, masa dosen nangis?" ujarnya berusaha melucu.
"Biarin, Lia kebayang Ibu pasti bakal nyariin Dokter kalau lagi kontrol. Padahal tiap kontrol Ibu selalu sibuk suruh Lia buatin kacang goreng buat oleh-oleh ke Dokter. Ibu cuma ingat kacang goreng kesukaan Dokter," ujar lia polos.
"Tolong besok buatin saya kacang goreng yang banyak, ya? Biar di Jepang bisa ngemil," ujarnya sambil tertawa.
***
Ini adalah hari pertama jadwal kontrol ibu ke rumah sakit jiwa kota, setelah keberangkatan dokter Rizal ke Jepang. Seperti biasa ibu berdandan cantik dan tampak riang. Dengan gaun sederhana berwarna salem itu ibu tampak sangat anggun. Kali ini rambut ibu sengaja digelung rapi oleh tante Karin dan diberi hiasan bunga melati imitasi yang justru membuat ibu tambah cantik.
"Kacang gorengnya tidak lupa kan Karin?" tanya ibu dengan riangnya.
"Sudah Mbak, semua sudah siap tuh di toples biru," jawab tante Karin sambil menunjuk toples mungil di atas meja.
"Ayo Lia nanti kita terlambat, kasihan Dokter Rizal," kata ibu bersemangat.
Dari balik meja tante Karin saling menatap dengan Amalia yang sedang menyiapkan berkas kontrol ibu. Iya, mereka paham ibu tak ingat bahwa seminggu yang lalu dokter Rizal datang berkunjung ke rumah untuk pamitan dengan ibu bahwa mulai minggu depan ada dokter Danu yang akan memeriksa ibu sebagai pengganti selama dokter Rizal bertugas di Jepang.
Semua paham ibu tak akan pernah mengerti apa yang terjadi, semua datar tanpa emosi.
Memasuki halaman rumah sakit, setelah mencari tempat parkir yang teduh. Lia membangunkan ibu dengan lembut, memberikan jeda waktu ibu untuk sadar sepenuhnya setelah tidur di perjalanan. Menyodorkan botol minum air putih agar tampak segar kembali. Tanda dari siapnya ibu untuk turun dari mobil adalah dengan memberi senyum dan mengangguk mengajak Lia turun dari mobil.
Langkah kaki ibu dan anak itu perlahan menyusuri lorong rumah sakit, berpapasan dengan beberapa suster yang sudah sangat mereka kenal tak jarang berhenti sebentar karena suster itu menyalami ibu dan Lia.
Yah, mereka adalah pasien yang sudah sangat dikenal oleh para dokter dan suster, ada pun dokter senior di rumah sakit itu selalu memberikan perhatian yang lebih pada Amalia karena mereka sudah menganggap Amalia sebagai anaknya. Bahkan mereka lebih mengerti perkembangan Amalia tumbuh dari gadis remaja yang mengadeng ibunya menyusuri lorong hingga sekarang menjadi wanita dewasa yang tak pernah berubah pada ibunya, tiap jadwal kontrol selalu datang mengandeng ibu dengan penuh kasih, membawa botol minuman serta camilan untuk ibu. Setelah selesai kontrol pun masih ada ritual mereka berdua duduk di taman sambil melihat air mancur yang terletak di tengah bagian rumah sakit itu.
Selalu seperti itu, mereka duduk berdua memberikan kesempatan ibu menikmati embusan sejuk angin dan suara gemericik air, Amalia suka sekali melihat wajah ibu yang damai bila melihat air mancur di taman rumah sakit itu. Seluruh staf rumah sakit termasuk dokter dan suster sangat hapal momen itu sampai sekarang pun kegiatan itu tanpa sadar selalu mereka nikmati.
Sampailah mereka di lorong kedua, perlahan Amalia mencarikan ibu tempat duduk di ruang tunggu, lalu Amalia menyodorkan selembar kertas pada petugas yang juga sering dilhatnya. Di pintu tertulis Dr. Danu Nugrohoaji, namanya sangat asing bagi Amalia, teringat dokter Rizal mengatakan bahwa ia adalah dokter muda tetapi sangat berkompeten sedang mengambil spesialis kejiwaan. Jadi tak mungkin dokter Rizal memilihkan dokter yang sembarangan untuk ibu.
"Ibu Nurhasanah, silakan masuk," panggil penjaga membuat Amalia terkejut, bahwa nama ibu dipanggil.
"Ibu, mari kita masuk," bisik Amalia pada ibu yang tampak gelisah. Ibu merasa asing di ruangan ini jadi otomatis menjadi gelisah, tapi gengaman tangan putrinya bisa menenangkannya hingga ia ikut melangkah di samping Amalia.
Perlahan pintu dibuka, tanpa memberi salam, hanya dengan seulas senyum manis pada dokter yang berada di balik meja kerjanya, maka berdirilah dokter itu sebagai salam penyambutan pada pasien barunya.
"Selamat siang, mari silahkan duduk," sapa dokter muda itu.
Sambil menatap takjub pada Amalia, dan tersenyum ramah pada ibu yang tampak gelisah mendekap toples biru berisi kacang goreng.
"Ibu, ini Dokter Danu, dia teman Dokter Rizal. Sekarang Ibu bisa ngobrol sama Dokter Danu, ya," bisik Amalia menjelaskan dengan lembut pada ibu yang masih tidak tenang dengan suasana asing yang di hadapinya.
"Ibu mau ketemu Dokter Rizal, ibu janji mau kasih kacang goreng ini, Nak," ujar ibu polos.
"Boleh kok, kacangnya dititip ke saya. Nanti kalau Dokter Rizal pulang dari Jepang saya sampaikan," balas dokter Danu lembut.
"Tidak, ini untuk Dokter Rizal bukan buat adik." Spontan ibu berucap sambil lebih kencang mendekap toples biru itu.
"Iya itu untuk Dokter Rizal, saya cuma simpan saja. Atau Ibu taruh saja di atas lemari itu? Nanti biar diambil langsung oleh Dokter Rizal, ya?" ujarnya sabar sambil menunjuk lemari kecil di pojok ruangan.
Ibu menoleh pada lemari yang ditunjuk, lalu tersenyum yakin dengan pilihan yang diberikan oleh dokter muda itu. Lalu ibu berdiri dan melangkah menuju lemari. Spontan Amalia ikut berdiri tetapi dengan sigap dokter muda itu memberi kode untuk tidak memperbolehkan Amalia berdiri. Akhirnya Amalia cuma melihat dan mengawasi ibu yang berjalan dan menaruh toples biru itu di atas lemari. Lalu menoleh dan tersenyum pada dokter muda itu, senyum dibalas dengan sangat lembut maka terjalinlah kepercayaan sebagai ikatan antara dokter dan pasien.
Ada embusan nafas lega yang keluar dari dokter muda itu. Lalu dengan arahan tangannya mempersilahkan ibu untuk duduk nyaman di kursi khusus pasien yang tersedia di bagian kanan, maka ibu perlahan berjalan ke arah yang ditunjuk dokter. Masih dengan senyum dokter itu berdiri dan berlahan berjalan mendekati ibu, gerakannya sangat berwibawa dengan lembut pula dia merapikan bagian penutup kaki ibu agar ibu lebih rileks dan nyaman.
"Ibu, sehat hari ini? Ibu sudah sarapan?" tanya dokter memulai komunikasinya dengan pertanyaan ringan.
"Ibu sehat, Ibu sedang senang di kebun, Ibu menanam tomat, karena kata Lia itu bibit tomat buah," jawab ibu dengan lancar.
"Ibu tiap sore menyiram lho, tapi Ibu takut ulat. Jadi Ibu minta sarung tangan plastik tapi Lia selalu lupa membelikan, anak itu selalu saja lupa apa yang Ibu pesan. Pernah dia masak air sampai pancinya gosong karena dia tinggal tidur, untung Ibu cium bau asap di dapur." Ibu terus bercerita sementara dokter saling bertatapan dengan wanita cantik yang duduk di depan meja kerjanya sambil tersenyum.
"Lia itu masih SMP, suka ketiduran kalau lagi kerjakan PR, Ibu suka marah kalau dia sekolah terus gak sarapan, tapi dia memang paling benci kalau disuruh sarapan." Skizofrenia memang membuat Ibu terjebak pada ingatan masa lalu. Beliau mengangap Lia masih SMP, padahal kini gadis itu sudah menjalani semester akhir sebagai mahasiswi.
"Ibu pengen dia jangan sekolah, Ibu takut kalau dia pergi sekolah naik angkot nanti ada orang jahat di jalan. Iya, di jalan banyak orang jahat. Kamu tahu wajah Lia sangat mirip dengan Ibu. Dulu Ibu juga sama seperti Lia, rambutnya panjang. Dia cantik, nanti diculik, Ibu tidak mau kehilangan Lia." Ibu menoleh ke arah Lia, meski tatapannya tampak kosong menerawang.
"Ibu tenang saja, Lia aman kok. Lia 'kan, naik mobil ke sekolah bukan naik angkot," ujar Lia tenang. Karena sejujurnya Lia sudah terbiasa mendengar cerita ini diulang.
Tentang ketakutan ibu bila dia berada di tempat ramai, ketakutan ibu bila dia diculik, bahkan ibu marah bila melihat gerbang tidak terkunci. Itu semua merupakan bagian dari ketakutan ibu akibat trauma masa lalunya. Dokter Danu dengan sabar mendengar dan juga menganalisa setiap kata yang ibu berikan. Ibu bercerita tentang suara bisikan yang sering didengarnya yang katanya mengancamnya, bahwa ada 3 orang jahat yang selalu mengawasi rumahnya yang lama. Hingga membuat Lia pasrah demi ketenangan ibu mereka memutuskan pindah rumah hingga 2 kali.
Sesi terakhir dari konsultasi pertamanya dengan dokter Danu adalah memberikan ibu resep yang menurut dokter ini sudah bisa dikurangi dosisnya sedikit. Ibu sudah dianggap komunikatif karena beliau sudah bisa diajak berbicara dengan lugas walaupun kadang masih berada di masa lalu yang dominan. Tak lupa dokter itu meminta nomor ponsel Amalia yang bisa dihubungi sewaktu-waktu begitu juga Amalia yang meminta nomor telepon dokter Danu. Hanya sekadar formalitas pikir Amalia, dan demi kesopanan maka diberikannya nomor telepon rumah. Sangat jarang dia memberi nomor telepon ponselnya pada sembarangan orang. Dokter Rizal pun diberikannya nomor ponselnya kemarin saat mau berangkat ke Jepang dengan alasan bila diperlukan sewaktu-waktu.
Dokter Danu menatap dengan takjub saat Amalia dan ibu pamit dari ruang prakteknya. Kenapa dokter Rizal tidak pernah bercerita bahwa ada makhluk cantik yang setiap bulan selalu datang mengunjunginya ke ruang prakteknya walaupun sekedar mengantarkan ibunya yang berobat?
"Amalia Kartika, gila ... itu anak cantik sekali, ya?" gumamnya sambil menatap kertas yang bertuliskan nama dan nomor telpon rumah yang diberikan Lia pada dokter muda itu. Kemudian pandangannya terarah pada lemari di pojok ruangan yang di atasnya ada toples biru berisi kacang khusus untuk dokter Rizal.
Diambilnya ponselnya lalu diketiknya sebuah pesan untuk sang senior.
Dok, ada titipan kacang goreng, boleh aku makan ya? XD
Ting. Balasan tak lama didapatnya.
Dokter Rizal
Hahahah makan aja, tapi awas ntar ketagihan. Itu yang buat Lia.
Benar sekali, pikir Danu. Buatan bidadari seperti Lia, dia pasti ketagihan.
Itu cewek cantik sekali sih?
Danu memutar musik dari ponselnya sementara ia menunggu balasan seniornya, yang datang tak lama kemudian.
Dokter Rizal
Iyalah, jelas.
Cantik, pintar, mandiri, penyayang dan butuh pelindung.
Apakah kita bersaing?
Dokter Rizal
Haha, jangan bercanda.
Lia butuh pelindung, seorang yang serius, bukan yang hanya menjadikannya pengusir bosan.
Pesan dokter Rizal diartikan olehnya sebagai peringatan untuk tidak mendekati Amalia. Sebab dokter Danu sadar, dirinya terkenal sebagai playboy yang kerap kali bermain hati wanita. Danu mematikan ponselnya, menghela napas memandang langit-langit ruangan prakteknya. Hati kecilnya mengatakan sesuatu yang dikiranya dapat menarik hati Amalia; berubah.
--Bersambung
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.