Trik Menciptakan Efek Estetik pada Kata
Anak saya mendapat tugas menulis puisi. Sebelum ia kasih ke gurunya, ia memperlihatkan puisi itu ke saya. Begini petikannya:
Kau adalah sosok kukuh
Yang tangguh menahan derita
Sendiri berdiri dalam sepi
Puisi ini baik-baik saja. Namun bagi saya, ini momen yang tepat untuk mengajarkan anak saya, agar tidak cepat puas dengan hasil karyanya. Sekalian secara tidak langsung saya ingin membuatnya tahu, tentang bagaimana teknik menciptakan efek estetik pada tulisannya.
Beberapa kali saya ingin mengajarkan anak saya bagaimana cara mengekspresikan perasaannya lewat bahasa, tapi, rupanya, ia tak begitu tertarik. Maka, inilah momen yang paling tepat.
Mengutak-atik Kata
“De, sebetulnya, tanpa mengubah susunan yang kamu buat, setiap kata pada kalimat ‘Kau adalah sosok kukuh’ bisa kamu ganti, lho,” kata saya.
“Maksudnya, Pah?”
Agar anak saya lebih mudah memahami maksud saya, akhirnya, kalimat di atas saya tuliskan di kertas:
Kau adalah (sosok kukuh)
“Tanpa mengubah arti, dan dengan mempertimbangkan bahwa kalimat ini tetap punya makna, coba kamu ganti kata yang ada di dalam kurung ini,” kata saya.
Anak saya mulai tertarik, lalu ia mencari pilihan kata lain untuk menggantikan frasa “sosok kukuh” ini.
“Saya ganti dengan kata ‘ayah’ boleh?”
“Jelas boleh,” tukas saya.
“Kalo dengan ‘matahari’ bisa?”
“Lebih keren dari sebelumnya tuh.”
Makin lama anak saya makin hanyut, terus mencari kata-kata alternatif lain di dalam 1 kalimat itu.
Begini kira-kira rangkaiannya:
Kau adalah sosok kukuh
Kau adalah ayah
Kau adalah matahari
Kau adalah tanah
Kau adalah bumi
Kau adalah batu karang
Anak saya kemudian memutuskan frasa “batu karang” sebagai pengganti kata “kukuh” tadi.
“Sekarang, coba kamu ganti pilihan kata yang mana saja, di dalam kalimat kedua ‘Yang tangguh menahan derita’ ini,” tantang saya.
Lalu anak saya kembali mengutak-atiknya, seperti ini:
Yang tangguh menahan derita
Yang tangguh menahan sedih
Yang tangguh menahan pedih
Yang tangguh menahan ombak
Yang tangguh menahan deru laut
Ia berhenti di pilihan kata “deru laut”, karena ia merasa ada keselarasan makna dengan kata “batu karang” di baris puisi sebelumnya.
“Sebetulnya kata ‘tangguh’ dan ‘menahan’ pun bisa kamu ganti, De. Misal menjadi ‘Yang garang menantang deru laut’, atau dengan yang lain,” saya menawarkan ide. Namun, ia memutuskan dengan pilihannya. Mungkin karena egonya, yang merasa ingin karyanya otentik buah pikir dia.
“Sekarang, coba yang baris ketiga, De.”
Lalu dengan semangat, kembali ia menggerakkan jari-jarinya, tanpa mikir, hanyut dalam pengembaraan imajinasinya.
Sendiri dalam sepi
Sendiri dalam sunyi
Sendiri dalam doa
Sendiri dalam kesedihan
Sendiri dalam dingin
Sendiri di bawah langit
Sendiri dalam larut
“Aku pilih kata ‘larut’, Pah,” ujarnya sambil nyengir.
“Kenapa?”
“Karena bunyinya selaras dengan ‘laut’, kata terakhir di baris sebelumnya.”
“Kerennnn!” kata saya memahami alasan dari pilihannya.
Keranjingan
Anak saya betul-betul keranjingan dengan metode permainan pemilihan kata seperti ini. Ia tetap merasa bahwa kreativitasnyalah yang bekerja, dan memang begitu adanya. Saya hanya membuka jalan pikir dan caranya saja.
Hasilnya, jelas terasa lebih metaforik dari tulisan dia sebelumnya.
Coba bandingkan petikan puisi yang sudah dia utak-atik ini, dengan petikan puisi dia sebelumnya seperti yang saya tulis di atas:
Kau adalah batu karang
Yang tangguh menahan deru laut
Sendiri berdiri dalam larut
“Benar-benar beda, Pah. Kok bisa ya?”
“Ya bisa lah. Apa yang papa ajarin tadi, sebetulnya terinspirasi dari teori Relasi Sintagmatik dan Paradigmatik. Ini pernah dicetuskan salah satunya oleh Ferdinand de Saussure, tokoh linguistik struktural,” kata saya, mulai mengarahkan ke hal yang agak lebih rumit.
“Wah … wah … gimana tuh, Pah?” rupanya anak saya tertarik. Padahal biasanya ia langsung menghindar.
Relasi Sintagmatik
Relasi sintagmatik, kata saya, adalah hubungan logis antarunit bahasa, sehingga bahasa itu dipahami. Misal kalau dalam kalimat “Kau adalah sosok kukuh”, bagaimana kata “adalah” bisa harmonis dengan kata “kau” dan dengan kata “sosok”. Begitu juga kata “sosok” bisa harmonis baik secara fungsi ataupun maknanya dengan kata “kukuh”.
Kata-kata tersebut bisa diganti dengan pilihan kata apapun, sepanjang kata tersebut memiliki hubungan harmonis dengan kata-kata di sampingnya. Jadi, relasi sintagmatik itu relasi linear, menyamping, dalam sebuah kalimat. “Kaya hidup bertetangga aja, relasi sintagmatis adalah hubungan harmonis antara satu rumah dengan rumah lain di sampingnya. Kalau tidak harmonis, pasti chaos,” kata saya membuat analogi.
Coba kita buat contoh hubungan sebaliknya ya, tidak harmonis. Misal, kata “sosok kukuh” dalam kalimat “Kau adalah sosok kukuh”, diganti dengan kata “merupakan”. Maka kalimatnya menjadi “Kau adalah merupakan”. Kalimat ini jelas tidak dimengerti, kan? Jadi, betapa penting harmonisme dalam hubungan sintagmatik ini.
“Nah, kenapa tadi kamu merasa asyik banget menggonti-ganti kata di setiap kalimat puisimu, bahkan setiap kata bisa kamu ganti, itu karena secara alamiah, kamu sudah punya sekumpulan kata di luar sana, yang punya hubungan erat dengan kata yang kamu pilih sebelumnya. Kamu bisa menggonta-ganti kata tersebut dengan kata sejenis lainnya. Hubungan erat tersebut dinamakan Relasi Paradigmatik.”
“Wah, menarik nih, Pah?” Tumben, anak saya antusias dengan teori linguistik yang jelimet ini. “Jadi, bedanya relasi paradigmatik dengan relasi sintagmatik tadi apa, Pah?”
“Arah hubungannya,” tukas saya. “Kalau relasi sintagmatik hubungannya ke samping, yaitu hubungan antara satu kata dengan kata di sekelilingnya dalam sebuah struktur kalimat. Sementara relasi paradigmatik sifatnya vertikal, yaitu hubungan kata dengan kata lain di luar struktur kalimat tersebut.”
Anak saya yang masih SMP ini terlihat manggut-manggut, walau jidatnya sedikit mulai berkerut.
Relasi Paradigmatik
Contoh hubungan paradigmatik di puisi kamu, kata “Kau” dalam kalimat “Kau adalah sosok kukuh”, bisa saja kamu ganti dengan kata “Dia”, “Aku”, “Kita”, “Guru”, “Pak Doni”, “Presiden”, “Abang Becak”, dan ratusan ribu kata lain di luarnya, tanpa mengubah struktur kalimatnya.
Relasi paradigmatik sifatnya bebas, yang penting memiliki kelas serta medan makna yang sama. Namun dalam aplikasinya, dia mesti tertakluk pada relasi sintagmatis. Dia harus harmoni dan berterima dengan kata-kata di sekelilingnya.
Kalimat “Dia adalah sosok kukuh” ketika diganti menjadi “Aku adalah sosok kukuh”, secara paradigmatik dan sintagmatik tetap harmoni, walau muncul makna dan rasa yang berbeda. Jika diganti dengan kata “Ayam adalah sosok yang kukuh”, mungkin secara sintagmatik berterima, tapi dari sisi paradigmatik, tidak, karena “Ayam” tidak memiliki hubungan asosiatif dengan “Dia”.
“Asyik banget ya, Pah. Sebenarnya, relasi paradigmatik dan sintagmatik itu bisa diaplikasikan juga dalam kehidupan real kita ya, bukan cuma sebagai fenomena bahasa saja.”
“Contohnya gimana, De?” kini saya yang mulai terpicu mendengar pemikirannya.
“Ini mirip prinsip ‘the right man in the right place’ ya kalau dalam managemen.”
“Waaah, ini betul banget, De. Papa setuju. Misal suatu saat kamu jadi presiden, terus kamu mau milih Menkominfo. Secara paradigmatik semua orang berhak dipilih. Bisa “Ahli Komunikasi”, “Ahli IT”, “Ahli Kebijakan”, “Wartawan”, “Ahli Managemen”, “Politisi”, “Penjudi”, “Penjahat”, “Pengemis”, you name it. Tapi jangan lupa prinsip sintagmatik tadi. Pilih orang yang tepat mengisinya, dan pas dengan lingkungan kerjanya.”
Anak saya tampak mulai merasa nggak enak mendengar celoteh saya. Tapi ia masih sabar menyimak.
“Kalo misal kamu malah milih “Pengemis” jadi Menkominfo, bisa celaka negara kita, ntar, kan?”
Ayo Berlatih
Aduh, lagi bahas estetika kata kok malah ngelantur. Baiklah, sekarang saya giliran menantang Anda, pembaca semua. Kalau Anda ingin menjajal seperti apa asyiknya mengutak-atik kata seperti di atas, sila ganti kata yang ada di dalam kurung di bawah ini. Buat se-estetik mungkin, menurut versi Anda. Bisa semuanya, bisa sebagiannya saja. Bebas. Silakan copy paste dan tulis ulang di kolom komen. Lalu lihat, Anda akan keget sendiri, karena citarasanya pesti berbeda. Selamat mencoba.
Berikut teksnya:
(Matahari) (menerangi) (bumi)
(Sementara) (aku) (sedang) (menapaki) (jalan)
(Angin) hanya bisa (mendesau)
(Berisik) (di sela) (dedaunan)
*
Bila Anda ingin mendalaminya lebih jauh lagi, silakan ikuti Pelatihan The Writers, 3 Agustus 2024. Ada 8 sesi yang siap dipandu oleh Asep Herna, dan Om Budiman Hakim.
Daftar segera via WA di: 0811-8774-466. Atau, informasi detail tentang modulnya silakan klik link ini.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.