MBAH BIBI
Kasih sayang dan pengabdian

MBAH BIBI
Di masa sekarang ini, dimana hampir semua Ibu Rumah Tangga seringkali mengeluh karena dibikin pusing sama masalah pembantu, rasanya tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa ibu mertua saya adalah wanita yang paling beruntung.
Bagaimana tidak?
Hampir sepanjang hidupnya, Ibu, begitu saya memanggilnya, tidak pernah menemui masalah untuk mencari, menyeleksi dan mengajari pembantu baru.
Ibu tidak pernah merasakan ditinggal pembantu mudik saat lebaran, harap-harap cemas pembantu tidak kembali lagi, ditinggal pembantu menikah, dan berbagai macam masalah PRT lainnya yang seringkali membuat stress ibu-ibu rumah tangga lain.
Karena Ibu sudah punya asisten pribadi yang yang dapat diandalkan sejak ibu masih gadis dan kuliah di Bandung, hingga sekarang.
Dia adalah Bibi. Siapa nama aslinya sudah jarang orang yang tahu, karena semua orang yang mengenalnya melalui Ibu, ikut memanggilnya dengan nama Bibi. Bibi pun merasa bangga, disayangi dan dihargai dengan nama tersebut.
Bibi adalah anak dari asisten Mbah Putri, almarhum ibunda Ibu. Sejak kecil Bibi sering ikut ibundanya bekerja dan bermain bersama ibu. Bibi bersekolah satu kelas dengan Ibu di Majenang. Sayangnya Bibi putus sekolah. Saat ada program vaksinasi dari Depkes di sekolahnya ,dia kabur dan sembunyi di dalam gentong karena takut disuntik . Bibi pun trauma tidak pernah mau pergi kesekolah lagi setelah itu. Dia pun tidak bisa membaca hingga sekarang.
Di usianya yang belum akil baliq Bibi dinikahkan dengan pria yang jauh lebih tua di kampungnya, memiliki satu anak, lalu bercerai. Pengalaman pernikahan dininya yang menyakitkan pun membuat Bibi trauma dan tak ingin menikah lagi. Bibi pun memutuskan untuk ikut Ibu saja, dan mengabdikan tenaga dan kasih sayangnya untuk ibu.
Begitulah awal mulanya, pendek kata Bibi sudah jadi bagian penting keluarga Ibu, dan terlibat penuh dalam pengurusan Rumah tangga Ibu.
Ibu menikah dengan Bapak tahun 1967. Bapak bekerja di perusahaan minyak yang mengharuskan keluarganya berpindah-pindah kota dan berpindah pulau. Kalau teman-teman Ibu yang lain selalu kebingungan mencari pembantu baru setiap kali pindah, Ibu tidak perlu khawatir, karena Bibi pasti ikut pindah dengan sukarela.
Bibi adalah baby sitter yang dapat diandalkan. Dia terlibat penuh membesarkan empat orang anak ibu, dari mulai lahir cenger hingga sekarang sudah pada jadi orang dan berkeluarga dan beranak pinak.
Bibi tahu betul bagaimana caranya ngakalin anak-anak yang susah makan sayur, mengalihkan perhatian anak-anak saat akan ditinggal pergi orang tuanya dan mem-booster rasa percaya diri anak dengan merendah-rendahkan dirinya. Kalimat saktinya adalah : ”Lha wong bibi mah orang bodo, gak pinter banget kaya adek.”
Bila ada simbol pengabdian dan kasih sayang tanpa batas, itulah sosok Bibi.
Ike, Suamiku, adalah anak kesayangannya sejak kecil. Saat Ibu mengandung Ike, Ibu terkena penyakit Hepatitis. Ibu terpaksa harus bedrest selama hamil dan beberapa bulan setelah melahirkan. Ibu juga tidak diperbolehkan oleh dokter menyusui dan terlalu dekat dengan bayinya.
Maka sejak bayi merah Ike selalu terlelap dalam dekapan Bibi dan sering diledek sebagai anak Bibi . Bibi sendiri selalu bersedia menjadi tameng pembela Ike, sekaligus ikhlas jadi samsak kalau anak kesayangannya sedang marah dan jengkel diledek kakak-kakaknya.
Ternyata kasih sayang Bibi tidak sampai disitu saja, saat Ike sudah dewasa dan punya anak sendiri, perlakuan Bibi terhadap anak-anak Ike pun sama. Apapun akan dia lakukan untuk menghentikan tangis anak-anak kami. Dia bahkan jauh lebih sabar menghadapi anak-anak kami dibanding orangtuanya sendiri. Disaat kami harus bersikap tegas terhadap anak-anak kami, Bibi bersedia menjadi pelipur lara mereka.
Setiap kali kami akan berkunjung ke rumah Ibu, Bibi selalu sudah menyiapkan arem-arem buatannya yang lezat untuk kami.
Kadang kami memberi sedikit uang jajan untuk Bibi, siapa tau Bibi ingin membeli sesuatu. Biasanya Bibi pasti akan cepat-cepat lari ke warung terdekat, untuk membelikan mainan-mainan kecil untuk anak-anak kami. Intinya kebahagiaan kami adalah kebahagiaan yang berlipat untuk Bibi. Pengabdiannya adalah kebahagiaan tersendiri untuknya. Tak terbayar dengan berapapun gajinya.
Anak-anak kami pun memberinya panggilan sayang “Mbah Bibi”
Tahun 2005 Bibi berkesempatan pergi Haji bersama-sama dengan Ibu, Bapak dan putra-putrinya. Bibi berhasil melaksanakan semua rangkaian Haji dengan baik dibawah bimbingan Ibu, tapi ada satu hal yang membuat Bibi gak betah di tanah suci. Bibi kelihatan agak murung. Ibu pun mendekati Bibi dan bertanya: "Ngapa kowe Bi?, kok meneng bae? Apa kowe kangen karo anak putumu?"
Bibi pun menarik nafas panjang, lalu menjawab: “Inyong ora betah lah Bu, ora bisa masak, ora bisa nyuci. Mesine bahasa Arab, Bibi ora ngerti lah... kesian Ibu, repot nyuci sendiri “ J
Kebiasaan Bibi yang melabeli dirinya sebagai orang bodo, seringkali membuat saya kesal dan ngomel sama Bibi.
Saya tahu betul bahwa Bibi ahli dalam melakukan berbagai hal dengan benar, tapi selalu menempatkan dirinya sebagai titik kesalahan, hanya untuk membuat orang di sekitarnya senang.
Bibi juga sebenernya bisa membiarkan anak-anak kami belajar mandiri, seperti memakai sepatu dan baju sendiri. Tapi rasa ingin melayaninya terlalu besar. Sehingga dia memilih memanjakan dengan melakukan semua kewajiban anak-anak.
Saya ingin Bibi lebih dihargai, minimal oleh anak-anak saya, sehingga saya melarang dirinya membodohkan diri di depan anak-anak.
Tapi ternyata itu hal yang sulit, karena sudah kebiasaan Bibi sejak lama.
Dan kalimat pura-pura bodonya Bibi ternyata juga merupakan hal yang dirindukan oleh anak-anak saya setiap mudik ke rumah Ibu.
Misalnya; Suatu hari pernah Bydhari, putri sulungku, meminta tolong pada Bibi:
" Mbah Bibi, tolong beliin spageti dong ke Alimaret, embak pingin makan spageti buatan Mamam."
Setelah beberapa saat pergi ke warung, Mbah Bibi pulang kembali ke rumah dengan tangan hampa karena dia lupa namanya apa.
“Mbah tanya di Warung apa jualan Sepatu Getih, gak ada dek..” ,katanya
"Apa ? Kok Sepatu Getih? hahahaha" kontan anakku tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata Sepatu Getih, lalu berlari ke ruang keluarga menceritakan kelucuan Mbah Bibi pada adik-adiknya.
Dan Mbah Bibi pun bahagia melihat tawa kita. Dengan rela dia berjalan kembali ke warung untuk melafalkan kata Spageti dengan benar.
Ternyata kalimat lucu rekaan Mbah Bibi seperti itu berawal saat dulu Ike, suamiku, masih kecil dan tinggal di Tanjung, Kalimantan Selatan.
Pada masa itu minuman limun di dalam botol yang paling enak disana adalah Orange Crush , orang di Tanjung biasa melafalkannya OranyeKrus.
Disana banyak transmigran dari Jawa yang usaha membuka warung dekat tempat keluarga Ibu tinggal. Saat Ike kecil lagi rewel dan marah di rumah, Mbah Bibi membujuknya untuk beli Oranye Krus ke warung.
Saat sampai di warung, si Bapak pemilik warung menyambut Mbah bibi dengan sopan berbahasa Jawa halus: “Bade tumbas menopo, Bu?” ( Mau beli apa Bu)
Karena ingin membalas halus juga Bibi menjawab: “ Bade tumbas mboten Nyekrus !” (Mau beli tidak nyekrus)
Dalam bahasa jawa; kata ‘ora’ artinya 'tidak' tapi kurang halus. Bahasa halusnya ‘Ora’ adalah ‘Mboten’. Jadi demi menjaga kesopanannya, Mbah Bibi merubah kata ‘Oranyekrus’ menjadi ‘Mboten nyekrus’.
Si Bapak pemilik warung sempat terdiam bingung sejenak sambil berusaha mencerna kata-kata Bibi. Sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak saat Mbah Bibi menunjuk botol Orange Crush di atas lemari warung. Ike kecil yang sedang ngambek pun tiba-tiba tertawa bahagia mentertawakan kebodohan Bibinya. Mulai saat itu, teknik memplesetkan nama produk di warung jadi salah satu strategi Mbah Bibi untuk menyenangkan hati anak yang diasuhnya.
Mbah Bibi dan Warung, adalah 2 hal yang sulit dipisahkan, seperti atlit dan lapangan olahraganya. Dalam satu hari bisa berkali-kali Mbah Bibi bolak balik ke warung untuk membeli keperluan dapur yang habis. Berkali-kali ibu menasihatinya untuk mencatat barang-barang yang habis dan perlu dibeli dari rumah, agar Mbah Bibi tidak perlu bolak-balik. Meskipun Mbah Bibi tidak bisa membaca, Ibu bisa membantu menuliskannya di rumah, lalu orang di warung juga bisa membacanya.
Tapi hal tersebut juga ternyata sulit dirubah.
Meskipun sosok Mbah Bibi sudah mulai terbungkuk dan langkahnya tak secepat dulu, perjalanan antara rumah dan warung adalah media untuk Mbah Bibi bersosialisasi dengan orang-orang sekitar, sesekali membelikan permen untuk anak tetangga, atau sekedar beramah tamah dengan para tukang ojek yang sangat menyayangi dan menghormatinya.
Mbah Bibi yang Bodo, Lucu dan penuh kasih sayang. Rambut putih dan gigi ompongnya. Langkah-langkahnya bolak-balik ke warung. Cangkir dan lepek yang berbunyi seru saat digenggam oleh tangannya yang mulai buyutan. Setumpuk piring kotor yang gak boleh saya bawa ke belakang untuk dicuci karena itu adalah tugasnya. Kalimat plesetannya, keras genggaman tangannya, bau aroma minyak gosoknya, ngeyelnya, sorot matanya, semuanya... Kini tinggal kenangan.
Hari Jum’at siang 13 Maret 2020 jam 12.45 WIB, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memanggilnya.
Setelah seminggu dirawat di RS karena sesak nafas, tubuh rentanya pun menyerah.
Setelah dimandikan dan diurus dengan sebaik-baiknya. Di hari Jum’at yang penuh berkah Mbah Bibi dimakamkan di tanah makam keluarga kami yang masih kosong. Bibi lah yang pertama menempati kavlingnya di sana. Menunggu kami mengisi kavling untuk kami masing-masing saat giliran panggilan kami tiba. Seperti sejak dulu, Bibi selalu terbangun pertama untuk menyiapkan semua kebutuhan kami, sebelum jemputan sekolah kami tiba.
In Memoriam
Hj. Sabingah Binti Madarsan
10/12/1943 – 13/03/2020
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.