Jalan Kaki

Cerita Perth

Jalan Kaki
 
Di sore yang cerah itu di Perth, kulihat Kak Drup, kakak sepupuku, sudah rapih ganti memakai pakaian luar. Maksudnya, pakaian untuk keluar, bukan pakaian rumah, begitu. Kepalanya ditutup rapih meski hanya dengan ciput—dalaman jilbab.
 
"Mau ke mana, kak?" tanyaku dengan campuran perasaan antara ingin tahu dan curiga.
 
Tadi seharian kami sudah pergi melihat-lihat pemandangan, dan rasanya tak ada rencana keluar lagi sore hari ini.
 
"Mau nyobain sepatu baru," jawabnya santai.
 
Sepasang sepatu jalan merek terkenal dunia, dikeluarkan Kak Drup dari kotaknya.
 
"Oh, sepatu itu, ya," kataku.
 
Waktu baru tiba di Perth, Ami, adik dari Kak Drup, membawa kami ke DFO (Direct Factory Outlet), semacam shopping mall khusus factory outlet buat brand-brand ternama. Berbeda dengan factory outlet yang kita kenal di Indinesia, toko-toko barang branded di DFO ini dikelola sendiri oleh brand- brand tersebut.
 
Ketika kami berada di salah satu brand pakaian olahraga terkenal, sambil menunggu aku dan Ami yang tengah mencari oleh-oleh untuk adikku, Kak Drup 'menemukan' sepatu jalan yang cantik. Harganya bukan hanya harga miring, melainkan harga tiarap. Iseng, dicobanya. Ternyata pas di kaki, enak dipakai, dan cakep penampilannya. Maka, dibelilah.
 
Bikin iri saja…
 
Tak hendak menunggu sampai pulang ke rumah di Jakarta, sore itu rupanya Kak Drup memutuskan untuk mencobanya.
 
Coba’innya gimana?” tanyaku penasaran.
 
“Dipakai jalan”.
 
"Ikut donk," aku minta diajak jalan.
 
"Ayo, gantian aja," jawab Kak Drup.
 
"Tapi, belum ganti baju nih," kataku sambil melihat ke celana tidur yang kukenakan.
 
"Nggak apa-apa, gitu aja,” kata Kak Drup sambil mengikat tali sepatu barunya.
 
Senangnya! Tahukah kamu, bahwa sudah sejak hari pertama di rumah Ami ini, aku ingin jalan-jalan di seputaran daerah rumah Ami. AKhirnya, datang juga kesempatan itu!
 
Ke arah kanan dari rumah Ami, nanti akan sampai pada lapangan yang lumayan luas—kuketahui karena setiap pergi keluar dengan mobil, kami pasti meliwatinya. Ada permainan anak-anak seperti ayunan, prosotan, dan lainnya. Ada juga yang disediakan untuk jogging atau membawa anjing jalan-jalan.
 
Di sebelah kiri dari rumah Ami, terdapat tembok berwarna kuning. Dibalik tembok itu terdapat jalan kecil bagai gang senggol, yang bisa terlihat karena ada celah yang berfungsi sebagai akses masuk ke sana. Lalu, ada tembok kuning lagi yang memisahkan jalan kecil itu dengan apapun yang ada dibaliknya.
 
Kadang, melalui celah tadi terlihat orang bersepeda liwat. Sangat penasaran, aku ingin sekali mengintip ke gang senggol itu. Tapi, biasanya kalau sedang atau sudah sampai rumah, sudah malas untuk keluar lagi. Sebab, dingin!
 
Rumah Ami sistemnya tertutup, buat ngeloyor keluar begitu saja pun tidak mudah. Banyak proses buka-bukanya. Penyebabnya antara lain ya karena cuaca setempat yang tidak seperti di Jakarta itulah.
 
Walhasil, niat jalan-jalan santai dan mengintip gang senggol tak juga terlaksana. Maka, senang sekali rasanya bahwa akhirnya bisa jalan, dan bersama Kak Drup pula. Rute mengintip gang senggol bisa segera terlaksana, nih!
 
Kuraih sepatuku, lalu... Lho!? Kulihat Kak Drup menyalakan treadmill milik Raza, suami Ami. Dan, memulai perjalanannya di situ.
 
"Eee..., kirain mau jalan kaki keluar rumah sambil nyoba’in sepatu baru," kataku lumayan kecewa.
 
"Enggak, jalannya di treadmill aja koq," sahut Kak Drup.
 
Pantesan tadi Kak Drup bilang agar kita gantian saja.
 
"Baiklah," aku tertawa. "False alarm rupanya".
 
Aku lalu mengalihkan perhatian ke freezer box. Kukeluarkan es krim yang khusus disediakan untukku, buat menemaniku mengganggu Kak Drup yang asik jalan sendirian di treadmill.
 
Sampai kami kembali ke Indonesia, cita-citaku mengintip gang senggol dan jalan santai di seputaran rumah Ami, tak pernah terlaksana. Sama sekali. Maklum ratu mager.   =^.^=
 
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.