Chat dari Tuhan

Chat dari Tuhan
Foto: pixabay

Pandemi belum juga usai. Sudah setahun lebih. Dompet semakin tipis dan makin ringan. Seperti berat tubuhku, dengan jarum timbangan bergeser ke kiri.

Dulu itu harapanku: makin langsing. Tapi kini? Tubuhku susut karena puasa. Bukan puasa Ramadan. Bukan. Ini puasa demi irit bahan makanan. Puasa dan berhitung, tepatnya. Sambil berdoa supaya besok diberi rejeki.

"Tuhan, tolong kami," pintaku dalam doa.

Makanan dan minuman aku bisa memilih yang paling sederhana bahkan berpuasa. Beberapa vitamin dan protein kami bisa petik dari kebun. Tetapi pulsa untuk sekolah PJJ, SPP, token listrik, gas dan air PDAM? Aku tak punya pohon uang.

"Tuhan, ampuni dosaku," lanjutku dalam doa.

Aku merasa bodoh mengikuti kata hatiku dulu. Berhenti kerja untuk alasan yang kini tak kuingat lagi. Keputusan naif. Lihat apa yang terjadi? Aku merasa berdosa menyia-nyiakan pendidikanku, juga kemampuan serta keterampilanku.

"Tuhan, aku harus gimana?" tanyaku dalam doa.

Aku memang tak tahu lagi harus bagaimana. Otakku mereka-reka apa yang bisa kukerjakan. Skenario apa yang mungkin kulakukan. Aku mencorat-coret banyak ide. Hasilnya? Idle.

"Mbak. Ada permintaan produk xxx di daerah dekat situ. Bisa ngisi, nda?"

Tuhan meresponku dengan mengirim chat kemarin sore.

"Ya ampun, Tuhan!" seruku kaget.

Ternyata aku ga siap ngisi demand itu. Padahal aku sudah belajar bikinnya. Tinggal dikit, mastiin finishingnya doang. Jadi, apa coba alasanku? Kututupkan telapak tanganku ke wajah. Aku malu. Ternyata aku tidak sehebat yang harusnya aku bisa.

"Tuhan, Engkau memang Yang Mahakuasa, Mahahebat, juga Maharahim, Mahasabar, serta Mahabaik," pengakuanku dalam doa.

Aku harus siap ketika Tuhan mengirimiku chat berikutnya.. 

"Tuhan ... tunggu, ya, aku masih perlu praktek beberapa hal," bisikku sambil melangkah ke dapur dan mengambil panci. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.