NOAM
NOAM Bagian 11: Love You, Love You More

Dari ujung jalan aku sudah bisa melihat Noam, berkaos putih lengan panjang dengan jins biru yang dengkulnya sobek, duduk di tangga di depan pintu masuk apartemennya. Rambutnya sebagian terurai ke samping kanan, menutupi satu mata dan separuh wajah yang tersenyum. Makin aku mendekat, senyum Noam makin melebar. Aku pun senyum kembali kepadanya. Detak jantungku terasa sedikit bergejolak.
Ini pertama kalinya kami janjian untuk ketemu sejak Noam tiba-tiba memutuskanku sekitar satu tahun lalu. Sebelumnya, kami ada tatap muka beberapa kali, tetapi tak terencana dan dalam suasana kurang bersahabat. Seminggu yang lalu pertama kali kami teleponan lagi sejak putus.
“Hi Noam,” sapaku pas sampai di hadapan Noam yang menungguku pada anak tangga dengan dua buah mug yang ia letakkan di sisi kanannya.
“Hiya Layla,” sapa Noam kembali, masih dengan senyumnya itu. “A cuppa or white coffee?” tanya Noam sambil menunjuk pada kedua mug di sebelahnya yang sudah ia siapkan sebelumnya.
“A cuppa, aku sudah kebanyakan minum kopi hari ini,” jawabku. Baru saja aku selesai dari pertemuan dengan salah satu klien kantorku di sebuah coffee shop tak jauh dari apartemen Noam. Aku putuskan untuk mengujungi Noam sejenak sambil pulang setelah membaca chat yang berkabar kurang baik dari Noam.
Noam mengangkat mug berisi teh dan susu itu dan memberikannya kepadaku sambil menatapku. Tanganku agak gemetar. Untung tidak sampai tumpah, apa gak, aku pasti malu sekali.
Aku baru ngeh, salah satu mug bertuliskan “love you” dan yang satunya lagi, “love you more”
“Thanks,” ucapku. Aku pun duduk di sebelah Noam, setelah ia mengambil mug satunya yang berisi kopi susu. Aku baru ngeh, salah satu mug bertuliskan “love you” dan yang satunya lagi, “love you more”. Ternyata pilihanku, yang berisi cuppa, bertuliskan “love you more.” Hmmm …
Pura-pura tidak lihat, aku langsung saja mencicipi tehku. Noam menyeruput kopinya lalu menatapku lagi. Hening seketika sementara aku menunduk dan menatap terus ke dalam mug-ku.
“Jadi pihak universitas memecatmu?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya sulit menutupi kecanggunganku.
“Iya, tampaknya begitu, seperti yang aku chat tadi. Seminggu setelah menerima surat peringatan—ingat khan, malamnya kamu sempat meneleponku, kita ngobrol tentang surat itu—aku dipanggil lagi oleh bagian HR. Katanya kontrakku tidak akan diteruskan karena keterbatasan dana. Aku pikir sih, itu hanya alasan … mereka memang sudah memutuskan untuk memecatku,” ungkap Noam.
“Alasan dapat surat peringatan itu apa memang sudah tepat?” tanyaku.
Aku sih gak setuju itu dibilang antisemitisme. Aku aja Yahudi kok.
“Mereka tetap berpegang pada alasan adanya beberapa mahasiswa yang melaporkan bahwa dalam kuliahku ada indikasi antisemitisme. Pihak universitas juga menyampaikan beberapa kasus yang dilaporkan itu. Aku sih gak setuju itu dibilang antisemitisme. Aku aja Yahudi kok.”
“Apa kamu akan memperkarakan hal ini dengan pihak universitas, Noam? Masa bisa diberhentikan begitu saja?” tanyaku lebih lanjut. Perasaan marah, perihatin, dan sedih karena ketidakadilan yang dialami Noam, mengganggu benakku.
“Aku masih memikirkannya, Layla,” jawab Noam sambil menyibak rambutnya ke belakang. Untuk pertama kalinya dalam percakapan ini aku menengok ke wajah Noam. Raut mukanya mengungkapkan kelelahan batinnya. Ya ampun, kasihan amat Noam! pikirku.
Wajahku tidak menoleh, aku memberanikan mataku menatap matanya.
Ia pun terus menatap wajahku dan bercerita, “Gosipnya sih mereka tahu kalau aku mendukung kelompok Palestine Action dan besok akan mengikuti protes terhadap pemerintah yang melarang kelompok tersebut.”
Wajahku tidak menoleh, aku memberanikan mataku menatap matanya. “Aku besok juga akan hadir dalam protes itu,” kataku.
Untuk sejenak, mata kami saling menatap dan hening pun menghampiri lagi. Sepoian angin berembus menenangkan gejolak rindu. Waktu seperti berhenti sesaat.
Sinar matahari mulai meredup, terdengar suara kendaraan yang melalui jalan makin ramai. Aku jadi tersadar.
“Aku pulang dulu ya, Noam.” Aku meletakkan mug yang sudah kosong di sampingku dan bangkit dari anak tangga serta bersiap pergi.
“Biar aku temani sampai halte bus,” kata Noam, yang langsung berdiri seperti juga baru tersadar.
“Ah, tidak usah,” tanggapku. “Noam, aku turut prihatin … Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang ya.”
“Terima kasih sudah mampir, Layla. I really appreciate it.” Noam kembali tersenyum. Senyumnya selalu menggetarkan hatiku.
“Bye Noam,” ucapku. Aku tidak ingin berlama-lama. Aku berjinjit dan mengecup pipi kanannya, langsung berbalik dan berjalan. Aku bisa merasakan mata Noam terus memandangku hingga di penghujung jalan.
***
Suasana di Trafalgar Square mulai tegang. “Ayo, berdirilah dan ikut kami. Kalau tidak, kami akan paksa!” Suara itu terdengar tegas dan tidak main-main. Namun, aku tetap bergeming.
Suasana makin hiruk pikuk. Tiba-tiba, dari belakang, aku merasakan pergelangan tangan menyisip di bawah kedua ketiakku dan mengangkat tubuhku. Di hadapanku, dua tangan menyambut dan memegang betisku dengan amat kuat. Kakiku sempat menendang-nendang untuk melepaskan diri, eh, malah datang satu polisi perempuan lagi, memegangi pergelangan kakiku. Aku tak bisa memberontak lagi. Poster bertuliskan “Palestine Action is not OK but genocide is OK?!” yang tadinya aku usung, terbang dan jatuh entah ke mana.
... aku melihat Noam sedang menolak untuk dibawa oleh dua orang polisi, mereka berseteru beradu mulut.
Di depanku, tampak Lara juga sedang diangkut oleh tiga polisi perempuan sementara ia terus berteriak “Free speech! Free Palestine!” Kemudian giliran Linh diangkut. Ia malah tampak tenang saja.
Lantas beberapa meter di sebelah kiriku aku melihat Noam sedang menolak untuk dibawa oleh dua orang polisi, mereka berseteru beradu mulut.
Aku digotong terus sampai akhirnya dimasukkan ke dalam mobil van polisi. Sudah ada empat orang di dalamnya, tiga perempuan dan satu laki-laki. Kemudian Lara dimasukkan, lalu Linh.
Gubrak …. Pintu mobil pun dibanting. Kami di dalam hanya saling memandang.
Dalam beberapa menit kemudian, pintu belakang van terbuka lagi. Seorang Noam yang tampak gusar dimasukkan dengan paksa ke dalam dan pintu pun segera dibanting kembali.
Gubrak .... Kami semua saling memandang. Salah satu perempuan lantas mencaci maki pemerintah Inggris dengan kata-kata kotor. Mobil kemudian bergerak, hendak membawa kami ke mana, kami belum tahu.
***
Memasuki ruang tahanan di tengah kota London, tampak sudah ada puluhan dari ratusan demonstran lainnya yang tadi beraksi di Trafalgar Square, memprotes kebijakan Pemerintah Inggris yang menyatakan Palestine Action sebagai kelompok teroris.
Aku membiarkan kepalaku berbaring pada pundak Noam.
Suasana ruangan ramai dan bising. Setiap tahanan diproses satu persatu. Beberapa jam sudah berlalu, kepalaku terasa pening. Aku berhasil mendapatkan obat sakit kepala dari seorang petugas. Obatnya malah mengundang kantuk. Aku membiarkan kepalaku berbaring pada pundak Noam. Aku bahkan sempat terlelap sejenak.
Aku terbangun ketika merasakan hangatnya bibir Noam pada ubun-ubunku. Aku mengangkat wajahku, aku lihat kepala Noam tertunduk dan matanya terpejam. Rupanya Noam pun tertidur. Apakah yang aku rasakan tadi hanya mimpi? …. Mataku mencari-cari Lara dan Linh, tetapi mereka tidak tampak.
***
Setelah sembilan jam dalam ruangan itu dan menjalani proses pemeriksaan, barang dan ponsel kami dikembalikan dan kami berempat akhirnya dibebaskan dengan prasyarat tidak terlibat lagi dalam protes-protes serupa. Hmmm, siapa yang akan mematuhi itu, pikirku.
Letih, kami memesan Uber untuk segera pulang. Lara dan Linh yang tinggal bersama, pergi dalam satu kendaraan; aku dan Noam yang tinggal tidak terlalu berjauhan, pulang dalam satu mobil.
“Aku jadi bisa tahu kamu sekarang tinggal di mana,” kata Noam sambil tersenyum mengejek. Aku pun jadi tertawa.
Keluar dari ruang tahanan itu, aku melihat langit malam London dengan pandangan berbeda.
Selanjutnya, kami tidak terlalu banyak bercakap dalam perjalanan tengah malam itu. Cahaya malam kota London—sinar rembulan dan binar lampu-lampu—biasanya memberiku rasa tenteram. Keluar dari ruang tahanan itu, aku melihat langit malam London dengan pandangan berbeda. Rasa kecewa telah mengalahkan harapan.
Aku melirik ponselku. Tampak Jimmy yang sedang melakukan penelitiian di India sudah men-chat-ku berulang kali. “Layla, were you arrested?” Aku belum ingin membalasnya.
“Thanks, Noam,” ucapku saat tiba di depan gedung apartemenku, seraya mengecup pipi kanannya, lalu membuka pintu mobil.
Berjalan menuju apartemen, aku bisa merasakan mata Noam terus memandangku dari mobil yang berhenti untuk menungguku memasuki gedung. Setelah membuka pintu, aku berbalik sesaat untuk melambaikan tangan kepada Noam sambil tersenyum. Dari jendela mobil yang dibuka, Noam melambai kembali kepadaku dan tersenyum.
Senyum Noam selalu menggetarkan hatiku. Maybe I love you more.
Gambar: Zen Summer (Unsplash)
-Bersambung-
Baca:
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.