Roti Terakhir
![Roti Terakhir](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e3b29c77e4bb.jpg)
Di luar, hujan menyisakan gerimis kecil yang sepertinya akan awet hingga malam nanti. Sementara itu, ruangan mungil yang penuh dengan aroma kopi ini masih penuh sesak. Setiap meja diisi dengan gerombolan orang yang asik bercengkrama, tak jarang ada yang sibuk dengan laptopnya tanpa peduli sekitar.
Tak ada meja yang kosong, pemandangan biasa bila hujan sepanjang hari. Bunyi mesin kasir menjadi irama yang familiar di telinga, seolah meneriakkan bahwa hari ini pengunjung ramai.
Di dapur juga tampak kesibukan yang biasa. Denting adu penggorengan dan sutil, suara rajangan pisau di atas talenan kayu. Ada pula suara retakan cangkang telur yang tak pernah berhenti, pertanda omelet adalah menu terfavorit hari ini.
Suara cempreng Aline memberi sentuhan berbeda, selalu ingin tertawa mendengarnya berteriak, "Omelet pedas tanpa bawang satu, omelet pedas komplit satu, mie goreng tanpa sosis super duper dua!"
"Siaaapp, Komandan! note sabar menanti," teriak Yanuar dari depan tungku.
"Gak pakai lama!" balas Aline lantang.
"Insyaallah, Komandan!" teriak Wira dari depan oven membalas.
Tipikal anak dapur kalau sedang stres, gaya bercanda itu yang membuat mereka sedikit terhibur. Susah juga derita anak dapur. Kalau sepi nganggur, sampai semua penggorengan dipukul dengan keyakinan mengundang tamu datang, bila ramai mereka pontang-panting sampai tak bisa meneguk minuman, karena semua pelanggan meminta "tanpa pakai lama".
Aline melirik pada suara di balik oven itu, tapi kali ini tanpa senyum. Jam seperti ini wajarlah tanpa senyum karena semua crew terlambat makan siang, sudah menjadi kebijakan bahwa mendahului pelanggan adalah yang utama.
Untuk personil di belakang layar, mereka masih bisa mencuri cemilan ataupun buah yang sudah tersedia tanpa dilihat pelanggan. Tetapi untuk para personil yang berada di depan, tindakan itu tak mungkin dan sama saja bunuh diri karena sangat dilarang oleh manajemen, jadi harus bersabar sambil mengemut permen untuk tenaga.
*****
Ting ting ting!
Bunyi bel tiga kali, tanda ada orderan yang sudah ready atau stok roti sudah ready, siap dipajang di etalase depan.
Tanpa melongokan kepala di lubang saji, sudah tercium aroma harum butter dan cream yang membuat cacing di perut berdansa salsa minta diisi.
"Donat kentang sudah ready!" teriak Aline yang ditujukan pada para pengunjung.
Ini adalah ciri khas kafe bernama Rumah Kayu itu. Pramusaji akan berteriak memberitahu pengunjung apapun jenis hidangan yang sudah ready. Agak aneh, tetapi itu menjadi sesuatu yang ditunggu. Awalnya terdengar bising tetapi sekarang telinga para pelanggan sudah terbiasa.
"Silakan dipilih, sebelum kehabisan!" Masih terdengar suara Aline dengan suara cemprengnya.
Terbukti beberapa pengunjung menghampiri dengan membawa piring kecil, sambil memilih dengan jepitan roti di tangan.
"Donat keju belum ada ya, Kak?" tanya suara berat dari depan etalase.
"Belum, Kak. Adanya baru kacang, bluberry, dan cokelat," sahut Aline dari balik mesin kasir. "Eehh, mocca juga ada, Kak. Enak lho!" sahut Aline menambahkan.
"Pengen keju ...." jawabnya pendek.
"Ditunggu ya, Kak." Aline masih dengan suara ramahnya. Mempertahankan senyuman pada pelanggan yang banyak mau adalah suatu keahlian yang selalu ia banggakan.
Sambil melirik jam, Aline sigap menghitung uang di kasir. Sudah waktunya pergantian shif, jadi ia harus segera merekap nota dan uang.
Semenit yang lalu, ia masih sibuk berkonsentrasi dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan Tika, kasir pengganti yang sedang berbenah di etalase.
"Siiipp, waktunya istirahat!" Senyum Aline mengembang dan membawa catatan nota serta uang di dalam dompet kecil itu ke dalam kantor.
"Yaah, silahkan istirahat, Nona. Jangan lupa cuci muka ya, wajahmu kusut kaya taplak meja," goda Tika.
"Tau aja, tutup seprei kusut," balas Aline riang.
"Itu pengunjung yang pakai baju biru kirim salam," bisik Tika.
"Ogah, pelit. Dari tadi cuma minum kopi doang, emang enak minum terus sampai kembung?" balas Aline tanpa menoleh.
"Ya udah kalau gitu, ada salam dari yang oven roti," kata Tika.
"Ogah, roti gosong terus. Kapan oven pizza?" sahutnya sambil tertawa.
"Gila ya, lo milih banget, sih?" Tika tidak tahan mencubit perut Aline.
Yang digoda langsung ngeloyor masuk ke ruang kantor untuk menyerahkan nota dan uang. Setelah selesai administrasi, Aline berjalan tergesa menuju ruang makan karyawan.
Tanpa menoleh ia langsung menambil piring dan mengambil makan. Tak lupa menuang teh panas dan duduk di kursi terdekat.
Dari jauh ada sepasang mata yang mengawasinya makan sambil tersenyum. Diam duduk tanpa menggangu Aline.
Begitulah setiap ada kesempatan, melihatnya dari jauh adalah kenikmatan. Mendengar suara cempreng itu berteriak adalah lagu terindah yang selalu ditunggunya. Menatap lincah geraknya adalah kebahagiaan.
Sampai kapan? Entahlah.
Ia bahkan tak pernah berani memberi waktu pada diri untuk menyerang target. Cukuplah bahagia dia sendiri, walau sebagian dari teman di dapur sudah bisa membaca gerak tubuhnya yang salah tingkah bila berhadapan dengan gadis itu. Bahkan ada beberapa yang sudah berani menggoda dengan senyum nakal, tetapi hati tak ingin merusak segalanya dengan kejujuran.
*****
Malam masih menyisakan gerimis, semua personil Rumah Kayu sibuk berbenah di bagian masing-masing. Senyum mereka mengembang sempurna, karena hari ini over pengunjung membuat lelah tak terasa.
Di etalase masih ada dua roti mocca yang tersisa. Tika melangkah dan memasukkanya kedalam kotak, lalu tangannya sibuk menekan mesin kasir dan menghitung kembalian. Kemudian disodorkannya kembalian dan nota melalui lubang saji kearah dapur.
"Nih, ada titipan roti," Tika menyodorkan kotak roti berwarna pink ke arah Aline.
"Dari siapa?" tanya Aline.
"Gak tau, ambil aja. Pesannya buat bekal sebelum tidur," bisik Tika sambil tertawa kecil.
"Orang itu mau bilang "gemukin dikit badan lo", makanya nyuruh aku makan roti malam-malam, ya?" balas Aline ringan.
"Bukan, orang itu mau bilang "selamat menikmati roti buatanku, aku membuatnya dengan cinta", ciyeee," goda Tika.
Masih benggong mendengar ucapan Tika, otak Aline berpikir keras sambil berusaha bersikap tenang merasakan debar jantung.
"Gila, masa iya si Wira? Aduh, gawat … emang Wira tahu aku suka perhatiian dia? Aku kan, gak pernah bilang siapapun? Aku masih keliatan biasa aja di depan dia, kan? Aduh gawat, gawat!" Aline berdebar sambil mendumal sendiri dalam hati, berusaha menenangkan diri.
"Tuh, ditunggu si baju kuning di depan." Senggolan siku Tika menyadarkan Aline dari lamunannya.
"Siapa?" sahut Aline sambil.melongokkan kepala menghadap pintu masuk.
Di sana, berdiri di dekat ambang pintu, tampak sosok yang sangat dikenalnya. Lelaki pendiam yang memiliki senyum manis. Sosok yang jarang berbicara, tetapi memiliki tatapan mata paling teduh. Lelaki yang selalu mengikat kepalanya dengan handuk putih karena tak ingin keringat jatuh di alam adonan roti yang sedang dibuatnya.
Wira tersenyum sambil menganggukkan kepala padanya, sebuah tanda agar Aline segera beranjak dari sisi Tika untuk bergegas pulang bersamanya. Seperti biasa, karena mereka searah maka mereka selalu pulang bersama.
Namun malam ini terasa berbeda bagi Aline. Ada debaran halus dan hangat yang menjalar di dadanya. Benarkan Wira yang menitipkan roti terakhir untuknya? Pertanyaan itu terus mendesak untuk keluar. Tapi ia akan selalu sabar untuk menunggunya berbicara langsung tentang sebuah rasa. Maka menikmati irama langkah kaki yang sama sambil mengobrol sudah membuatnya bahagia.
Malam ini semua tampak berbeda. Sambil berjalan, tangan milik Wira membungkus hangat jemari Aline. Dalam diam, mereka berjalan menyusuri trotoar yang sepi menuju halte. Sebuah senyuman mengembang sembunyi-sembunyi di wajah keduanya. Ah, ribuan pertanyaan itu bisa menungu besok atau lusa. Keduanya tahu, masih ada waktu panjang bagi mereka untuk bersama.
Saat ini, kehangatan yang menjalar dari dua tangan yang bertautan sudah menjadi hal yang paling menyenangan bagi mereka.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.