Cinta Hadir Dalam Komunikasi
Konon, kita diberi dua telinga dan satu mulut sebagai tanda untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Bagaimana kenyataannya?
Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim riset Arizona University selama bertahun-tahun. Hasilnya adalah rata-rata manusia mengucapkan 16.000 kata per hari.
Banyak banget ya? Studi ini juga menyimpulkan tidak ada perbedaan signifikan antara lelaki dan perempuan (gender) dalam hal banyaknya bicara. Banyaknya bicara lebih ditentukan oleh karakter individual (ekstrovert-introvert).
Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhan untuk didengarkan. Sayangnya, kebutuhan ini pula yang gampang-gampang susah untuk dipenuhi. Mengapa susah? Karena diperlukan perhatian, keikhlasan dan energi untuk menjadi pendengar yang baik.
Selama ini kita dilatih untuk berkompetisi. Untuk menonjol. Untuk memiliki skill dalam public speaking. Kita tak dilatih untuk menjadi pendengar. Kita tak dilatih untuk bersabar dan 'OK' untuk tak menjadi apa-apa atau bukan siapa-siapa. Jarang kita dilatih untuk berempati. Padahal, mendengar itu membutuhkan empati.
Pertanyaan logis yang kemudian muncul adalah: Mengapa banyak orang suka sekali bicara daripada mendengar? Meski untuk hal-hal yang tidak dia mengerti. Meski untuk hal-hal yang tidak baik. Meski untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Terlepas dari soal karakter dan profesi, ada beberapa kemungkinan mengapa banyak orang lebih suka bicara daripada mendengar.
Pertama, krisis perhatian. Kedua, krisis eksistensi. Ketiga, belum selesai dengan masa lalunya. Keempat, ingin terlihat pintar.
Terlihat tidak seimbang memang jika menilik kemungkinan-kemungkinan di atas. Seolah ada energi yang tidak utuh dalam diri sehingga "ingin merebut" energi dari pendengar.
*Mendengar*
Mendengar itu adalah bentuk kerendah hatian. Orang yang belajar, orang yang mencinta, harus mendengar. Tersebab mendengar secara aktif, berarti dalam proses mendengar ada bentuk perhatian, fokus, ada 'serah-terima' energi yang berlangsung.
Orang yang rela untuk mendengar merupakan orang yang rendah hati. Suami/istri yang sabar mendengar curhat atau curcol pasangannya berarti sedang menjalankan proses cinta-mencintai. Para pemimpin perusahaan, para karyawan, para akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan yang lainnya, semua sama-sama perlu menjadi pendengar. Sama-sama memerlukan unsur cinta di dalam komunikasinya.
Hadirnya unsur cinta (sabar, perhatian, pengertian, ketulusan, kebaikan) akan membuat komunikasi lebih lancar dan efektif.
Menjadi pendengar itu bagian dari proses belajar. Bisa menyerap dan memahami lebih banyak, termasuk hal-hal baru. Sedangkan berbicara, cenderung mengulang terus-menerus apa yang sudah kita tahu atau secuil yang kita tahu dan merasa seolah lebih unggul dibanding yang mendengar.
Menjadi pendengar. Menjadi orang yang rendah hati. Menjadi seorang pencinta.
Menjadi seorang yang ikhlas merelakan waktu, tenaga, energinya, fokus untuk mendengar. Seolah tidak heroik, memang, dibanding jika lebih banyak bicara.
Pendengar itu seolah objek dan hanya menjadi figuran.
Sedangkan pembicara seolah subjek dan pemeran utama.
Pendengar itu seolah tidak penting. Pembicara seolah lebih penting.
Pendengar seolah tidak mengerti apa-apa. Pembicara seolah mengerti segala.
Pendengar seolah hanya remah-remah rengginang.
Pembicara seolah menu utama yang terhidang saat makan siang.
Hal di atas merupakan ilustrasi dari sebuah dominasi, dari 'ego' individu (komunikator) yang menjelma dalam bentuk komunikasi. Ini berlawanan dengan sifat cinta. Sayangnya, hal seperti inilah yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, yang membuat komunikasi menjadi kontra produktif, atau setidaknya berjalan tidak efektif. Stephen R. Covey mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak mendengarkan untuk tujuan memahami, melainkan untuk membalas ucapan si lawan bicara.
Sesungguhnya, pemimpin yang baik, pembelajar yang baik, pembicara yang baik, adalah seorang pendengar yang baik.
Mendengar itu adalah bagian dari komunikasi, bagian dari cinta. Level tertinggi bagi seorang pendengar adalah saat dirinya terlibat aktif dalam memperhatikan, memberi empati dan energi kepada teman bicaranya dan atau topik yang sedang diperhatikannya. Itu sebabnya mendengar juga menguras energi. Itu pula sebabnya ada saat-saat kita suka ngobrol dengan seseorang, karena energinya "hadir" dalam bentuk perhatian dan empati. Memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dibicarakan dan memberi feedback secara proporsional.
Menjadi pendengar yang baik membutuhkan kesadaran dan kesabaran. Membutuhkan kecerdasan dan ketepatan saat merespon baik dalam bentuk pertanyaan dan atau pernyataan.
Audi multa loquere pauca, adalah istilah latin yang berarti 'mendengar banyak berbicara sedikit'.
Ya, kita diberi dua telinga. Gunakan sebaik-baiknya, sebermanfaat-manfaatnya. Menyediakan dua telinga untuk mereka yang butuh didengarkan, merupakan sebentuk cinta juga, bukan?
Energi cinta merupakan prasyarat komunikasi yang lancar, efektif dan berkelanjutan.
Energi cinta dalam komunikasi akan membuat semua masalah menjadi lebih ringan. Tidak benar-benar mudah, mungkin, tapi yang jelas akan lebih solutif dan mencerahkan.
Hadirnya energi cinta dalam komunikasi, menjadi penanda bahwa komunikasi berada pada levelnya yang tertinggi: Kemanusiaan.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.