Mie Instan Berjimat

Di hari keempat menjadi istrinya, saya sudah mendapat hadiah pertama berupa teriakan keras bagai halintar menyambar begitu saja tanpa diduga-duga dari sang suami.  

Mie Instan Berjimat

Sebagai pengantin baru sepertinya saya dan suami hanya ingin menikmati dunia ini berdua saja. Senin pagi itu, 14 Februari 1994, sekitar jam enam pagi saya merasa malas sekali bangun, harus berangkat kerja. Itu adalah hari ke empat saya merasakan tinggal di rumah baru. Empat hari menjadi istri dari suamiku. Hawa sejuk tanpa alat pendingin sangat membuat saya masih ingin bermalas-malasan di dalam selimut. Seumur hidup saya tinggal di Jakarta belum pernah merasakan adanya udara luar yang segar berhembus masuk ke dalam kamar. Kira-kira udara Bogor saat itu sekitar 20 derajat Celsius. Sambil masih rebahan, saya menggaruk-garuk perlahan punggung  suami saya.

“Bangun yuk. Siap-siap kerja,” dengan suara lembut saya coba membangunkan lelaki yang masih tertidur, posisinya menghadap ke arah tembok di sisi satunya. Membelakangi saya. Namanya juga pengantin baru, haruslah segala tingkah laku dibuat selembut mungkin supaya terkesan sangat romantis.  Hari itu adalah hari pertama kami sebagai suami istri yang harus bangun pagi dan berangkat kerja.

Ujung jari kakinya mulai bergerak sedikit. Perlahan lanjut seluruh kakinya mulai bergerak. Dan badannya pun mulai bergerak walau belum berbalik arah menghadap saya.

“Ahhhh malas ya. Enaknya kabur aja yuk, kita honeymoon kemana gitu.”

“Ya ga bisa lah. Kan kerjaan kantor numpuk sekali. Harus selesaikan laporan pajak dulu.”

“Acccchhhhhh…. ok ok deh,” terus dia mem­balikkan badan dan membuka matanya, langsung menatap saya.

“Waduhhhh, kayak mimpi, istriku cantik sekali. Baru bangun saja sudah kayak bidadari,” dia memuji-muji sambil mengusap-usap pipi saya.

Dalam hati saya, oh kalau pengantin baru itu selain harus romantis-romantisan perlu bergombal ria juga. Hehehe.

“Yuk, kita siap-siap, perjalanan ke kantor cukup jauh, kita belum tahu lalu lintasnya seperti apa,” bujuk saya.

“Saya siapkan sarapan ya,” saya bangun tidak tergesa-gesa, lalu duduk di pinggir ranjang sambil menengok ke ubin mencari sandal.

Tiba-tiba baju piama saya ditarik dari belakang, dan seluruh badanpun ikut terpelanting kembali balik tergeletak di atas ranjang. Walau kaget, kami tertawa bersama. Ia mendekatkan wajahnya ke muka saya.

“Saya siapkan sarapannya, kamu mandi,” dia langsung lompat berdiri, jalan menuju ke pintu, lalu dengan cepatnya ia keluar sambil menarik pintu tertutup kembali.

Saya masih berbaring terlentang menatap langit-langit, tersenyum sendiri. Setahu saya lelaki ini sama sekali tidak bisa masak. Mau bikin sarapan? Apa ini becandaan? Atau selama ini ia hanya pura-pura tidak bisa masak. Ya, pernikahan ini tergolong nekad. Kami berkenalan dan berpacaran dalam waktu yang sangat singkat. Sesingkat-singkatnya, hanya tiga bulan, dari pacaran sampai naik kepelaminan. Jadi mungkin kami tidak begitu saling mengenal dalam satu sama lain.

Saya tidak mau berandai-andai, apa yang tengah dilakukannya di dapur. Saya bangkit dari tempat tidur, dan langsung menuju kamar mandi. Berharap ada sarapan spektakuler di meja makan nanti.

Kebetulan kamar mandi kami berada di dalam ruang tidur. Tidak lama saya mendengar deritan pintu terbuka, dan langkah kaki berat masuk ke dalam kamar.

“Lho kok cepat sekali, katanya mau masak,” saya setengah berteriak dengan mulut masih penuh dengan odol.

Kepalanya muncul di depan pintu kamar mandi, “Siapa yang bilang mau masak?”

Dari cermin depan tempat cuci tangan saya jelas bisa melihat wajahnya penuh senyum mencurigakan. Selesai mandi, saya langsung duduk di meja rias, “Saya perlu 15 menit ya.”

“Ok, saya keluar duluan, kamu nyusul ya.”

Saya merinding ketika melihat sesuatu yang tidak pernah ada di rumah orang tua saya. Sang suami sudah berpakaian rapi tengah duduk di meja makan, membaca dengan memegang dan membentangkan lebar koran persis di depan mukanya. Rasanya seperti cerita di sinetron saja. Hahaha. (Pokoknya segala perasaan norak, baru menjadi istri orang ada di dalam diri saya pada saat itu).

Di atas meja makan telah tersaji dua mangkok mie instan. Walau saya tidak suka dan juga tidak terbiasa makan  makanan yang satu ini, harus saya akui penampilan sarapan ini menarik, apalagi telur dan sayur hijau tertata rapi di atas mie.

“Ooh kamu itu minta si Mbak menyiapkan mie instan. Kirain sarapan ala American Breakfast.”

Dengan senyum lebar, ia melipat korannya.

“Yuk, makan, sudah agak dingin nih.”

“Lain kali kamu makan duluan saja deh. Ga usah tunggu saya. Sayang tuh makanannya sudah dingin.”

“Oooh ok.”

(Alamak, betul saja sejak saat itu, dia kalau lapar mau makan ya makan saja, pokoknya tidak pernah menunggu saya lagi).

Tiba-tiba mukanya yang begitu berseri-seri, sekonyong-konyong berubah menjadi kusut, keningnya berkerut dalam. Matanya menatap ke dalam mangkok mienya. Sambil mengaduk-ngaduk mienya, tiba-tiba dia menjerit.

“Mbaaakkkk…….”

Nah, yang dipanggil tidak ada reaksi. Tidak ada ada jawaban, pun tidak muncul.

“Mbaaakkkkkkk!” kali ini teriaknya lebih keras.

Pembantu berbadan agak gemuk, umurnya pada waktu itu pasti lebih tua dari kami, tergopoh-gopoh jalan ketakutan mendekat menghampiri meja. Dia juga baru empat hari bersama kami.

“Ya Pak,“ suaranya sangat perlahan.

“Ini mienya saya minta keju, kenapa tidak dikasihkan?”

“Sudah saya kasih Pak.”

“Mana? Mana? Manaaaa?” teriaknya kembali sambil tetap membolak-balikkan mie dalam mangkoknya.

Saya betul-betul bingung dan tidak bisa membaca situasi apa sebenarnya yang terjadi. Suami saya tiba-tiba naik pitam. Si Mbak berdiri kaku ketakutaan.

“Jangan bercanda Mbak. Ini tidak ada kejunya. Lupa di taruh ya?”

“Sungguh sudah saya taruh Pak,” jawab perempuan bermuka bulat itu perlahan.

“Tadi Bapak minta dimasukan telur sudah saya masukan.”

“Tadi Bapak minta ditambahkan sayur sudah saya tambahkan.”

“Ya, ya, ya tapi kejunya mana?”

“Sudah saya taruh Pak.”

“Mana Mbakkkk??” kali ini suaranya terdengar geram.

“Gini lho, coba lihat ini. Kalau ada keju, kuahnya kan sudah jadi keruh.”

“Tapi sudah saya taruh, Pak!” kini gantian suara si Mbak yang mulai tinggi.

Saya masih duduk terdiam, sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Diam-diam, saya mengambil garpu dan mulai mengaduk isi mangkok yang ada dihadapan saya. Memang betul sih, melihat dari kuahnya masih normal seperti kuah mie instan kari ayam. Tidak terlihat ada tambahan keju.

“Ga ada mbakkk. Ampun deh.”

“Ada,” dengan nada yakin dan tegas, nampaknya rasa takutnya telah leleh dan berganti dengan sedikit geram.

Si Mbak akhirnya nekad, menghampir tuannya dan tanpa minta permisi, sangat mendekat sekali. Diambilnya mangkok mie itu, diangkatnya. “Nah itu kan kejunya.”

Walah benar, sepotong keju tipis masih terbungkus rapi dengan plastiknya, tergeletak manis persis di bawah mangkok.

“Bapak lah kok, ndak percaya sama saya.”

“Tadi Bapak minta keju taruh di bawah mangok sudah saya taruh kejunya di bawah mangkok”

Terlihat muka pembantu ini plong lega, seperti terdakwa yang bisa membela dirinya sendiri, terbukti kejunya ada. Sepertinya, dia sudah benar menjalankan tugas.

Nah, suami saya yang terdiam. Bengong. Sedangkan saya, spontan tertawa terbahak-bahak. Betul-betul di luar dugaan, adegan pagi itu akan berakhir konyol seperti itu. Sedangkan si Mbak, menatap saya tidak senang. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba saya terpingkal-pingkal tidak henti-hentinya sampai air mata pun menetes.

“Tidak lucu!” hardik suamiku keras bagai halilintar.

Saya tidak takut dan tidak perduli, tetap tertawa, sambil menyambar tas kerja, “Hayoo berangkat, kita cari makan di kantor saja.”

“Mbak, tolong mienya makan saja ya,” saya berkata sambil masih coba menahan tawa.

Di dalam mobil, sambil menyetir, tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan saya.

“Maaf ya saya bentak kamu tadi.  Habisnya jengkel.”

Tiba-tiba dia tertawa keras, “Gila, benar-benar tidak sangka ada orang bisa sebodoh itu.”

“Coba kamu ganti cari pembantu lain deh,” lanjutnya sambil melepas kekesalannya.

“Ya jangan dong. Si Mbak ini kelihatannya ok juga sih.”

“Tadi kamu perintahnya bagaimana?”

“Taruh keju di bawah mangkok sebelum mie, sayur, dan telur nya masuk. Terakhir baru masukan kuahnya.”

“Hehehe… rasanya si Mmbak ga salah juga.”

“Ya masa sih ada otak ga dipakai. Mikir dong. Koq, keju beneran di taruh di bawah mangkok, memangnya mau buat jimat?” tiba-tiba tawanya berhenti dan langsung nadanya jadi serius.

“Lagian aneh, saya baru tahu ada orang yang makan mie instan pakai keju lempengan,” ejek saya,

“Kebiasaan dari dulu. Sudah terlanjur suka.”

Lalu saya mulai menjelaskan perihal berinteraksi dengan orang. Tentu sebagai orang yang bekerja di bank dan mempunyai posisi, sehari-hari dia selalu bekerja dan berkomunikasi dengan orang-orang yang paling tidak minimal lulusan S-1. Berbeda dengan saya yang berkecimpung di bidang kuliner. Kebanyakan saya berhadapan dengan orang-orang yang bukan lulusan sekolah tinggi. Komunikasi dengan kedua kelompok orang ini sangat berbeda. Tanpa titik dan koma saya terus mengoceh.

“Kita harus bisa menempatkan diri siapa orang yang kita hadapi, jadi gaya kita berkomunikasi pun harus disesuaikan dengan cara mereka berpikir.”

“Ok. Ok. Ok. Cukup kuliah paginya. Lapar nih.”

“Lagian selanjutnya kamu tidak usah ikut campur soal dapur deh. Biar semua itu menjadi urusan saya.” (Benar saja dari sejak saat itu dia tidak pernah ikut campur masuk ke dapur, walau saya sesibuk apapun dia tidak pernah turun tangan ikut berpartisipasi membantu).

Tetapi sebetulnya lebih baik begitu juga sih, lebih aman. Jadi, kekacauan komunikasi dengan si Mbak tidak perlu terulang lagi.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.