Alon-alon lalu Alone

Alon-alon lalu Alone
Image by pixabay.com

Aku bukan perempuan ayu, juga perempuan lemah lembut. Senangnya tertawa terbahak-bahak, berjalan dengan cepat bahkan sering juga berlari di depan kerumunan orang. Bodo amat orang bilang apa, aku tidak pernah peduli.

 

Saat perempuan lain sibuk sisihkan uang untuk beli skincare, aku hanya cukup bisa memuji diri sendiri di depan cermin.

 

Hidungku yang tidak mancung kusyukuri karena sampai saat ini masih bisa bernafas dengan baik, masih bisa bedakan wangi dan bau bahkan masih bisa bedakan lelaki buaya atau bukan.

Tinggi yang jauh dari kata tinggi, rambut kubiarkan berantakan kadang hanya bermodal karet gelang kuikat sampai pitak mengintip di balik rambut kecoklatan yang kubiarkan makin menuju merah saking sering tersengat panasnya matahari.

 

Tak pernah berani menyukai lawan jenis. Dengan wajah seadanya kadang ingin rasanya bertanya pada Tuhan, saat pembagian list bagian tubuh yang akan dipasang adakah waktu yang aku sia-siakan?. Hingga Tuhan marah padaku dan membiarkan aku jauh dari kata cantik.

 

“Dru, bagiku kau paling cantik. Kau jauh lebih menawan dibanding Hana. Kau jauh lebih manis dibanding Tika dan kau jauh lebih menarik dibanding Nadya.”

“Heh, aku belum buka mantra. Kenapa kau sudah memuji aku?”

“Aku sudah lelah dengar pertanyaanmu. Rasanya lebih dari sewindu kau tanyakan hal yang sama. Padahal jika kau mau bersyukur, kau adalah perempuan paling cantik di muka bumi ini.”
“Ssst, diam. Aku tak tergoda bujuk rayumu. Aku tahu tingakatan jelekku ada di mana.

 

 

Kuambil syal dengan terburu-buru. Sebelum matahari tepat berada di atas kepalaku aku harus sudah sampai Bandara.

Jadwal landing pesawat bram adalah jam satu siang. Masih punya waktu dua jam untuk memacu mobil kecilku menuju Cengkareng.

 

Semoga jalanan tidak macet, aku harus sampai satu jam lebih cepat. Telah kusiapkan kejutan untuk Bram.

 

Sial, aku lupa pesawat yang ditumpangi Bram. Di terminal 1, 2 atau 3 aku harus tunggu Bram. Bodohnya aku. Kenapa yang diingat hanya jadwal takeoff dan landingnya saja.

 

“Met, sorry urgent nih. Lu dimana?”
“Di kantor lah. Kamu yang dimana jam segini belum sampai kantor. Cuti?”
“Iya cuti gue. Met gue ga bawa laptop, jadwal dinas Bram itu sampai hari apa ya?”
“Hah, jadwal dinas Bram. Apa urusan kamu Dru?”

“ Engga, gue lagi siapin jadwal buat Bram berikutnya. Jangan sampai dia terlalu lelah aja, biar pas jeda istirahat dengan jadwal berangkat berikutnya.”

“Hari ini balik dia, kayanya sebentar lagi sampai deh.”
“Oya?. Kasihan juga ya Bram keliling-keliling begitu harus dapat pesawatnya lagi-lagi LCC. Terminal satu pula.”
“Ih sotoy lu Dru. Memang LCC tapi dapatnya dia Batik kok. Masih oke lah dibanding pesawat jatah lu. Hahahahah”

“Oke Met. Thanks ya. Nanggung nih lagi nyetir.”

 

Terminal dua.

Untung feelingku tepat, segera kucari parkir. Dengan sedikit tergesa-gesa kuambil laptop, handphone dan dompet.

Tiga benda yang tidak boleh lupa dibawa-bawa.

 

Kucari café coffee favorit kami. Masih satu setengah jam menuju landing.

Kupesan segelas espresso dan roti bakar keju yang kupesan agak sedikit gosong.

 

Sambil kutunggu Bram. Kuteruskan tulisan yang berbulan-bulan tidak aku sentuh. Sebagai janjiku pada Bram, maka siang itu kuputuskan meneruskan kembali bab yang terpotong.

 

Kutatap kembali wajah biasaku di ujung jendela. Rasanya seperti mukjizat ketika seorang Bram mampu lemparkan senyum untukku, menebar pesona untukku, berbagi canda denganku dan banyak hal lain yang dipersembahkan oleh Bram untukku.

 

Sepertinya hanya Bram, satu-satunya lelaki buta yang bisa menyempatkan diri menoleh padaku, memuji dan membangkitkan hidupku yang bertahun-tahun redup karena rasa percaya diriku yag telah lama lenyap.

 

Kuhirup espresso yang sudah hampir dingin, kuteguk perlahan. Kuperhatikan detail kekentalan kopiku. Semakin aku perhatikan semakin aku merasakan kehadiran Bram.

 

Ah, Bram berhasil mengubah duniaku.

Aku yang terbiasa membiarkan rambutku berantakan, pelan-pelan kuatur dan kubentuk rapi rambutku.

Aku yang terbiasa tertawa terbahak-bahak, pelan-pelan kubuat agak ayu sedikit.

Loh kenapa aku merubah penampilanku hanya untuk Bram. Artinya Bram tidak terima aku apa adanya?.

Bukan, bukan itu maksudnya. Aku menghargai seorang Bram. Lagipula setelah aku mengenal Bram, teman-temanku banyak yang acungkan jempol.

Bukan hanya kaca di kamarku yang bilang aku cantik. Tapi temanku berkata hal yang sama.

 

 

Roti bakarnya terlalu gosong, kejunya ikut terpanggang sedikit. Kecewa rasanya. Padahal roti yang kupesan adalah versi jumbo biar bisa dimakan Bersama Bram saat Bram tiba.

 

Deg-degan. Sebentar lagi Bram tiba.

 

Ku touch up wajahku, kusemprot sedikit dengan face spray yang kubawa lalu kutambahkan warna nude di bibirku dan perona pipi agar semakin segar aku dilihat oleh Bram.

 

Lima, empat, tiga, dua…satu.

Yes, Bram datang.

Dia orang paling simple. Kalau aku perlu satu koper, satu tas laptop dan satu tas gendong. Bram cukup bawa satu tas gendong yang di dalamnya berisi laptop, baju ganti dan yang lainnya.

Heran sih. Tapi itulah kebiasaannya.

 

Hai, Bram.

Terima kasih sudah menyempatkan diri lewat di depanku. Baumu sudah menyembuhkan rinduku. Tatap matamu sudah mereda kangen yang luar biasa. Aku tahu kamu tak pernah tahu perasaanku. Aku tahu kamu tak pernah simpan rasa special buatku. Aku tahu, kamu hanyalah laki-laki baik yang menghargai wanita.

Dan aku hargai kamu dengan aku berdandan menyambut kedatanganmu. Di sini. Sendiri.

 

Hati-hati Bram di jalan. Sampai jumpa besok di kantor ya…

 

Kusimpan novel yang aku buat untuk Bram. Telah kuselesaikan dengan baik. Sengaja aku simpan di café tersebut. Karena café itulah yang sering disinggahi Bram jika Bram berangkat dinas.

 

Kutulis dengan tegas di halaman depan novelku, Untuk Bram.

 

#Bandung, 2 Juli 2020

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.