Seorang kakek-kakek di mesjid.

Kejadian ini terjadi sebelum pandemi. Saya sedang memasuki mesjid untuk menunaikan sholat Jumat. Karena semua temen lagi pada meeting, saya datang sendirian saja. Mesjid tersebut lokasinya di Jl. Karang Tengah, tidak jauh dari kantor.
Baru saja duduk di shaf paling belakang, saya melihat seorang kakek-kakek menatap saya dengan tajam. Dia duduk di sebelah kanan di shaf persis di depan saya. Kira-kira berjarak 7 M dari tempat saya meletakkan pantat.
Saya melemparkan senyum pada kakek itu tapi dia tidak memberikan reaksi. Saya memperhatikan kakek tersebut dengan seksama. Tubuhnya kurus cungkring. Rambutnya dipenuhi uban dan giginya hampir ompong semua.
Kakek itu menoleh ke arah saya lagi tapi lucunya dia selalu melengos setiap kali saya membalas tatapannya. Berkali-kali adegan yang sama berulang. Hahahahaha...dasar kakek-kakek! Kelakuannya udah kembali kayak anak kecil.
Ketika khotbah baru mau dimulai, Si Kakek kembali menatap saya penuh selidik. Ah, mungkin saya adalah temen cucunya, pikir saya. Saya juga memandang kakek tua itu sambil memberikan senyum ramah.
Kali ini Si Kakek tidak melengos. Dia bahkan berdiri dan berjalan menghampiri saya. Sebagai orang yang jauh lebih muda, saya menggeser tubuh dan dengan sopan mempersilakan kakek jompo itu duduk di sebelah saya.
Setelah bersila dengan posisi nyaman, Sang Kakek berkata, "Eh, lo Budiman Hakim, kan?"
"Iya, betul. Bapak siapa?" tanya saya dengan sopan.
"Kita dulu di SMP yang sama," kata Si Kakek Jompo.
Mendengar omongan kakek itu saya langsung berpikir bahwa dia pastilah salah seorang guru di sekolah saya dulu.
"Oh ya? Bapak mengajar apa dulu?" tanya saya polos.
"Lo jangan manggil gue 'Pak', dong. Gue bukan guru. Kita dulu sama-sama murid."
"Hah? Masak, sih?" tanya saya 3/4 gak percaya.
"Iya. Gue Baron. Inget, kan?" katanya lagi.
"Ooooooh, Baron!" kata saya belagak inget, "Kita dulu pernah sekelas gak?"
"Gak pernah. Kita, kan, beda angkatan. Waktu lo kelas 3, gue kelas dua."
"Sumpe lo? Jadi lo adik kelas gue?" Saya beneran kaget.
"Iya, lo kakak kelas gue."
Kali ini saya terdiam. Gak tau harus ngomong apa. Masih gak masuk di otak saya ternyata kakek ini malahan adik kelas saya.
"Lo tau gak, Bud. Dari tadi gue mau nyamperin lo tapi ragu-ragu."
"Karena?" tanya saya tanpa ingin tau jawabannya.
"Karena gua gak yakin bahwa ini elo. Lo udah keliatan tua banget."
"Hah??? Gue tua?"
"Iya, makanya gue ragu-ragu tadi. Lo udah kayak kakek-kakek."
"Gue....kakek-kakek..?"
Mendengar ucapan orang ini saya langsung berdoa dalam hati, "Ya Allah. Izinkan hambaMu membunuh orang tanpa Kau beri ganjaran dosa, ya, Allah. Satuuuuu orang saja, Boleh, ya? Pleaseee...ya Allah."
Selesai sholat, hati saya menjadi lebih adem. Niat bunuh orang juga langsung padam. Bahkan pertemuan saya dengan Baron memberi pemahaman baru. Gak baru, sih, sebenernya tapi sering dilupakan oleh kebanyakan orang. Apakah itu?
Kita terlalu sibuk menilai orang lain sampai lupa menilai diri sendiri. Kita mengatakan orang lain udah tua, udah ubanan, udah gendut, udah botak, udah peyot, jelek, pikun dan lain-lain. Padahal dia temen kita sendiri. Padahal dia seumuran sama kita. Kalo dia tua, ya, pastilah kita jadi tua juga. Kalo dia udah peyot, keriput dan lain-lain pasti hal yang sama juga terjadi pada kita.
Sesampainya di kantor saya langsung menghadap laptop. Entah apa sebabnya, sekonyong-konyong jari-jari saya tanpa diperintah mulai mengetik sendiri. Dan dua kata yang saya ketik di mesin pencari Google adalah "botox" dan "stemcel."
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.....
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.