BERINTERAKSI DENGAN OTAK PEMBACA

BERINTERAKSI DENGAN OTAK PEMBACA

Percakapan sepasang sejoli di sebuah restoran.

Cowo : Kamu mau makan apa, Yang?

Cewe : Saya masih kenyang

Coba perhatikan percakapan itu baik-baik. Secara logika, dialog itu ngawur. Kalo ditanya 'Mau makan apa?’ Kan harusnya nyautnya 'Saya nggak mau makan' Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan, 'Kenapa nggak mau makan?' Baru, deh 'Saya masih kenyang.' Tapi Si Penulis gak merasa perlu menulis seperti itu. Dia merasa kedua kalimat tersebut gak perlu ada. Dia membiarkan kalimat ‘Saya nggak mau makan’ dan ‘Kenapa nggak mau makan?’ hadir di kepala pembaca.

Sebaliknya, pembaca juga gak merasa ada yang salah dengan kalimat-kalimat di atas. Jadi tidak semua detil harus diceritakan. BERI RUANG-RUANG KOSONG DI SANA-SINI. Biarkan OTAK PEMBACA MENGISI RUANG-RUANG KOSONG yang kita sediakan. Tanpa sadar mereka akan melengkapi bagian-bagian yang hilang di benaknya.

Begitulah cara seorang penulis nge-lock fokus pembaca sehingga mereka terhubung dengan tulisan kita. Dengan strategi ini, emosi pembaca akan terperangkap dalam emosi cerita sehingga merasa harus membacanya sampai habis. Begitulah cara seorang penulis berinteraksi dengan otak pembaca. Dan ini sangat penting karena sebuah tulisan yang bagus adalah yang mampu mengajak pembacanya berpikir dan berimajinasi.

Sering, kan, kita menemukan sebuah tulisan dan kita capek banget ngebacanya? Nah, saya curiga itu disebabkan karena tulisannya terlalu detail. Begitu detail sampe-sampe penulisnya menerangkan hak-hal yang gak perlu. Tulisan seperti itu tidak memberi kesempatan pada otak pembaca untuk berinteraksi. Ketiadaan ruang-ruang kosong membuat otak pembaca tidak terkoneksi.

Saya akan ngasih sebuah analogi sebagai contoh. Ketika kita nonton film Hollywood, sering banget ada adegan seorang polisi sedang menangani kasus kecelakaan. Korbannya seorang remaja, misalnya, bernama Danny. Korban segera dibawa ke rumah sakit. Setelah ditangani dokter, komandan Polisi menyuruh anak buahnya untuk menelpon orangtua Si Korban. Si anak buah memencet HP-nya lalu sekonyong-konyong adegan berubah ke adegan orangtua masuk ke dalam kamar pasien di rumah sakit.

Persis dengan contoh percakapan di awal, Sang sutradara gak merasa perlu memperlihatkan adegan dialog antara polisi dan orangtua Si Korban. Semua itu hadir di logika otak penontonnya.

Nah, sekarang bagian lucunya. Suatu hari saya menemani temen saya shooting. Dia seorang sutradara yang sudah cukup banyak memproduksi sinetron-sinetron di TV swasta. Kebetulan saat itu ada adegan kecelakaan seperti yang saya ceritakan di atas. Si Sutradara menceritakannya dengan detail dan bertele-tele. Contoh:

SFX : Suara telepon berdering.

Polisi: Halo bisa bicara dengan orangtua Danny.

Ibu: Ya, saya ibunya Danny. Dengan siapa saya bicara?

Polisi: Saya kapten Suparman dari kepolisian.

Ibu: Hah? Dari kepolisian? Anak saya kenapa, Pak?

Polisi: Maaf. Anak Ibu kecelakaan.

Ibu: Apa? Kecelakaan? Di mana, Pak? Apakah anak saya selamat?

Polisi: Tenang, Bu. Anak Ibu sudah kami bawa ke rumah sakit.

Ibu: Apa? Di rumah sakit? Huhuhuhuhu……

Dan masih panjang lagi percakapan itu. Belum lagi ternyata Si Ibu memanggil suaminya dan menceritakan kejadian tersebut. Lalu suaminya merebut telepon dan berbicara langsung dengan Sang Polisi. Hadoh! Capek, dong! Hehehehehehe….

“Lu ngapain nyeritain adegan gak penting itu sampe detail? Jadinya bertele-tele. Capek tau nontonnya!” Saya langsung protes.

Tau gak temen saya nyautnya apa? “Orang Indonesia masih bego-bego, Bud. Kalo sama mereka harus detail banget. Kalo nggak mereka gak ngerti.”

Saya gak percaya sama argumentasi itu tapi begitulah yang sering terjadi. Kita capek melihat film atau membaca buku karena ceritanya bertele-tele. Kita merasa temponya terlalu lambat. Semua diceritakan dengan detail. Capek banget bacanya. Akhirnya kita males meneruskan membaca.

Teman-teman sekalian. Interaksi adalah hakikat hidup semua manusia di dunia. Meskipun buku dan film adalah media satu arah, kita tetap membutuhkan interaksi. Dan caranya adalah memberi ruang-ruang kosong dan membiarkan otak pembaca untuk mengisi ruang tersebut. Ketika interaksi terjadi maka yang terjadi berikutnya adalah:

1. PIKIRAN mereka terperangkap lalu terhubung dengan cerita kita.

2. EMOSI pembaca akan menyatu dengan emotional moment dalam cerita (Kalau ceritanya bagus).

3. Pembaca sulit berhenti dan mereka merasa harus membacanya sampai tamat,

4. Terjadilah emotional bonding antara karya dan pembacanya.

5. Terjadi emotional bonding antara pembaca dan penulisnya.

Menarik banget, ya? Kalo ingin mengetahui lebih dalam seputar ilmu penulisan, kalian saya anjurkan untuk mengikuti Kelas Penulisan, The Writers. Kelas Penulisan kali ini masuk ke Batch 24. Seperti biasa kelas akan diadakan di group WA dengan 8X pertemuan. Mulainya tanggal 8 Agustus, 2023, pukul 20 - pukul 22. Kelas akan diadakan setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis.

Buat yang belum pernah ikut, silakan daftar. Seperti biasa, biayanya seikhlasnya. Jangan menunda-nunda lagi. Ilmu tidak mencari manusia tapi manusialah yang harus mencari ilmu. Kontak admin The Writers di no. WA 0811 909 100.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.