Kebun Impian

"Mana obat gosokku tadi, ya?"
"Mungkin di atas meja dekat jendela, atau kau taruh di atas tempat tidurmu."
"Aku sudah sering lupa, bahkan kacamataku pun sering tertinggal."
"Itu tandanya kau panjang umur."
Ini adalah percakapan yang paling sering terdengar di rumah, entah apa yang tertinggal, entah apa yang terlupa bahkan ada saja barang yang hilang walau sesaat kemudian dijumpai kembali.
Rumah asri yang selalu tampak sepi, dengan pagar bercat hijau, yang selalu tampak teduh karena ditanami banyak bunga dan pohon buah.
Sudah beberapa tahun ini, bila musim buah tiba pasti ada beberapa kresek buah yang digantung di pagar menghadap jalan. Ada tulisan 'Silakan Ambil', dengan harapan siapapun yang lewat di depan rumah dan berminat untuk menikmati buah segar dipersilakan mengambil.
Selama ini yang menjadi langganan mengambil buah itu adalah anak-anak sekolah yang berjalan kaki melewati depan rumah. Selalu terdengar riuh tawa bahagia mereka berbagi buah yang ada di dalam plastik.
"Asiikk ada mangga."
"Aku mau, dong!"
"Bagilah, masa aku dapat yang kecil?"
Ada banyak suara keributan yang terdengar, yang di akhiri teriakan, "Makasih, Opuung!"
Semua berlomba mengeluarkan suara terkerasnya. Dan si Opung dari dalam tersenyum bahagia.
***
Tinggal berdua di rumah kecil sekalipun sangat melelahkan untuk dua orang yang sudah tua. Tetap memerlukan tenaga ekstra untuk berbenah rumah, mencuci piring dan perabotan, membersihkan kamar mandi, kebun dan juga kamar tidur.
Walau ada yang siap untuk dipanggil membersihkan rumah seminggu sekali, tetapi ini tetap membuatnya lelah. Bahkan untuk hal sepele seperti makanan, bisa membuat bibit pertengkaran yang besar.
"Sudah kubilang, jangan memasak terlalu banyak. Nanti malah terbuang," ujar Opung pada Nenek.
"Bisa ditaruh di kulkas bila ada sisa," bantah Nenek tak mau kalah.
"Mana ada kau makan lagi semua makanan di kulkas itu. Sudah, kita habiskan dulu semua makanan itu baru kau masak lagi," tutur Opung tetap dengan pendiriannya.
"Dasar Batak pelit, untuk makan saja kau berhitung," ujar Nenek meruntuk kesal.
"Apa kau bilang? Batak pelit?" bentak Opung dari kursi malasnya.
"Mana ada aku bilang pelit, salah dengar kau," elak Nenek santai.
"Sudah kau kira aku tak mendengar rupanya, bahkan apa yang kau ucapkan dalam hatimupun aku dengar," ucap Opung masih dengan nada keras.
"Sudahlah, Bang. Aku lelah ... di mana tadi aku taruh vitamin tulang itu ya?" jawab Nenek sambil tangannya sibuk membongkar laci.
"Mana aku tahu, kau yang sudah pikun. Kau bilang aku yang tak mendengar," sahut Opung sambil terus membaca.
Sehebat apapun pertengkaran mereka, akan diakhiri dengan damai. Semarah apapun mereka,aa pada akhirnya berujung saling melengkapi. Di rumah itu bila tak ada pertengkaran pasti terasa sepi.
***
Tak pernah mereka bayangkan rumah yang dulunya ramai, sekarang sepi dan lengang. Pernah ada masa di mana Nenek selalu marah karena rumah tak pernah rapi, selalu ada piring kotor menumpuk, ada baju kotor yang melambai untuk minta dicuci, ada remah makanan di manapun. Bahkan pertengkaran anak-anak yang dahulu membuatnya pusing kini sangat dirindukannya.
Walau setiap minggu semua anak giliran menelepon menanyakan kabar, mengirimkan vitamin dan obat, bahkan makanan dari daerah tempat tinggal mereka, tetapi semua terasa sepi.
Ada ruang hampa yang sangat ingin diisi, tetapi entah kapan bisa terisi.
Sore ini mereka berdua duduk menikmati kopi dari ruang tengah. Memandang ke halaman samping. Mata nenek tertuju pada pohon Mangga rindang dengan daun yang lebat tampak sedang berbunga pertanda akan memiliki buah yang banyak.
"Pohon Mangga itu sudah berbunga lagi, berarti sudah setahun ya, Bang," ujar Nenek pada Opung
"Iya, tak terasa mau berbuah lagi dia, tahun kemarin kita panen raya," sahut Opung sambil terkekeh.
"Semoga tak ada hujan, jadi bunganya tak rontok. Aku jadi ingat pohon itu seusia Naraya. Waktu aku tahu sedang mengandung, aku langsung membeli bibitnya di Pak Zahar. Kusuruh dia tanam di sana sebagai rasa syukurku," gumam Nenek sambil tetap menatap pohon Mangga itu.
"Iya, kalau pohon Durian bangkok itu waktu kau mengandung Rimba, kau ngotot minta bibit durian karena kau berharap anak laki-laki. Ternyata benar kita diberikan anak laki yang gagah," suara Opung bergetar.
"Sayang pohon Alpukat itu kau tebang, seandainya masih ada mungkin dia juga sudah besar dan berbuah banyak. Aku masih marah sampai hari ini bila ingat peristiwa itu. Padahal aku menanamnya sebagai pertanda hari pernikahan Rimba dan Nazla," Nenek merajuk mengingat pohon Alpukat yang ditebang.
"Aku tak mau tetangga kita marah karena ranting masuk ke halaman rumahnya. Kau tahu sendiri bagaimana dia kalau menyindir kita. Dia bilang rumah kita seperti kebun raya, dia bilang rumah kita sumber nyamuk karena banyak pohon, pernah juga dia bilang rumah kita miniatur hutan, di kebun," sahut Opung.
"Biarlah dia mau bilang apapun, kalau dia tak suka ranting yang masuk ke dalam rumahnya, harusnya kau potong ranting itu saja bukan malah kau potong semua pohonnya. Aku marah!" timpal Nenek.
Benar saja saat romantis pun akan ada bumbu emosi dan bibit perdebatan di antara mereka. Tetapi bukan Opung namanya bila tak bisa menghentikan emosi Nenek yang sedang merajuk.
"Baiklah, aku belikan kau Alpukat 10 kilo, dan kau makan sendiri biar kau tak marah lagi," ujar Opung sambil menyeruput kopinya.
"Kau saja yang makan kalau 10 kilo, aku cuma ingin menikmati makan bersama anak-anak di bawah pohon Mangga itu," sahut Nenek.
Sontak Opung melihat ke arah pohon Mangga, dan tersenyum seolah menikmati pemandangan sesaat tentang keramaian dan riuh mereka berkumpul di bawah pohon Mangga.
***
Pagi ini Nenek dibangunkan oleh suara yang sangat membisingkan telinga, tetapi karena rematik di kaki yang kambuh sejak semalam, dia tak bisa beranjak dari tempat tidurnya. Ditengoknya meja di samping tempat tidur. Ada semangkuk bubur ayam hangat, dan teh serta vitamin di sana. Tentu itu suguhan Opung agar Nenek tidak beranjak dari tempat tidur. Seolah perintah yang tak boleh dilanggar, bahwa hari ini dia istirahat saja di kamar.
Maka tanpa mempedulikan apapun kebisingan yang terjadi di luar, Nenek menjalani aktivitasnya di atas kasur. Setelah sarapan, dia membaca buku resep yang baru diterimanya dari Naraya. Anaknya mengirimkan buku resep masakan sehat, sambil tersenyum dibacanya perlahan.
Sementara di halaman, pada sumber keributan itu, ada dua orang tukang dengan peralatan lengkap serta beberapa gelundung kayu yang siap dikerjakan.
Opung datang membawa nampan berisi dua cangkir kopi untuk tukang, dengan sigap dia menunjuk segala arah seolah mengatur posisi, memberi instruksi pada tukang dan dua orang muda itu mengangguk berusaha memahami apapun yang dibicarakan Opung.
Seharian mereka bekerja, tetap dengan gaya ala mandor, Opung bolak balik rumah dan kebun halaman samping. Sambil sesekali menengok ke kamar Nenek, memastikan Nenek istirahat dengan nyaman.
Seharian Nenek tidur, sepertinya membalas waktu tidur malamnya yang terganggu akibat rasa sakit dan ngilu di kaki dan beberapa bagian tubuhnya.
Begitulah tubuh renta, tak bisa menolak pada alam bahwa akan pasrah melemah. Tak seperti masa muda dulu, biarpun udara dingin tetap sigap memasak di saat seluruh isi rumah masih bergelung dengan selimut. Nenek sanggup mencuci pakaian semua orang, kemudian menyeterikanya selicin mungkin. Memastikan suami dan anak memakai pakaian bersih dan rapi. Tak pernah ada makanan kosong di meja makan, apalagi di hari libur, tandanya Nenek bekerja lebih berat sebab semua berkumpul di rumah menikmati bonus cemilan yang spesial.
Tapi itu dulu, sekarang sejak Rimba membawa istri dan anaknya bertugas di Kalimantan, ia sangat jarang pulang. Dua kali setahun saja sudah Alhamdulillah. Semua harus memahami kesibukan pekerjaan dan membagi waktu dengan keluarga, harus menyesuaikan liburan sekolah semua diperhitungkan dengan cermat yang pada akhirnya saling berkabar melalui telepon seminggu sekali saja sudah harus disyukuri. Sekedar menanyakan kondisi kesehatan orang tua saja sudah menjadi obat mujarab.
Lain lagi dengan Naraya, yang sejak dia kuliah di luar kota sudah jarang pulang. Apalagi sejak bekerja di perusahaan asing, dia lebih sering terbang ke luar negeri untuk urusan pekerjaan daripada pulang ke rumah.
Tetapi perhatian yang diberikan pada orang tua sudah membuat semangat orang tua renta ini terpompa dan bahagia.
Ada saja yang dikirimkan dari tempat dia bertugas. Saat berkunjung ke Jepang, Nenek dikirimkan satu set alat merajut lengkap dengan benang kualitas terbaik. Untuk Opung, ada sarung tangan yang sangat indah walau saat menerimanya Opung bergumam, "sejak kapan aku suka sarung tangan. Bisa gatal jariku." Mungkin Naraya lupa kalau Indonesia itu iklimnya tropis jadi cenderung panas.
Pernah juga dari Malaysia, dikirimkannya dua buah sajadah yang sangat bagus. Saat membuka bungkusnya, ada takjub dan senyum yang diselimuti rasa bangga, tetapi saat melipat sajadah itu mengintiplah label merk yang bertuliskan made in Indonesia. Dan kembali si Nenek berkata, "anak itu selalu tak jeli, dibelinya barang Indonesia di Malaysia, jauhnya dia terbang kesana. Mungkin di Tanah Abang saja banyak yang seperti ini."
***
Hampir 3 hari Nenek banyak menghabiskan waktu di kamar, sudah dirayu istrinya untuk kontrol ke dokter tapi Nenek tetap saja menolak.
"Aku cuma butuh tidur, mungkin terlalu lelah setelah pergi ke luar kota dengan Mbak Marni kemarin," ujar Nenek pelan.
"Itulah yang aku takutkan, kondisimu tidak seperti si Marni. Jadi jangan kau ikut bila di ajak keluar kota. Tapi kau selalu marah bila ku larang, pasti kau bilang aku Batak pelit," jawab Opung dengan nada khawatir.
"Iya, maafkan aku, Bang." Ada penyesalan dalam suara Nenek.
"Sudah, kau makan sekarang soto ini. Tadi aku suruh Fajar beli di kompleks sebelah. Kau suka 'kan, soto lontong itu?" tanya Opung lembut.
"Suka, Bang. Sekalian mana vitaminku?" jawab nenek sambil menyuapkan soto lontong segar itu ke mulutnya.
"Aku ada di belakang, taruh saja mangkoknya di meja. Jangan kau turun. Aku memanaskan teh jahe untukmu," kata Opung sambil berlalu.
Ada desir halus di dada Nenek. Beginilah, dia sekarang bersyukur masih memiliki suami yang memperhatikannya walau watak suaminya ini sangat keras.
Pertengkaran selalu ada, nada keras seperti guntur menggelegar terbiasa dia dengar hingga kebal telinganya. Didiamkan berhari-hari adalah hal biasa walau selalu ada perhatian yang tak tergantikan.
Akhirnya dia hidup hanya berdua di hari tuanya, tetapi mendengar kabar anak-anak yang sehat di tempat yang jauh adalah hal yang paling membahagiakan.
Kembali teringat akan mimpinya akhir-akhir ini, dia sangat ingin berkumpul dengan anak, menantu, dan cucu menikmati kopi dan pisang goreng di bawah pohon yang rindang. Mimpi itu selalu muncul, membawanya tersenyum dan merasakan hangat di pelupuk matanya. Iya, dia menangis untuk mimpi yang seperti nyata.
Entahlah ini pertanda apa, yang jelas membayangkan suasana itu saja sudah mampu membuatnya bahagia, jadi diam-diam nenek selalu menyimpan angan itu untuknya sendiri agar dia bisa tersenyum sendiri dan menemaninya dalam kesendirian.
***
Pagi ini badannya sudah terasa sehat. Nenek bangkit dari tempat tidur, langsung menuju kamar mandi. Sambil membersihkan diri dia berdendang. Hampir seminggu dia sakit rasanya rambut kotor berkeringat, dia memutuskan untuk mencuci rambutnya.
Dipilihnya daster dengan warna hijau tosca hingga wajahnya tampak segar.
Setelah semua tampilannya sempurna, Nenek melangkah keluar kamar menuju dapur. Sejenak dicarinya keberadaan Opung yang belum terlihat, diliriknya jam dinding masih pukul 5 pagi. Tahulah ia bahwa suaminya sedang sholat subuh di masjid berjamaah, lalu akan langsung pergi ke lapangan kompleks untuk mencari jajanan yang biasanya dijual oleh ibu-ibu kompleks setiap pagi. Dipenuhkannya ceret air tua kesayangan, lalu diraciknya dua cangkir kopi pahit tanpa gula untuk mereka berdua.
Setelah semua beres, dibawanya kopi dengan nampan ke teras depan. Dibukanya pintu utama agar udara segar bisa masuk. Lega rasanya dia bisa menikmati pagi di teras setelah seminggu di kamar karena sakit. Tak mau merusak pagi yang indah ini, dia kuatkan hati untuk tidak melirik ke halaman karena pasti sangatlah kotor, seminggu tak disapu akan banyak sekali daun yang rontok. Dia hapal betul kelakuan suaminya yang tak pernah suka menyapu halaman.
Suara pagar yang terbuka membuatnya tersenyum, karena melihat sosok yang sangat dikenalnya masuk dengan menenteng plastik kecil yang dia yakin adalah kue teman kopi pagi ini.
"Waahh, sudah cantik kau?" ujar Opung bahagia.
"Alhamdulillah. Aku bosan tidur, aku mau duduk ngopi di teras," ujar Nenek.
"Sudah kau lihat halaman samping?" kata Opung.
"Malas! Aku baru sembuh sudah kau suruh aku melihat sampah daun berserakan. Aku mau ngopi di teras, Bang" ujar Nenek.
"Ooohhh jadi kau belum lihat? Ya sudahlah, ngopi saja dulu ini ada lemper kesukaanmu," sahut Opung sambil menyodorkan plastik.
Maka pagi itu mereka habiskan dengan menikmati kopi dan kue lemper bakar, dengan selingan membaca koran pagi.
Pagi yang syahdu dan sejuk, melihat tetangga lalu-lalang dengan aktifitasnya.
"Dulu kita juga sesibuk Dek Rani ya Bang, mengantar anak sekolah kalau pagi," ujar Nenek sambil melihat tetangganya yang berteriak menyuruh anaknya cepat naik ke mobil karena takut terlambat.
"Iyalah, apalagi kalau urusan dengan Rimba, sudahlah tensiku bisa naik karena emosi terus, hahaha," balas Opung mengenang kelakuan anak sulungnya.
"Kapan kita bisa ke Kalimantan mengunjungi mereka ya, Bang?" sambung Nenek.
"Kapan kau sehat? Kita pergi, tapi aku tak mau kalau kau sudah di sana kau rindu rumahmu ini," sahut Opung mengingatkan Nenek tentang kelakuannya.
"Naahh itu dia yang aku takutkan," sahut Nenek sambil tertawa.
Opung ikut terkekeh sambil menyeruput kopinya. Beberapa saat, keduanya hanya saling bertukar pandang sambil bersenandung kecil.
Sementara Opung sibuk memandang wajah sang istri, Nenek punya ketertarikan sendiri terhadap taksi yang datang dari kejauhan, mendekati gang mereka. Meski matanya rabun, tapi mobil berwarna biru itu ia yakin adalah sebuah taksi.
"Bang, siapa itu, ya? Jarang sekali ada taksi lewat sini, kan?" tanya Nenek penasaran, membuat Opung ikut mengalihkan atensi.
"Sudahlah, kita lihat saja."
Nenek semakin curiga ketika taksi itu berhenti di depan pagar rumah mereka. Wanita paruh baya itu bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri pagar.
"Kau mau ke mana?" tanya Opung sambil berjalan cepat menyusul Nenek. Dipapahnya sang isteri dan dibukanya pagar rumah.
Dari mobil itu, turun seorang lelaki jangkung beserta seorang wanita cantik dan dua anak perempuan. Wajah-wajah itu sangat dikenali oleh Opung dan Nenek.
"Astaga, Rimba anakku!" Nenek menghambur ke pelukan sang anak sulung.
Rimba tersenyum dalam rengkuhan tangan rapuh ibunya. "Assalamualaikum, Bu, Bapak."
Nenek menghapus air di sudut matanya yang tanpa sadar keluar begitu saja. "Astaga, Nak. Aku terkejut dan bahagia. Kenapa kau tidak kasih kabar dulu, ha?" protes Nenek meski wajahnya tak tampak marah sama sekali. "Huh, dasar anak nakal!"
Nenek tak lupa menyapa Nazla, sang menantu. "Ya Ampun, kau tambah cantik saja," pujinya sambil menepuk pipi Nazla. Dua gadis kecil yang ada di hadapannya juga tidak ia lupakan. Segera saja Nenek memimpin mereka masuk.
"Astaga, aku bahkan belum menyiapkan kamar untuk kalian," ujar Nenek setengah panik.
Opung mengelus bahunya untuk menenangkan. "Tidak apa-apa, mereka bukan anak kecil lagi."
Nenek berdecak dan memukul kecil bahu sang suami. "Ah, kau ini, mana tahu insting ibu itu tajam."
Mereka tertawa bersama di teras rumah. Semuanya tersenyum bahagia. Nenek bahkan tidak bisa marah hari ini, karena kedatangan sang anak benar-benar kejutan.
"Ah, sayang sekali Naraya tidak ada bersama kita," gumam Nenek ketika hendak mengambil ponsel di kamar guna menelepon Naraya. Diam-diam, Rimba tersenyum sambil memandang ponselnya.
Ketika Nenek kembali, Rimba dengan sigap menuntun sang ibu untuk kembali duduk. "Tak usah ditelepon, Bu. Naraya sudah di sini," ujarnya.
Nenek tampak bingung, tapi tidak lagi ketika ia melihat sang anak bungsu tengah menyeberangi halaman, menuju teras tempat mereka semua duduk sambil berbincang.
Pelukan dan air mata tak lagi terelakkan. "Naraya, anakku. Ya Allah, Ibu kangeen sekali."
Naraya tersenyum kepada Rimba dan Opung. "Iya, Naraya juga kangen Ibu."
***
Nazla mengambil alih dapur mertuanya. Hari ini harus mereka rayakan dengan makan besar-besaran. Dibukanya lemari tempat menyimpan bahan makanan kering, tapi semua tampak kosong. Ada rasa sedih dan pilu yang menjalari hati. Dia berniat untuk belanja di supermarket guna memenuhi isi lemari ini dengan bahan makanan kering, lalu di bukanya kulkas. Tak jauh berbeda, semua isi dikeluarkan. Nazla tersenyum sedih sambil memandang beberapa wadah yang isinya sisa makanan matang yang sudah tak layak untuk dimakan.
Beginikah bila aku tua nanti? Sekelebat pikiran itu datang menguasai otaknya.
Sejenak Nazla hanya diam dalam dapur luas mertuanya itu. Matanya memandang ke halaman belakang melalui jendela. Ada embusan angin segar, lalu diamatinya semua tanaman sayur-mayur milik Nenek. Ada pohon tomat yang berbuah ranum siap dipanen, ada pohon cabai rawit, cabai hijau, bahkan cabai keriting yang siap dipetik. Ada juga pohon pandan yang segar tumbuh subur di pojok halaman. Selintas terpikir olehnya untuk membuat kolak esok pagi, ada sawi segar bisa untuk campuran mie rebus dan mie goreng kesukaan kedua anaknya, bahkan pohon terong sudah siap untuk diolah buahnya sangat subur menggantung.
Tak sabar Nazla keluar melangkah kehalaman, kakinya terasa geli menginjak rumput hijau subur. Tak lama kemudian, tangannya sudah sibuk memetik cabai rawit, dan sawi hijau. Dia sudah tahu menu apa yang akan dibuatnya untuk acara kumpul siang ini. Tak perlu menu berat, bahkan kumpul dan makan bersama sudah sangat spesial hingga tak lagi menghiraukan apa menunya.
Diambilnya panci ukuran terbesar, lalu di isinya dengan air, tak lupa diletakkanya diatas kompor yang menyala. Sambil tersenyu, dipotongnya sawi hijau setelah dicuci bersih, lalu diirisnya cabai rawit yang kemudian ditaruhnya dalam mangkok kecil yang cantik. Nazla membuka pintu rak tempat Nenek biasa menaruh mie instant. Dia tersenyum melihat beberapa bungkus mie kuah soto, masih ada yang belum dijumpainya tetapi dia yakin Nenek pasti punya.
Ternyata benda yang dicarinya itu ada di atas meja kecil, bersanding dengan toples gula dan kopi juga teh celup. Itulah yang ia cari, toples bawang goreng yang selalu ada di dapur nenek. Ini adalah penyedap masakan yang wajib hukumnya, ilmu ini diwariskan dari mertuanya sejak dia pertama kali masuk sebagai menantu di rumah ini. Rimba, sang suami sangat suka dengan bawang goreng. Masakan apapun harus disajikan dengan bawang goreng.
Awalnya, Nazla sangat membenci aroma bawang, tetapi demi sang suami dia rela mengupas bawang, lalu mengirisnya tipis dan menggorengnya hingga itu menjadi kebiasaan.
Suara derap langkah menuju dapur terdengar di telinganya. Sebelum melihat sosok yang datangpun, Nazla tahu itu langkah tegap siapa. Wanita itu tersenyum sekilas saat memikirkan si pemilik langkah cepat ini.
"Haaiii, Bunda sayang, apa yang bisa aku bantu?" sapa Naraya manja sambil mengecup pipi kakak iparnya.
"Tolong aturkan mangkuk saja di meja luar, sendok dan garpu ada di lemari, ya. Kita makan mie rebus aja siang ini," sahut Nazla.
"Bunda sudah lihat meja karya Opung? Bagus, lho!" Suara Naraya yang menyiratkan kekaguman.
"Belum liat, tadi langsung beresin kamar terus ke dapur," kata Nazla.
"Kita makan di meja baru aja ya, biar asik di bawah pohon.” Naraya meminta persetujuan iparnya.
"Iyalah, sambil syukuran meja makan baru, hahahaha," balas Nazla tertawa gembira.
Suasana riuh dan hangat di dapur bisa mengalahkan suasana di ruang keluarga. Nenek yang masih bermanja dengan Rimba, Opung yang sibuk dengan kedua cucunya seperti berlomba untuk mengisi setiap jiwa mereka.
Dari jauh Nazla melihat itu semua sambil tersenyum dan bergumam, "mungkin kita harus lebih sering pulang menengok mereka, kasihan mereka kesepian.”
"Iya, Bun. Aku baru sadar Ibu tampak jauh lebih kurus. Padahal cuma sakit seminggu, untung Bapak bisa merawat, ya," balas Naraya.
"Besok antar aku belanja ya, kita naik motor Bapak aja. Kita penuhi isi lemari dan kulkas Ibu," ajak Nazla disambut anggukan tanda setuju dari Naraya.
***
Aroma mie kuah memenuhi ruangan, sang koki membawa panci menuju ruang keluarga.
"Saatnya makan siang! Eiittss, tapi kali ini cuma mie kuah dan teh tawar hangat menunya. Soalnya persediaan dapur umum terbatas. Ayoo, kita ke halaman samping!" ajak Nazla pada yang lainnya.
"Kok di halaman? Di sana masih kotor, Nenek belum sempat menyapu halaman. Di sini saja yang bersih," sahut Nenek spontan.
"Sudahlah, kita ikuti apa mau anak-anak," sahut Opung sambil menggandeng kedua cucunya yang masih bersorak gembira.
Rimba dengan sigap memaapah ibunya menuju halaman samping. Semua sudah rapi tak ada kotoran yang dibayangkan Nenek. Wanita paruh baya itu bahkan terkejut melihat meja panjang dengan kursi panjang yang terbuat dari kayu. Meja itu tampak manis di matanya dengan Naraya yang sudah lebih dulu disana sedang menyiapkan nampan teh tawar.
"Ya ampun, siapa yang membuat meja itu? Cantik sekali," ungkap Nenek yang terkejut.
"Siapa lagi? Akulah, si Batak pelit," sahut Opung sambil tersenyum.
"Indahnya, Bang … Kapan kau buat?" Nenek tetap takjub dan tak percaya.
"Itu hadiah untuk kau, agar mimpimu terwujud nyata. Sekarang sehat kau, ya. Aku tak mau kau sakit terus," ucap Opung yang disambut tepuk tangan dari anak cucu.
Benar saja, suasana ini bagai perwujudan mimpi Nenek. Berkumpul untuk makan bersama dengan keluarga utuh dengan tawa dan riuh di sana. Opung tak berhenti bercerita tentang semua pohon yang ada di kebun. Nenek juga tak kalah seru saat bercerita tentang pohon Alpukat yang ditebang Opung. Sudah puluhan kali cerita itu diulang tetapi mereka tak pernah bosan mendengar, mereka sudah hafal kalimat apa yang akan diucapkan Opung sebagai pembelaan diri, tetapi semua bagai dongeng bahagia.
Ada episode rebutan cabai rawit antara Rimba dan Naraya yang selalu menjadi drama lucu. Karena Rimba tak akan pernah mau mengalah kalau soal urusan cabai rawit, mengingat itu Nenek selalu rajin menanam pohon cabai yang selalu tumbuh subur. Mie rebus sepanci besar itu habis secepat kilat, dengan sigap Nazla dan Naraya membersihkan meja sedangkan yang lain masih betah berlama-lama ngobrol disana.
Bruukk!
Semua kaget mendengar benda jatuh. Spontan menoleh pada arah suara, yang ternyata bersumber dari bagian tengah pojok sepertinya dari bawah pohon Rimba yaitu pohon durian bangkok yang ditaman Nenek sebagai hadiah saat ia mengandung Rimba, anak pertamanya.
Rimba berjalan menuju lokasi suara. Dicarinya dibawah semak-semak pohon pandan yang tumbuh di bawahnya ternyata ada durian jatuh. Masih tak yakin, Rimba mendongakkan kepala keatas maka yakinlah ia itu buah durian yang jatuh karena di atas tampak beberapa buah durian yang besar.
"Ada durian jatuh!" teriak Rimba.
"Asiiiiik, kita makan durian!" sorak anak-anak gembira.
Ditentengnya durian itu, aroma harum khas durian menyebar seantero halaman.
"Ini namanya mendapat durian runtuh," kata Opung yang disambut tawa semua orang.
Ada tangan yang mendekap dari belakang, Opung tahu tangan itu milik siapa. Tangan yang dulu kecil selalu manja menariknya ke warung untuk membeli es krim, tangan yang memijatnya bila dia merasa pegal walau ia tahu itu demi upah yang diimingkannya. Sekarang gadis keclnya itu telah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.
"Terima kasih Opung, sudah merawat ibu, sudah membuat meja cinta untuk kita berkumpul," bisik Naraya pada telinga Opung.
Anggukan kepala Opung adalah jawaban dari bisikannya. Ada air mata bahagia yang keluar dari mata lelaki tua itu. Teringat bagaimana dia mengawasi tukang untuk membuat meja dalam sehari, sedangkan hari berikutnya dia sendiri yang mengecat meja kursi hingga kelelahan. Bahkan dia menyuruh tukang untuk kembali esok harinya, membersihkan kebun agar tampak rapi. Opung juga nekat menelpon semua anaknya untuk mengabarkan mereka kondisi Nenek yang sakit dan ingin mereka semua berkumpul bersama.
Dalam hatinya, lelaki paruh baya itu bersyukur memiliki keluarga yang saling mementingkan kebersamaan. Opung bahagia, keluarganya adalah yang paling berarti baginya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.