Dudi De Koning

Latihan menulis dengan kata-kata random. Kata-kata ini diberikan oleh anakku dari hasil permainan tebak gambar.
 Anak-anak, aneka, garis miring, sekelompok, makanan, membawa, sumber daya.

Dudi De Koning

 

Dudi pulang dengan luka luka lagi.
“Berantem lagi kamu ya?” tanyaku.
Dudi menunduk, disekanya hidungnya yang meleleh, pipinya basah.
“Nenek udah bilang, jangan berantem terus!” kataku sambil mengobati luka-lukanya.
“Mereka yang mulai Nek, aku dikeroyok!” kata Dudi.
“Memangnya kamu salah apa, sampai dikeroyok begitu?” tanyaku.
“Dudi dipanggil Dudi kuning lagi Nek. Dudi bilang Nama De Koning itu nama bangsawan Belanda, Dudi keturunan bangsawan!” kata Dudi.
“Trus mereka bilang, gembel ngaku bangsawan, Kulit Item ngaku Belanda!” kata Dudi.
“Dudi kan nggak bohong Nek, emang kita keturunan bangsawan Belanda kan?” tanya Dudi.
Aku mengelus kepalanya. Kubaringkan Dudi di kasur tua yang tipis.
“Bener Dudi, kita memang keturunan bangsawan Belanda. Tapi Dudi nggak usah bilang bilang. Mereka nggak bakal percaya. Nanti Dudi dikeroyok lagi.” kataku.
“Kalo Bapak masih hidup, pasti bapak belain Dudi Nek!” katanya.
“Sudahlah Dudi, tidak perlu kau sesali lagi kepergian bapakmu.” kataku

“Nih makan dulu!” Aku MEMBAWA MAKANAN seadanya.
“Kok Tempe lagi nek?’ tanya Dudi.
“Dudi kangen semur daging Mama.” katanya.
“Maafin Nenek ya Dudi, Nenek belum punya duit.” kataku.
“Ea,,,Ea…Ea….!”, terdengar tangisan cucuku yang masih bayi. 
Aku segera menggendongnya dan memberikannya air tajin.
Aku tidak sanggup membeli susu, hanya air tajin yang bisa kuberikan.
“Gara gara kamu, mama jadi mati!” kata Dudi pada bayi itu.
“Eh Dudi jangan nakal begitu, kasihan adiknya. Dia kan nggak tau apa apa!” kataku.
“Kak Leila belum pulang ngamen Nek?” tanya Dudi sambil mengunyah nasi dan tempenya.
“Belum.” jawabku.
“Kapan kita bisa balik sekolah lagi Nek?” tanya Dudi.
“Sabar Dudi, berdoa aja ya,  biar kalian bisa cepat sekolah lagi.”kataku.
Ayah mereka menjadi korban tabrak lari 2 tahun lalu.
Ibu mereka meninggal saat melahirkan cucu terakhirku.


“Kok lama amat sih belum selesai juga bajunya?” kata bu Atik tetangga kami.
“Maaf bu, maklumlah jahit pake tangan, engga punya mesin.” kataku.
“Tinggal seminggu lagi saudara saya kawinan nih, ntar saya mau pake baju apa kalo belom kelar juga!” kata bu Atik.
“Iya nanti pasti selesai sebelum nikahannya, saya jamin bu.” kataku.
“Dua minggu lalu katanya selesai cuma seminggu. Sekarang belom selesai. Janji janji doang!”
“Harusnya gua kasih ke Susi Tailor aja tuh, pasti udah selesai sekarang. Gua cuma kasihan sama elo, biar kasih rejeki ke tetangga. Taunya melunjak!” bu Atik marah.
Aku memasukkan benang ke jarum, tapi susah karena mataku mulai rabun.
“Masukin benang aja nggak bisa, mau jadi tukang jahit!” kata bu Atik.

 

Malam ini semua ketiga cucuku sudah tidur. Aku meraih kotak kaleng simpananku.
Di kaleng itu kusimpan foto foto kenangan.
Kulihat sebuah foto hitam putih.

Foto Cornelius De Koning, bangsawan Belanda yang datang ke Indonesia seabad lalu.
Orangtua Cornelius membawa Cornelius ke Indonesia saat Cornelius masih kecil. Pindah karena tergiur dengan kekayaaan SUMBER DAYA alam Indonesia. Ayahnya memiliki jabatan penting di Indonesia. Mereka memiliki tanah perkebunan yang sangat luas di sini.
Setelah selesai masa jabatannya, orang tua Cornelius kembali ke Belanda. Cornelius yang sudah terlanjur cinta Indonesia memilih untuk menetap di sini. Orangtuanya menikahkan Cornelius dengan seorang gadis Belanda. Namun gadis itu tidak betah di Indonesia dan kembali ke Belanda bersama anak mereka. Cornelius kemudian tinggal bersama dengan gadis Indonesia. Seorang Nyai, Mamaku.
Mamaku memiliki dua anak dari Cornelius. Aku dan kakak laki-lakiku.
Puluhan tahun mereka hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.
Impian Mamaku adalah resmi dinikahi dan menyandang nama keluarga De Koning.
Sampai akhirnya istri pertama Cornelius de Koning meninggal di Belanda. Cornelius akhirnya bisa menikahi Mamaku. Dan Mamaku resmi menyandang nama Keluarga De Koning.
Pada saat penjajahan Jepang, Cornelius kehilangan banyak tanah dan hartanya, hingga jatuh sakit parah bertahun-tahun. Sedikit harta yang tersisa digunakan untuk biaya dokter dan hidup sehari-hari keluarga kami. Hingga akhirnya Cornelius meninggal.
Aku harus berhenti kuliah karena Mama tidak mampu lagi membiayaiku.
Kakak laki lakiku meninggal ditembak tentara Jepang.
Hingga mamaku stress berat.

Aku bertemu dengan almarhum suamiku Bang Sabeni Sueb saat masih bersekolah. 
Orang tua Bang Sabeni memiliki banyak tanah di Betawi.
Keluarganya cukup berada, dibandingkan keluarga kami yang sudah jatuh miskin.
Namun Mamaku tidak memandang mereka, Mamaku menilai keluarganya kampungan.
Bang Sabeni banyak membantu perekonomian keluarga kami. Sampai akhirnya Mamaku luluh dan  memperbolehkan kami menikah.


Saat aku menikah, Mama menyuruhku untuk tidak menggunakan nama keluarga suamiku, tapi tetap menggunakan nama De Koning.
“ Jangan pakai nama Sueb, Pertahankan Nama De Koning!” kata Mamaku. Untunglah saat itu suamiku sabar dan tidak keberatan.
Bahkan setelah anakku lahir, Mamaku juga meminta kami menggunakan nama De Koning untuk anakku.
Menjadi Jaya de Koning, bukan Jaya Sueb.
Aku mengerti karena Mama sudah susah payah berjuang untuk nama keluarga Papaku.
Bang Sabeni setuju saja, walaupun mertuaku marah.
“Ah Sok belanda Mamanya, Padahal cuma bekas Nyai, simpenan Kumpeni!” sindir ibu Mertuaku.
Saat itu aku masih muda, dan wajah blasteranku membuat Bang Sabeni tergila-gila.
Dia rela melakukan apa saja demi restu dari Mamaku.
Mertuaku tidak menyukaiku. Mereka tidak ingin punya menantu blasteran Belanda.
Sebab banyak sanak saudara mereka yang meninggal di tangan Belanda.
Orangtua Bang Sabeni selalu berusaha menikahkan dia dengan wanita lain.
Awalnya bang Sabeni selalu menolak.
Mamaku meninggal di saat aku baru melahirkan.  
Kesedihan karena kepergian Mamaku dan kerepotan mengurus bayi, membuat tubuhku mulai membesar.  
Bang Sabeni akhirnya menerima anjuran orang-tuanya untuk menikah lagi.
Beberapa tahun berikutnya dia menikah lagi dan lagi. Hingga akhirnya aku memiliki 3 orang madu.

Anakku hanya satu, Jaya De Koning. Tapi Bang Sabeni memiliki 13 anak dari 4 istri.
Orang tua Bang Sabeni yang juga  poligami, memiliki 25 orang anak dari 4 istri. Dan 250 cucu. Harta mereka yang berlimpah pelan pelan semakin berkurang, karena harus dibagi sekian banyak orang.

Ketika Bang Sabeni meninggal, Istri-istrinya berebut harta peninggalannya.
Karena Aku bukan menantu yang disukai mertuaku, walaupun aku istri pertama. Aku hanya mendapatkan sedikit saja dari mertuaku yang membagikan warisan peninggalan suamiku.
Hanya cukup untuk membiayai anakku Jaya sekolah hingga SMA.
Jaya harus membiayai kuliahnya sendiri sambil bekerja.
Sayangnya Jaya harus berhenti kuliah karena pacarnya hamil.
Dari mahasiswa kedokteran, Jaya harus banting setir menjadi sales obat.

 

Dua tahun lalu Jaya jadi korban tabrak lari.
Istrinya yang saat itu sedang hamil, segera menyusul, meninggal saat melahirkan.
Jadilah aku yang harus mengurus semua cucuku yang masih kecil-kecil.

Umurku 83 tahun. Sudah tidak kuat bekerja lagi. Cuma bisa mengambil jahitan seadanya.

Leila yang sudah berumur 13 tahun membantuku bekerja menjadi pengamen.
Tapi Dudi masih 8 tahun, masih terlalu kecil untuk bekerja.
“Dudi bisa jadi pengemis Nek!’ kata Dudi.
“Jangan Dudi, nenek nggak mau kamu jadi pengemis. Kita harus kerja halal, jangan mengemis!” kataku.
Setelah anak dan menantuku meninggal, Cucu cucuku terpaksa berhenti sekolah.
Aku terpaksa harus pindah ke tempat kontrakan kecil di gang sempit yang kumuh.
Tidak ada kamar mandi di sini, kita harus ke kamar mandi umum.
Hanya ada ruang tamu yang bercampur dengan dapur dan 1 kamar tidur.
Kami semua tidur sekamar, di lantai beralas kasur tipis.

Aku ingat rumah masa kecilku ketika Papaku Cornelius De Koning masih hidup.
Rumah kami sangat luas. Kamar mandinya pun jauh lebih luas dari rumah kontrakan kami saat ini. Lantai marmer di rumah Papaku sangat kontras dengan lantai semen di sini.
Kuingat saat aku bermain ayunan di kebun rumah Papaku yang sangat luas, penuh pohon-pohon tua, pohon buah-buahan dan ANEKA bunga.
“Ea, ea , ea…..”
Tiba tiba kudengar tangis cucu bungsuku yang masih bayi.
Aku segera memberikannya air tajin.
“Maafin nenek ya, nenek nggak bisa beli susu.” kataku.

Sinar matahari sudah terang. Di luar SEKELOMPOK ANAK-ANAK sudah berisik, sibuk berangkat sekolah.
Dudi memperhatikan kawan-kawannya dari balik jendela.
Aku mengerti keinginannya untuk segera sekolah lagi seperti teman temannya.

“Dudi, Dudi Kuning, Belanda Item!’ Ejek temannya, yang rupanya melihat Dudi dari balik jendela.

“Kapan loe sekolah lagi Dud?” tanya temannya yang lain.
“Dia bangsawan, engga usah sekolah, banyak hartanye!” ejek anak yang lain.
Diiringi tawa mereka.
Dudi kesal, mengacungkan kepalan tangan pada mereka, dan ingin keluar berkelahi dengan mereka.
“Dudi, jangan keluar, jangan diladenin!” seruku.
“Awas ada kumpeni dateng!” teriak anak-anak diluar sambil tertawa.
“Dudi, dudi, dudi de Kuning!” mereka menyanyikan lagu mengejek Dudi.
“Ea, ea, ea….” cucu bayiku menangis lagi. Mungkin masih lapar karena air tajin belum memenuhi kebutuhan gizinya.
Diam diam aku menangis juga.

Leila baru selesai memasak sarapan pagi dan bersiap-siap akan berangkat mandi di kamar mandi umum.
“Nek, baju Leila yang garis GARIS MIRING mana Nek?” tanya Leila.
“Aduh belum sempat nenek cuci, nenek lupa, abis sibuk ngurusin jahitan baju buat bu Atik!, maafin nenek ya.” kataku.
“Yah, gimana nih, baju Leila yang bagus cuma itu doang, nanti Leila ngamen pake baju apa?” kata Leila.

“Nanti nenek jahitin baju baru ya Leila, kalau nenek sudah sempat.” janjiku.
“Nenek udah janji mau bikin baju baru dari tahun lalu!” kata Leila.

Aku teringat saat aku seusia Leila, bajuku banyak sekali. Gaun gaun cantik ala nona belanda.
Ada beberapa lemari khusus untuk menyimpan gaun gaun itu. Kamar besar khusus untuk menyimpan pakaianku, terpisah dari kamar tidurku yang lebih besar lagi.
Aku teringat rumah megah masa kecilku.
Tapi saat ini tidak ada satupun harta yang tersisa.
Hanya nama megah De Koning yang bisa kuwariskan pada cucuku.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.