Bertemu Sunyi di Pasar
Namaku Sunyi. Lebih dari sepuluh tahun ini aku memilih hidup dalam kepura-puraan dan pura-pura hidup. Kini aku ingin mengakhiri semuanya dengan bercerita. Hanya saja, aku lupa cara bercerita dengan jujur.

Aku memilah-milah tumpukan pakaian yang hendak kucuci. Warna putih dan berwarna selain putih. Kupisahkan pula jenis berbahan lembut seperti underwear. Sedangkan seprai, sarung bantal dan handuk kujadikan satu. Sabtu pagi adalah jadwal mingguan mengganti seprai dan mencuci handuk.
Aku mencuci di ruang laundry dalam diam. Hampir sebelas tahun terakhir ini aku tak pernah bersuara dan bicara dengan siapa pun. Sejak kecelakaan itu. Orang-orang bahkan mempercayai bahwa pendengaranku juga rusak. Sebenarnya, pendengaranku hanya berkurang setengahnya. Aku membiarkan orang-orang percaya pada hal-hal yang ingin dipercayainya.
"Hanna?" sapa seseorang yang tiba-tiba saja ada di sebelahku. Aku terkesiap, wajahku bagai diguyur air es.
Aku sedang berbelanja di pasar. Tas belanjaku sudah penuh, tinggal membeli buah. Pedagang buah langgananku tidak buka, jadi aku membeli salak dan jambu biji di ujung pasar. Harusnya aku tak berbelanja di sana. Terlalu dekat dengan stasiun kereta dan deretan hotel.
"Hanna?" ujar seorang perempuan seumuranku itu mengulangi pertanyaannya. Pertanyaan yang tak perlu kujawab. Ia, Sofia, adalah sahabatku sejak kecil. Ia mengenal diriku sebaik aku mengenalnya.
Aku menggunakan bahasa isyarat, bahwa aku tidak bisa bicara. Bahwa aku bukan Hanna yang ia sangka. Sebelum aku meneruskan, Sofia memegang kedua tanganku, dan menarikku ke pelukannya yang erat. Tubuhku kaku meskipun kubiarkan dia memelukku.
"Aku bersama rombongan kantor kita. Masih dua hari aku di kota ini." Tak berkedip Sofia menatap kedua mataku. Ia mencari kepastian di sana. Sebuah pegangan untuk dirinya. Ia membuka tas yang tergantung di pundaknya, mencari-cari sesuatu. "Hubungi aku, ya?" desaknya sambil menjejalkan sebuah kartu ke genggamanku.
Dengan langkah pendek dan bergegas, aku meninggalkan Sofia yang masih berdiri mematung. Kepalaku berdenyut-denyut hendak meledak. Hatiku terasa lemas dan lelah. Namun aku tidak bisa menyerah. Tidak sekarang. (rase)
-bersambung-
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.