"Life is a dance. You learn as you go..."

Violine2017

Dulu, sewaktu berusia delapan tahun, aku pernah bercita- cita jadi ballerina. Pertama kali melihat figur penarinya adalah melalui televisi, acara Dunia Dalam Berita TVRI, tahun 1984. Sebuah tayangan singkat tentang pertunjukan Swan Lake. Selama beberapa menit, kedua mata ini terpaku menatap layar kaca.

Belasan sosok perempuan memasuki panggung dari sudut kanan diiringi alunan orkestra. Mereka mengenakan rok tutu berwarna putih, kontras dengan latar belakang yang gelap. Rambut dicepol rapi, mempertegas garis leher. Kaki- kaki lenjang berjinjit. Membuka, menutup, menekuk lutut, lalu membentuk formasi dua baris panjang.

Musik melambat. Lampu sorot beralih ke sudut menyinari satu ballerina. Ia terlihat lebih tinggi dibanding teman- temannya. Bajunya juga berbeda. Bagian torso dipenuhi manik- manik, dipadu rok tipis sepanjang lutut. Sebuah hiasan rambut tersemat dekat telinga. Berkilau di bawah cahaya lampu. Bentuknya menyerupai sebelah sayap kecil warna putih mengilat. Inilah si Ratu Angsa.

Ia melompat ringan ke tengah. Melayang sesaat sebelum mendarat anggun. Kemudian berputar, bertumpu hanya pada ujung kaki yang melancip seperti pensil baru diserut. Sebagai penutup, ia menjura ke arah kamera dengan kedua tangan terentang ke belakang, bergerak gemulai seolah kepak sayap angsa. Lampu meredup, seiring menghilangnya para penari ke balik tirai.

Aku terkesima, dan seketika memutuskan hendak jadi seperti mereka. Tentu Mama merestui. Anak perempuannya yang suka kelahi, gemar memanjat pohon dan balap sepeda, tetiba ingin jadi ratu angsa. Elegan, katanya. Aku mengangguk meski tak paham.  

Lalu, aku, yang saat itu tinggal di Ujung Pandang, mulai belajar balet. Jadual latihannya tiga kali seminggu. Sejak hari pertama, langsung jatuh cinta pada suasana studio. Sebuah ruangan dengan empat sisi tembok tertutup cermin. Menghadirkan ilusi berlapis. Kubayangkan masuk ke dalam kotak musik raksasa, dan kami adalah bonekanya.

Pelatihku bernama Ibu Lucia. Dia lulusan institut seni di Amerika. Begitulah menurut piagam yang terpampang di dinding. Katanya, aku berbakat. Lentur dan punya ritme. Entah apa yang ia maksud. Yang pasti, begitu alunan musik menyentuh gendang telinga maka setiap sel tubuh langsung merespon.

Kaki, punggung, leher dan kepala menegak. Dada membusung, dagu sedikit terangkat, tatapan lurus ke depan. Pinggang dan bahu segaris vertikal. Satu kaki maju ke depan, tumit dirapatkan ke ujung jempol kaki lainnya. Posisi lima. Tangan kiri pada barre atau palang kayu, dan tangan kanan terjulur luwes ke atas. Sambil menghitung ketukan dalam hati, aku beserta murid lain, mengayunkan kaki serempak. Setinggi mungkin ke depan, ke samping atau ke belakang. Dalam istilah balet disebut grande battement. Ini adalah gerakan yang harus selalu dilatih berulang- ulang sejak tahap pemula hingga profesional sekalipun.

Berdiri di tengah ruangan, Ibu Lucia bertepuk sebagai isyarat ganti gerakan atau merubah formasi. Sesekali ia berteriak: Plié! Maka kami akan menekuk kedua lutut. Pointe! Yang berarti berdiri di ujung jari kaki. Pas de chat, langkah kucing. Pirouette, berputar. Sauté, glissade, soubresaut, penché dan banyak lagi istilahnya. Aku menari, menari dan menari bagaikan esok tiada hari. Salto, split atau berdiri di ujung jempol kaki? Itu hal kecil. 

Naik kelas lima, kutinggalkan Kota para Daeng dan pindah ke Tangerang. Bu Lucia berharap agar aku terus menari. Dia merekomendasikan beberapa sekolah balet di Ibu Kota. Pada sesi latihan terakhir, perempuan yang menempaku keras itu berkata, “di sana, kesempatan jadi ballerina terbentang luas karena banyak guru- guru hebat”. Ia memeluk, mencium pipi, kemudian mendoakan, “best of luck, my dear."

Ternyata peluk ciumnya sekaligus tanda perpisahanku dengan dunia balet. Lokasi studio terlalu jauh dari Tangerang yang kala itu masih sepi. Tetanggaku adalah kebun rambutan, beberapa batang pohon kecapi dan lahan kosong milik Pak Lurah. Transportasi publik terbatas. Jangankan taksi, angkutan umum pun hanya sesekali lewat. Sulit bepergian tanpa antar- jemput. Apalagi aku tinggal dengan Nenek, sementara Mama masih di Ujung Pandang menemani Papa menyelesaikan masa lima bulan kerja yang tersisa. Nenek tidak hapal jalanan Ibu Kota. Lagipula, ia selalu berkain. Tidak mungkin mengajaknya berlari mengejar bus. Nanti keserimpet. Jadi terpaksa kugantung sepatu balet dan membuang jauh impian. Meski begitu, aku masih sering menari sesuka hati.

Tahun 1987, Papa mendapat pekerjaan di Kota Pahlawan. Rumah yang kami tempati memiliki ruang keluarga luas. Papa sering mengajak Mama berdansa di situ. Mereka berpelukan dan bergerak perlahan dalam iringan musik lawas. Di akhir lagu, Papa mencium Mama.

Aku dan kedua saudara perempuanku adalah penonton yang baik. Kami duduk manis, kemudian bertepuk tangan sambil cekikikan. Di mataku, tiada hal lebih indah selain melihat pancaran cinta sepasang mahluk mulia di hadapanku. 

Beranjak dewasa, aku mengangankan sosok pendamping yang bisa membuatku merasa istimewa. Dan ketika bertemu dengannya, aku tahu telah menemukan pria yang tepat. Ia melamar di hari ulang tahun ke tigapuluh satu. Kami menikah dan berdansa mengikuti naik turun irama kehidupan. 

Namun, memasuki sepuluh tahun enam bulan usia pernikahan, semua terhenti begitu saja. Dia pergi meninggalkan aku. Jauh. Tak terukur jarak, ruang, waktu dan dimensi. Membawa semua mimpi indah kami ke langit. Musik masih mengalun, tetapi kini aku menari sendiri… 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.