NOAM
Noam Bagian 8: Dia Datang!
![NOAM](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_67af47f6a00b0.jpg)
Turun dari bus, ternyata hari mendung sudah berubah menjadi sore yang cerah di kota London. Aku melangkah cepat melawan angin yang masih cukup kencang.
Wah, sudah lama juga gak masuk ke toko musik ini, pikirku sambil membuka pintunya … seru juga rasanya. Aku langsung menyisir tempat itu. Memang beda rasanya memegang vinyl di tangan dibanding CD, ada semacam euforia tersendiri!
Aku sibuk mencari-cari sesuatu yang aku sendiri belum putuskan. Tiba-tiba ada suara familiar menyapaku dari belakang.
“Noam? … Hey mate! What brings you here?”
Aku menengok ke belakang. “Hey Simon! You alright, mate?” Kebetulan nih ketemu Simon.
“Fine. Ke mana aja sih? Jarang kelihatan,” tanya Simon, bukan sekadar basa-basi.
“Ah, aku … aku … lagi sedikit kacau nih, jawabku sambil berbalik menghadapnya. “Dan kadang sibuk dengan pekerjaan di fakultasku.”
Simon hanya mengangguk, aku pun langsung beralih pembahasan.
“Hey Simon, aku ditawari mengisi acara 80’s Post-Punk Dance Night. Ayo, kita berdua yuk mengisi, aku perlu pemain kibor nih.”
“Kaya musik electro ya? Wah, kita khan gak pernah main musik kaya gitu,” tanggap Simon.
“Belajarlah. Kita ulik lagi jadi versi kita sendiri. What do you say, mate?” aku, berusaha menyakinkan Simon. “Makanya aku lagi cari nih vinyl lagu-lagu era itu, biar dapat vibes-nya.”
“Hmmm, cukup gak waktunya? Kapan gignya?” tanya Simon yang tampak mulai teryakinkan.
“Masih dua minggu lagi kok. Ayo, kita cari lagu-lagunya yuk,” ajakku lagi. “Mana yang kira-kira bisa kita bawakan.”
“Okelah,” jawab Simon.
***
Kami berhasil mendapatkan beberapa single yang kami kira cocok untuk dibawakan pada gig mendatang. Tadinya kami mau langsung pergi ke apartemen Simon untuk mulai mengulik-ulik lagu. Namun, rintik-rintik hujan menyambut kami ketika keluar dari toko.
“Kita ke bar di seberang aja dululah,” usul Simon.
“Ayolah.” Sudah lama juga gak mampir ke bar kecil itu, boleh jugalah, pikirku.
Lumayan duduk di sini dulu, aku dan Simon bisa ngobrol-ngobrol sambil ngebir dan mulai nyambung lagi.
Sementara hujannya awet, bar kecil ini makin ramai. Bahkan ada beberapa lelaki yang berisik dan mulai rese. Jam segini saja sudah pada mulai mabuk, apalagi tengah malam, pikirku.
Salah satu dari mereka mulai memperhatikanku. Melihat-lihat ke jaketku dan mengatakan sesuatu ke kawan-kawannya. Mereka kemudian menengok ke arahku dan geleng-geleng kepala sembari tertawa. Aku abaikan saja dan terus berbincang dengan Simon.
Mereka, tiga orang lelaki, kemudian menghampiri kami. Aku jadi ingat kenapa aku tak pernah ke bar ini belakangan hari—ya, karena keberadaan orang-orang tukang cari ribut kaya mereka itu.
Lelaki yang pertama melihat-lihat ke jaketku kemudian menunjuk ke bros kecil yang terpasang di jaketku, bros bergambar bendera Palestina. Lara memberikan bros itu kepadaku saat aksi damai, sebelum ia memusuhiku karena aku memutuskan Layla.
“Kamu pendukung teroris ya?” tuduh lelaki bertubuh sedang dan berkulit pucat itu.
Aku mau berdiri dari bangkuku, tetapi Simon menahan pundakku dan berkata, “Abaikan saja dia, Noam.”
“Oooh, jadi namamu Noam ya? Kamu Yahudi ya? Woo hoo, Yahudi pembela Palestina!” ujar lelaki mabuk itu sambil mendorong-dorong dadaku.
Aku pikir Simon benar, untuk apa membalas dengan kelakuan yang sama. “Ya, aku Yahudi dan mendukung Palestina. Saya kira cukup di situ perkenalan kami,” kataku pelan.
Mereka meneriaki dan mengusir kami seperti kami binatang.
Ketika aku hendak berpaling, ia malah menarik kerah jaketku dan mencoba meninjuku. Aku berhasil mencegahnya dengan lenganku dan mendorongnya ke belakang, eh tetapi kedua temannya kemudian menyerangku. Simon berusaha membantuku hingga kami berlima saling bergulat di lantai. Pemilik dan pegawai bar serta seorang pelanggan melerai kami. Mereka meneriaki dan mengusir kami seperti kami binatang.
Lantas aku merasakan seseorang menarik kerahku dari belakang dan mendorong agar aku berjalan keluar—ternyata polisi.
Kami semua diborgol dan dimasukkan ke dalam mobil polisi, tetapi terpisah. Di dalam mobil aku baru sadar kalau ada rasa senyut-senyut pada sebelah kiri wajahku. Aku juga baru melihat darah yang menetes dari bibir Simon.
“Aww mate, I’m so sorry I got you into this,” ucapku kepada Simon. Aku sungguh gak enak.
“Don’t worry, mate,” balas Simon. “Kita beruntung mereka sangat mabuk sehingga tinjuannya lebih sering tidak mengena sasaran, kalau tidak, sudah pasti matilah kita!” kata Simon setengah bergurau, setengah serius.
Pintu mobil tiba-tiba terbuka dan seorang polisi melemparkan tas belanja ke dalam mobil. “Oh no!” aku hampir berteriak ketika melihat apa yang terlempar keluar dari tas itu. Vinyl yang aku beli tampak rusak semua karena tertindih!
***
Setelah pemeriksaan di stasiun polisi, aku dan Simon akhirnya dilepaskan karena kami dinilai tidak mabuk. Namun, polisi menelepon ambulans untuk membawaku ke rumah sakit karena menganggap luka-lukaku perlu diperiksa.
“Noam!” ibuku memanggil lembut namaku.
Aku mengirim pesan kepada keluargaku, menceritakan apa yang terjadi dan berusaha menyakinkan mereka agar tidak khawatir karena aku baik-baik saja. Tak kusangka, sampai di rumah sakit, di ruang tunggu dekat emergency sudah hadir kedua orang tuaku dan kakak perempuanku, Justine. Aduh, jadi gak enak lagi, tengah malam keluarga jadi repot!
“Hati-hatilah, Nak,” kata ayahku, sambil mengusap-usap punggungku dengan wajah yang prihatin, tetapi mengantuk.
“Noam!” ibuku memanggil lembut namaku. Matanya memancarkan kekhawatiran ketika melihat luka-luka di wajahku. Ia memeluk dan menciumku. Aduh, aku jadi terharu!
Sambil mengusap rambutku dan tersenyum, kakakku Justine berucap, “You’ll be fine.”
Aku jadi geli sendiri. Jadi ingat waktu aku kecil kalau habis jatuh main bola, keluargaku akan mengerubungiku, memastikan aku baik-baik saja.
“Hey, apa itu di dalam tasmu?” Justine tiba-tiba bertanya.
“Oh, ini vinyl yang baru kubeli, tapi retak semua gara-gara tertindih ketika berantem tadi,” ceritaku sedih bagai bocah yang mengadu ke kakaknya.
“Sini, biar aku pegang,” kata Justine.
Setelah pemeriksaan, ternyata pihak rumah sakit mengharuskan aku dirawat inap untuk diobservasi, selain menunggu hasil tes. Waduh, sial banget, sudah vinyl-ku rusak gara-gara para pecundang itu, sekarang aku malah harus rawat inap!
***
Mataku masih setengah terpejam ketika pintu kamar terbuka. “Hello Noam.”
Itu Linh, dia bekerja di rumah sakit ini. Ah, senang juga ada orang yang aku kenal di sini.
“How are you feeling?” tanyanya sambil memegang lenganku.
“Okay, I guess. Just a bit dizzy,” jawabku. Aku berusaha tersenyum, tetapi memar di wajahku membuatku sakit. “Kok kamu tahu aku di sini?”
“Ya taulah,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Pintu terbuka lagi. Lara memasuki ruangan. Kaget juga aku. Tumben wajahnya gak jutek memandangku. Mengikutinya dari belakang … LAYLA. Dia datang!
Mataku langsung melek, jantungku berdetak cepat …
“Hi Noam, Linh told us … I hope you’re OK,” ucap Layla seperti biasa-biasa saja, sementara perasaanku bergejolak, mau terus berharap atau menerima kenyataan?
Sekarang, semua itu bagai lembaran usang yang ia tinggalkan.
“Aku kembali kerja dulu ya,” kata Linh sambil menuju pintu. Saat membuka pintu, ia menengok dulu kepadaku dengan senyum yang mengejek ketika Layla mendekatiku.
Aku bisa mencium bau Layla—sweet cherry and white rose. Layla, perempuan yang menulis di buku hariannya kalau ia mencintaiku dan tak akan melepaskanku (yang ia perlihatkan sendiri kepadaku). Sekarang, semua itu bagai lembaran usang yang ia tinggalkan.
Layla lantas bertanya tentang keadaanku … apakah kepalaku sakit, apakah aku merasa mual … blah-blah-blah … seperti peduli amat …. Gak usahlah!—teriak hatiku.
Akhirnya mereka pamit.
“Semoga cepat pulih dan terima kasih ya, Noam,” kata Lara.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk dukungannya terhadap kaum Muslim.”
“Ah, gak perlu terima kasih untuk itu,” tanggapku.
“Cepat pulih ya, Noam,” ucap Layla. Ia membungkuk dan mencium sekejap pipiku. Aku memejamkan mataku sejenak. Hangat bibirnya menembus pori-poriku, menerobos tulang pipiku … menyusup ke dalam retak-retak hatiku.
Kedua perempuan itu kemudian keluar. Aku pejamkan kembali mataku.
***
Ah, senang sekali rasanya pagi ini, setelah dua malam di rumah sakit, bisa duduk di Vauxhall kakakku ini. Hasil tes MRI-ku dan observasiku semuanya aman, aku diperbolehkan pulang. Justine pun datang menjemputku. Cahaya matahari dari kaca mobil yang menerangi rambut pirang sebahu Justine mengingatkanku pada masa beberapa tahun lalu. Masa ketika kami masih sempat jalan-jalan berdua dengan mobil ini.
Saat menurunkan aku di depan apartemen, Justine memberikanku sebuah kotak dalam bungkusan. “Apa ini?” tanyaku agak terkejut. “Buka ajalah nanti,” jawab Justine.
Sampai di dalam apartemen, penasaran, bungkusan itu langsung aku robek. Ternyata isinya vinyl-vinyl yang sama seperti yang aku beli sebelumnya dan kemudian retak. Justine membelikan semuanya yang baru. Ah, terharu jadinya. Kakakku memang menyayangiku!
Tak sabar, aku memasang salah satunya pada meja putar vintage kesayanganku itu. Phew, lirik lagunya pas banget lagi!
For the happy, the sad I don't want to be
Another page in your diary
Perhaps if I held you I could win again
I could take your hands we'd talk and maybe then …*
*Nobody’s Diary (Mark Saunders/Alison Moyet, 1983)
Gambar: Giorgio Trovato (Unsplash)
-Bersambung-
Baca Noam 7
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.