Predator hidup karena kebisuan mangsanya

Pelecehan adalah topik yang tabu, karena kebanyakan dilakukan oleh orang yang dihormati dan terpandang, dan mangsanya kebanyakan adalah dari kalangan tak bersuara

Predator hidup karena kebisuan mangsanya
serigala berbulu domba

Rambutnya disisir belah samping dan agak berminyak. Murah tersenyum dan tampak ramah. Giginya tonggos, jika berbicara cipratan ludah menyertai ucapan yang keluar dari bibir yang terlindung kumis yang agak jarang. Jika berbicara dengannya sebaiknya menjaga jarak jika tidak mau terciprat. Berhubung beliau adalah dosen pembimbing, berarti sebagai mahasiswa kami harus mencari taktik terhindar kecipratan. Tapi yang tidak disangka adalah bukan cipratan ludahnya saja yang perlu dihindari.

Selesai presentasi ke klien, kami keluar dari ruang meeting dengan senyum lebar dan berpelukan gembira. Presentasi berjalan lancar, kami menjadi tim yang solid. Padahal ini adalah presentasi pertama bareng. Semua disetujui klien, jarang terjadi dan kami langsung mengabarkan melalui pager ke kantor. “Presentasi sukses. Klien setuju dengan seri kampanye iklan dan media. Tanpa perubahan. Langsung book Kompas dan RCTI!”.  Saya sebagai account director dan Dena menejer media. Kami berdua lulusan manajemen dari Fakultas Ekonomi, dua orang yang tersesat ke dunia periklanan di antara lulusan lainnya yang kebanyakan bekerja di dunia seberang, di perbankan atau retail. “Gila ya, kita kok bisa bareng terjebak di agensi. Dulu ambil bagian apa?” tanyaku sambil membereskan proyektor dan komputer, maklum masa itu kami masih harus memboyong proyektor dan komputer yang sebesar kambing dan seberat karung beras. “Manajemen pemasaran” jawab Dena. Dena adalah menejer media terbaik di agensiku, orangnya periang, dengan rambut ikal sebahu, berkacamata bundar, kurus, dandanannya asik. Cerdas. Ulet. Nyenengin. “Eeh, sama dong, kita sealmamater. Siapa dosen pembimbingnya?” tanyaku lagi sambil menggulung kabel proyektor yang sepanjang ular naga itu.”Syaiful Ali” jawabnya singkat. Lalu kami saling berpandangan. Keduanya diam. Ada kekagokkan. Mata kami berbicara, tapi yang keluar dari mulutku “Gue ngga suka banget sama orang itu” kataku memecah kekagokkan. “Iya. Sama. Mbak Ati gimana waktu sesi bimbingan dengan Syaiful Ali?” Dena memanggilku mbak karena ia 5 tahun juniorku. Kami diam sambil berpandangan lagi, seakan-akan menunggu siapa yang akan berkata lebih dulu, seperti pengakuan dosa. “Syaiful Ali mencoba-coba…” kalimatku dipotong Dena “Sama mbak, dia mencoba-coba … tapi ngga aku ladenin” katanya dengan ekspresi yang merasa jijik. Dan keluarlah seluruh cerita yang terpendam selama lebih dari enam tahun sepanjang perjalanan kami kembali ke agensi.

 

Aku senang sekali mendapat dosen pembimbing pak Syaiful Ali karena orangnya ramah, murah senyum dan tidak membuat jarak dengan para mahasiswa, dan aku senang mata kuliah dan kelasnya, yang membuatku semakin yakin untuk mengambil jurusan pemasaran bukannya akuntansi atau ekonomi. Waktu mengatur jadwal sesi bimbingan juga sangat fleksibel dan gayanya tidak seangker dosen lainnya. 

 

Siang itu agak panas, dan dengan memakai celana jeans, tidak terlalu membantu mengurangi panasnya hari. Namun pakaian sehari-hariku adalah jeans, kaos t-shirt, dan sepatu karet Puma biru debu dengan garis melintang oranye. Sejak SMP aku dijuluki tomboy oleh teman-teman, setelah beralih dari fans berat Donny Osmond menjadi fans abadi Suzi Quatro. Rambutku pun dipotong dari kepangan sepinggang menjadi sebahu dengan poni disingkap gaya Suzi Q, dan sejak itu koleksi pakaianku adalah celana jeans dan kaos t-shirt. Para teman-teman perempuan seumur sudah mulai berlipstik dan eye shadow, aku tidak punya alat make-up, sisir pun tidak punya. Bawaanku tas selempang seperti tukang pos, kadang-kadang membawa tas kain, dengan tulisan David Bowie. 

Hari itu selain tas selempang, aku membooyong setumpuk buku referensi manajemen pemasaran karena untuk pertama kali akan menghadap dosen pembimbing guna membicarakan bahan skripsi. Mbak yang sedang mengetik di depan ruang dosen menyuruhku masuk ke ruangan pak Syaiful. Setelah mengetuk pintu, aku masuk dan menutup pintu. Aku dipersilakan duduk di kursi tamu. “Jadi sudah pasti ingin membuat skripsi mengenai dampak iklan dalam pemasaran ya?” tanya pak Syaiful diselingi cipratan ludah yang keluar dari antara gigi tonggosnya. “Iya pak.” jawabku sambil membuka lembar catatanku, “Saya sudah menghubungi perusaha..” belum habis perkataanku tiba-tiba tangan pak Syaiful sudah berada di atas pahaku.  Aku tersentak dan reaksiku membuat pak Syaiful menarik tangannya dan meneruskan pembicaraannya seperti tidak ada yang aneh. Suara mesin tik dari luar ruangan terdengar jelas, namun jelas mbak yang mengetik tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan yang tiba-tiba terasa panas ini. Selanjutnya apa yang keluar dari mulut pak Syaiful tidak lagi masuk ke kepalaku, pikiranku berusaha mencari jawaban “Apa yang barusan terjadi? Apa yang harus kulakukan?” Sepertinya reaksi pikiranku memerintahkan seluruh tubuhku menjadi tegang, dan sepertinya pak Syaiful melihat perubahan sikapku yang tadinya ramah menjadi kaku. Sesi tidak berlangsung lama, draf skripsiku disetujui dengan sedikit usulan. Pada saat itu aku sudah tidak memperhatikan lagi apa isi usulannya, konsentrasi bubar. Kemudian sebuah tanggal dituliskan di bawah catatannya, tanggal pertemuan berikut. Saya mengiyakan tanggal tersebut. Secepatnya bisa meninggalkan ruangan itu, lebih baik. 

 

Sepanjang jalan pulang, rasa muak, kecewa, malu, bercampur marah dan takut berkecamuk dengan puluhan pertanyaan pada diri sendiri “Aku tidak mau melihat orang itu lagi, menyebut namanya saja sudah jijik”. “Bagaimana dengan skripsiku?”. “Tidak mungkin untuk mengganti dosen pembimbing”. “Dia adalah dosen senior yang dihormati”. “Perlu saksi. Siapa?”. “Siapa yang akan percaya dengan omongan anak mahasiswa dibanding dosen senior”. “Aku tidak bisa menceritakan hal ini pada teman sesama mahasiswa”. “Aku tidak mau lagi masuk ke dalam ruangan itu hanya berdua dengan orang itu”. Semua ini terus berlangsung, namun hanya di dalam pikiran sendiri.   

 

Setibanya di rumah, kuputuskan untuk menceritakan kejadian ini kepada ibu tetapi tidak kepada ayah. Sore itu, kebetulan Adrian, sahabat dekat kakakku, yang juga seorang yang sangat dewasa pikirannya sedang nongkrong di rumah. Lalu kuceritakan kejadian di ruang dosen siang itu dan dilema yang kuhadapi. Semua marah, dengan kejadian yang memuakkan ini. Namun kami berempat sadar bahwa tanpa saksi, maka kejadian ini tidak ada dasar kekuatannya. Lalu ke luar usulan “Rekam saja”. Mmmm, saya membayangkan menggunakan alat perekam dengan kabel yang melilit di badan ditempel plester, seperti adegan film James Bond dan Mission Impossible. Pada waktu itu belum ada hape ataupun alat perekam kecil. “Ah, bisa pakai Walkman. Ada perekamnya” kataku.  Kuambil Walkman dari kamarku, kucoba merekam dengan walkman abu-abu biruku. Berhasil!. Aku bisa merekam pembicaraan. Hanya, bagaimana caranya? Walkman itu cukup gendut dan menimbulkan suara “cetek” waktu ditekan tombol perekamnya. “Kalau begitu Walkman sudah harus dalam posisi rekam waktu masuk ke ruang dosen” lanjutku. Dan itulah rencana Mission Impossible kami. Setelah beberapa kali uji coba, aku merasa rencana ini bisa berjalan.

Tanggal tentiran kedua semakin dekat, aku semakin gelisah, walau telah berulang kali latihan dengan perekam Walkman, tapi tetap gugup. Hari H tiba, aku sudah menyiapkan revisi skripsi sesuai catatan si kumis. Di dalam tas kain David Bowieku, kuletakkan si Sony Walkman di antara dua buku catatan, agar tidak terlihat lampu perekam menyala nanti. Yang aku khawatirkan adalah jika sesi pertemuan akan lebih dari satu jam, karena panjang pita kaset perekam hanya sepanjang 60 menit. Biasanya pita kaset 90 menit sering kusut di tengah jalan, mungkin karena pita terlalu berat untuk penggulungnya, sehingga aku tidak mau mengambil resiko menggunakan pita rekaman 90 menit C-90. Hatiku berdegup kencang ketika, si mbak pengetik mempersilakanku masuk ruangan pak Syaiful. Degupan  semakin kencang waktu aku duduk di kursi yang telah disediakan. Namun kali ini kuambil posisi duduk ekstra jauh dari sebelumnya. Pak Syaiful sepertinya merasakan kekauan dan jaga jarakku. Kami mulai sesi tentir. Tas David Bowie berisi Walkman, sudah kuposisikan dekat pak Saiful, sehingga segala kejadian bisa terekam. Dan aku akan berbicara, jika ia akan mulai lancang lagi.  Namun pak Syaiful tidak berusaha mengulang apa yang dilakukannya pada tentir pertama. Sesi berlangsung cepat. Dan itu adalah sesi terakhir, setelahnya semua usulan hanya diberikan lewat buku catatan, tanpa temu muka. 

 

Dena menarik nafas di akhir ceritaku. “Berapa mahasiswi ya yang telah dilecehkan pak Saiful?” tanyanya sambil melihat ke luar kaca mobil. Kami berdua melihat ke luar kaca, dari sisi masing-masing. Ada rasa penyesalan yang dalam di hatiku, karena aku tidak pernah berani bersuara, karena tidak ada saksi. Tidak ada bukti. Sehingga hal ini terjadi lagi pada Dena lima tahun kemudian, dan kami yakin masih terus berlanjut, karena Dena pun tidak punya saksi. Tidak ada bukti. Dan pak Saiful pun tetap disegani. 

Di luar kaca mobil, jalanan bertambah macet. Waktu orang pulang kerja. Meninggalkan stres kerja, kembali ke kenyamanan keluarga. Saya bertanya-tanya. Berapa banyak orang yang menggunakan hak kuasanya semena-mena terhadap yang tidak berdaya. Predator hidup karena kebisuan mangsanya. Berapa banyak mangsa di luar sana yang mengubur kisah seperti saya dan Dena. 

 

* nama-nama yang digunakan bukan nama sebenarnya 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.