Kukira Metta Tak Punya Cerita

Kukira Metta Tak Punya Cerita
Image by pixabay.com

Dru terhenyak mendengar cerita Metta.

 

Perempuan di depannya yang tak pernah sekalipun mengeluh perkara rumah tangganya tiba-tiba hadir pagi-pagi buta, menggedor kamar Dru, tanpa basa-basi memeluk Dru dengan erat lalu berteriak histeris.

 

“Hey Met. Ini apa-apaan sih?. Jam lima ya Tuhan Metta kamu habis dari mana?”

 

Metta memilih menarik selimut, menutup wajahnya dengan bantal bekas iler Dru.

 

“Thanks Met, gue shubuh lebih awal dari biasanya.”

 

Sepertinya Metta tidak tidur semalaman, ini bukan kebiasaan Metta. Anak ini kalau tidak terlalu menyakiti hatinya tidak pernah dia ambil pusing.

Semenjak kehilangan kedua orangtuanya, Metta sedikit berbeda. Kalau dikategorikan gila akan terlalu ekstrem, namun jika masuk kategori stress kukira terlalu ringan.

 

Metta bisa saja tiba-tiba terdiam saat sedang asik bercerita banyak, lalu berkaca-kaca kemudian berlari menuju toilet. Atau tiba-tiba browsing tiket perjalanan wisata karena keinginan Metta untuk membawa liburan orang tuanya belum pernah terwujud. Atau tiba-tiba menginap di rumahku, melayani kedua orangtuaku karena menurut Metta banyak hal yang hilang setelah Mama dan Papanya meninggalkan Metta bersamaan.

 

“Ribut lagi sama Rey ya Met?”
“No”

“Rey gak pulang Met?”
“No”

“Dompet tipis?”
“Ih Dru. Masa iya gara-gara dompet tipis aku sampai shubuh begini satronin kamu.”
“Ya apa dong, kan aku bukan cenayang Metta. Masa iya kamu kabur ke sini karena keingat lagi sama mama dan papa.”

 

Metta hanya menatapku dalam. Jujur aku agak khawatir dengan tatapan Metta. Mencoba menebak isi hatinya, tapi sepertinya pagi ini masalah yang dibawa Metta sedikit rumit.

 

“Metta Mutia, kita sudah lama berteman. Aku lebih banyak merepotkan kamu dibandingkan sebaliknya. Akhir-akhir ini kamu terlalu sering menangis Metta. Tapi sampai pagi ini tak ada satu pun cerita yang kamu sampaikan.”
“Kamu tidak perlu tahu Dru. Aku hanya perlu teman saja.”
“Met, kamu sudah bersuami lo. Apa kurang banyak suamimu, sampai kalau bercerita harus sejauh ini Metta?”

 

Metta sedikit tersenyum. Dia bukan orang tertutup. Namun entah kenapa sepanjang pernikahannya tidak pernah ada satu cerita pun yang Metta bagi untuk kami, aku dan Bram. Menurut Metta urusan rumah tangga biar hanya dia dan Rey saja yang tahu.

 

Segelas lungo kusiapakan untuk Metta. Perut dia tidak bisa sarapan selain segelas kopi.

Senyum dan binar mata rasanya enggan menyapa Metta pagi ini.

 

“Met, bangun, cuci muka gih!.”

“Gue jelek ya Dru?”

“Iya lu jelek banget. Jeleeeeek banget. Udah jelek, nyebelin sukanya ngerepotin orang.”
“Dru jahat deh.”

 

Pernikahan Metta bukan umur yang pendek menurutku. Sudah lebih dari sepuluh tahun Metta dan Rey menikah.

Kehadiran dua malaikat kecil seharusnya menjadi pelengkap perjalanan hidup mereka. Namun entah kenapa, Metta seringkali aku dapati sedang bengong, sesekali perhatikan daun yang bergerak dipermainkan angin kemudian Metta akan tersenyum dengan sangat renyah dan berbicara dari hati ke hati dengan barisan daun yang Metta elu elukan.

 

Kutatap Metta dengan penuh kasih. Untuk urusan rumah tangga aku tak berani bertanya lebih dalam, kecuali Metta yang bercerita sendiri.

 

“Kamu berapa hari tidak makan Met?. Tumben roti bakarku kamu babat abis.”
“Iya Dru aku lapar. Uangku menipis, aku hanya bisa siapkan makanan untuk anak-anak saja. Perutku cukup lah dengan dengan segelas air putih dan sisa kopi yang ada di toples plus susu yang kamu belikan untukku tempo hari.”

“Hah? Kamu betul-betul tidak makan Metta? Lantas anak-anak bagaimana kau tinggal mereka di rumah berdua saja?”

“Ya aku kan ga goblok ya Dru. Aku siapkan uang dan makanan di laci kamar mereka. Nanti jam Sembilan mereka dijemput kakak sulungku.”

“Ya Tuhan Metta. Terus menurutmu mereka akan baik-baik saja?”
 

Mata Metta mulai tidak beres.

Ada kegelisahan yang begitu dalam. Kupeluk Metta dengan erat.

 

“Ada gue Met. Sekarang kita jemput anak-anak dulu yuk!”

 

Metta menggeleng. Kuanggukan kepalaku dan lagi-lagi Metta menggeleng dan kali ini disertai dengan setetes air mata.

 

“Aku takut Dru. Mendengar suaranya saja aku takut.”
“Metta, aku belum paham dengan masalahmu, tapi jika kamu saja bisa sangat ketakutan, lantas kamu kenapa seberani ini meninggalkan anak-anak dengan Rey?”

“Rey tidak akan tahu aku pergi Dru. Dia sudah tak pernah menyapa kami.”
“Terus kenapa kamu pergi kalau kamu tidak bertemu dengannya walau di rumah kalian sendiri?”
“Aku takut Dru. Aku takut.”

 

Sepanjang aku mengenal Metta, tak pernah ada sedikitpun ciri atau bekas KDRT di badan Metta. Namun jika keberadaan Rey telah mengganggu jiwa Metta apakah Metta selama ini menutupi dari aku?.

 

Hari ini jadwal aku untuk pesan undangan. Bram telah mengingatkan dari Shubuh bahwa tepat jam sembilan Bram akan jemput aku. Bagaimana aku bisa tenang pilih design undangan jika saat ini ada seorang ibu yang sedang ketakutan, yang sangat butuh pendamping dan perlu untuk aku selamatkan.

 

Ah terlambat. Suara mobil Bram sudah terdengar di depan rumahku.

Apakah ini telingaku yang salah mendengar atau mungkin ada anak-anak yang sedang bermain di depan rumahku?

 

What? Bram dengan anak kecil?

Siapa anak-anak itu?.

 

Kuperhatikan dari jauh. Satu anak perempuan dengan rambut ikal yang diikat cantik dengan pita merah mudanya lalu satu anak laki-laki dengan kaos polo biru tua, bola di tangan kirinya dan tangan kanannya tak berhenti menyeka keringat dari dahinya.

 

Sepertinya aku tak asing dengan anak-anak ini.

 

“Bagaimana ceritanya Bram? Kok bisa anak-anak ini sama kamu?”
“Mba Ellen telpon aku. Aku tidak tahu dari mana Mba Ellen tahu nomor HP ku. Tiba-tiba jam enam tadi pagi aku diberi alamat rumah, kemudian Mba Ellen memintaku untuk jemput anak-anak ini.”

“Lalu diminta untuk antar kesini?”

“Mba Ellen rupanya memang simpan nomorku dan nomormu. Beliau siap-siap jika seandainya ada sesuatu terjadi dengan Metta, tak perlu lagi untuk cari kemana Metta pergi. Karena pasti denganmu Dru.”

 

Ah, bukan saat yang tepat aku tanya kronologis kedatangan anak-anak Metta pada Bram.

Yang sekarang buatku lega adalah anak-anak sudah bersama ibunya.

Tapi kenapa Metta biasa saja, kok dia tidak bahagia.

 

Kudengar suara tangis kecil seorang anak perempuan. Buatku sangat menyayat hati.

Ya Tuhan, mereka berpelukan sangat erat. Ada apa ini sebenarnya. Apa yang harus aku lakukan?.

 

“Mba Ellen tadi bilang. Kalau selama ini Metta sering diperlakukan tidak baik oleh Rey.”
“Lalu..”
“Metta sering mendapatkan kekerasan secara verbal dan itu dilakukan di depan anak-anaknya.”

“Oke, lalu…”
“Bahkan hingga berdampak pada psikologis anaknya yang sulung.”
“Maksudnya?”

“Ini kamu betul-betul tanya sama aku Dru?. Kamu kan sahabat Metta.”
“Metta tidak pernah cerita soal rumah tangganya.”

“Menurut Mba Ellen, akhir-akhir ini Metta sering melamun. Bahkan jika sudah shalat Metta bisa sampai setengah jam terus saja duduk di sajadah, sesekali berdoa, lalu menangis lalu kemudian tertawa dan selalu bilang, Metta kan kuat ya Tuhan, iya iya Metta kuat ko Tuhan. Yeaaaay.”

“Begitu Bram kata Mba Ellen?”

“Iya, selama ini Metta tidak pernah bercerita. Yang cerita itu justru anak-anak Metta.”
“Hah?. Anak-anak?”

“Apa sih Dru dari tadi hah hah aja.”
“Ini tidak bisa dibiarkan. Aku akan buat perhitungan. “
“Perhitungan apa?. Matematika?”
“Jangan bercanda. Aku titip Metta dan anak-anak ya!. Aku mau cari Rey, dia harus bertanggung jawab.”

“Tidak usah Dru. Semua sedang diurus oleh keluarganya.”
“Hah, maksudnya?”
“Rey kecelakaan, meninggal dunia saat dia tahu Metta tidak ada, dia telpon Mba Ellen akan cari Metta dan menyeret Metta hingga minta ampun namun Tuhan tidak ijinkan.”

 

Oh Tuhan...haruskah begini cerita kamu Met?.

 

#Bandung, 20 September 2020

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.