YANG TAK PERNAH USAI

Aku tak ingin hidup, aku ingin mati. Tapi aku takut bunuh diri. Semuanya seperti tampak begitu gelap, begitu legam, begitu kelam. Ketika petang menjelang, aku tahu sunyi pun akan datang menghampiri. Aku benci kesunyian. Tapi kebisingan lebih tampak seperti miniatur neraka. Suara-suara sialan itu seperti berkumpul dan mengadakan lomba tentang siapa yang paling lantang bersuara di dalam kepalaku. Segera kuayunkan kedua tanganku, kuayunkan dengan kuat. Kuhantamkan pada kepalaku, agar setiap suara-suara yang menyiksa itu lenyap.
Tapi sudah kuduga, suara itu tak kunjung pergi, ia justru mengubah pikiranku menjadi sinema yang memutar gambar-gambar hitam-putih bernuansa suram. Fragmen-fragmen memori itu bertabrakan satu sama lain, semasih lamunanku menelan abstraksi masa kini.
Sekilas aku melihatnya, secara samar, ketika dua tangan kuat dan kekar itu mencengkram tangan kecilku dengan mudahnya sampai aku tak berdaya. Tuhan, mengapa aku harus teringat kembali hal yang tak mau kuingat sama sekali. Dan semakin lama ingatan itu terasa semakin nyata, seperti untaian benang kusut yang dirajut satu persatu menjadi selembar kain utuh. Mengapa pula kedua mataku yang kini berair dan berwarna merah ini terus saja terbuka lebar.
Sial, kini aku ingat persis bagaimana peristiwa yang membuatku mati berkali itu terjadi. Aku memulai hari itu seperti hari biasanya, matahari bersinar biasa, aku bangun dari tidurku yang tak begitu nyenyak—bergegas pergi menuju ke sekolah meninggalkan rumah secepat yang kubisa, seperti biasa. Namun pada hari itu, aku merasakan kelelahan yang tak biasa di sekolah. Badanku terasa letih, dan aku mendiagnosa diriku sendiri bahwa aku sedang demam. Tak lama, seorang guru langsung menyuruhku untuk pulang dan beristirahat di rumah.
Aku tak pernah menyukai keberadaanku sendiri saat di rumah. Aku tak pernah bisa merumuskan dengan panjang kali lebar kali tinggi tentang apa itu rumah. Aku tak pernah merasakan rumah sebagai tempat teraman dan ternyaman ketika aku berada di dalamnya. Seingatku rumah adalah tempat di mana ibu kerap kali berteriak dan memukulku. Kedua orangtuaku hanya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kehadiranku hanya membuat mereka pusing kepala, kehadiranku seperti sebuah bencana yang paling disengaja. Bagiku, rumahku seperti medan tempur. Umpatan, teriakan, tangisan, raungan, & semua mimpi buruk lain seakan bersatu-padu mengisi rumahku.
Di kepalaku sudah terpatri bahwa rumah adalah opsi paling terakhir yang ingin kutuju. Aku tak ingin berada di rumah, aku bahkan sudah bisa membayangkan berjuta kata-kata yang tak menyenangkan akan melayang mulus dari mulut ibuku—sudah pasti ia akan memarahiku, menyalahkan segala tindakan bodohku—yang ia duga sebagai sebab paling utama mengapa aku bisa sakit.
Maka lebih baik rasanya jika aku membuka ponselku, dan mengirim pesan kepada temanku yang bersekolah di sekolah lain. Aku berkata bahwa aku demam dan ingin menumpang istirahat di rumahnya. Selang beberapa menit kemudian dia membalas, kebetulan dia sedang bolos dan menyarankanku untuk beristirahat di rumahnya. Aku langsung mengemas barang-barangku, kumasukan semuanya ke dalam tas. Aku bergegas ke sana. Ojek depan sekolah telah menungguku tepat di depan gerbang. Suhu badanku meninggi, dan semakin meninggi ketika matahari bersinar dengan jahanamnya tepat di atas ubun-ubun kepalaku. Kepalaku nyeri dan mataku berkunang-kunang, yang ada di pikiranku hanyalah tentang bagaimana agar aku tak terjatuh dari sepeda motor. Aku ingin segera sampai, agar aku dapat dengan segera merebahkan tubuhku dan beristirahat.
Aku menghela napas dalam-dalam. Akhirnya aku sampai di rumah Teja, temanku ini. Aku langsung membuka sepatu, mengetuk pintu rumahnya, dan memanggil-manggil namanya. Pintu rumahnya terbuka, dan ia menyuruhku untuk masuk. Lantas ia menyuruhku untuk merebahkan tubuhku di kamarnya. Tak lama ia datang dan menyodorkan segelas air putih beserta obat demam.
Aku beranjak dari kursi menuju tempat tidurnya. Aku segera merebahkan badanku di atas kasur yang empuk itu, di sisi ranjang sebelah kanan—yang tentunya bersebrangan dengan Teja yang duduk di sisi ranjang sebelah kiri. Dia seperti asik sendiri dengan ponselnya. Tapi, aku pun sudah sama sekali tak berselera untuk mengobrol. Parasetamol membuat mataku terasa berat, rupanya aku mengantuk, dalam hitungan beberapa detik saja mataku terpejam.
Dalam tidurku, aku merasakan seperti ada sesuatu yang bergerak di sekitar tubuhku, rasanya seperti ada seseorang yang sedang memegang bagian dari tubuhku. Dengan mata setengah terbuka, secara samar aku melihat dua buah tangan sedang berusaha membuka kancing seragam sekolahku. Tangan itu kini sibuk menggerayangi tubuhku. Menelusuri celah, dengan lincah dan lihai seakan-akan tangan itu sedang menari. Aku mengira ini semua hanya mimpi, mimpi buruk. Sampai aku sadar bahwa semua kengerian ini memanglah nyata adanya.
Aku masih tak mengerti apa yang sedang terjadi, tubuhku kaku, aku seakan membeku. Kedua tangan itu berhasil melucuti pakaian dari tubuhku. Tak ada sehelai benang pun yang tersisa untuk menutupi tubuhku. Kini aku telanjang. Sontak tetesan air mata mengalir deras, tubuhku mulai memberontak melawan kenyataan yang ada. Tapi tenaga yang aku keluarkan dari tubuh kecilku tak berdampak apa-apa, tak berguna sama sekali. Baginya, mungkin gerakan penolakan dari tubuhku ini malah membuatnya semakin bergairah. Dengan cepat dan mudah ia menindihku. Kedua tangannya memegang erat tanganku, seperti memaksa diriku untuk diam dan menikmati saja. Sedangkan mulutnya tertuju ke arah bibirku, ia mengejulurkan lidahnya, merangsak masuk secara paksa ke dalam mulutku yang kukunci rapat. Aku hanya bisa menangis getir dan berteriak di dalam hati, ya tuhan apa yang sebenarnya sedang terjadi, tolong aku tuhan, aku mohon.
Laki-laki itu tak peduli dengan air mataku yang sudah menetes membasahi pipi, ia tetap fokus bergerak memaju-mundurkan pinggulnya. Mulutnya kini berada tepat di depan payudaraku, di depan dua gumpalan daging yang nyaris sempurna dengan puting berwarna agak coklat mencuat di atasnya. Aku dapat mendengar jelas bunyi nafasnya, nafasnya yang menderu dengan ganasnya. Ia melahap kedua payudaraku. Tangannya yang coklat dengan cepat menuntun penisnya untuk masuk ke dalam ruang tubuhku, dan dengan sekejap mata penis itu telah sepenuhnya terbenam dalam tubuhku. Tubuhku terasa mati, dan aku tak mengerti mengapa kedua mulutku tiba-tiba kaku. Aku melihat mulutnya menganga, mengeluarkan suara raungan kenikmatan seakan ia menyanyi. Baginya suara tangisku menjadi simfoni yang mengiringi permainannya.
Pikiranku sudah tak karuan. Aku merasa terhina. Ia telah selesai melakukan aksi bejatnya, pergi meniggalkan tubuhku yang tergeletak tak berdaya. Aku hanya bisa menangis, memaki diriku sendiri, meratapi nasibku yang malang. Aku merasa kotor, aku bahkan jijik dengan diriku sendiri. Tubuhku diambil paksa. Aku tersiksa.
Segera aku kenakan kembali pakaianku, menghapus air mataku, mengambil barangku. Aku pulang menuju rumah seakan tak terjadi apa-apa kepada diriku. Aku tak penah berani menceritakan semua pengalaman paling buruk yang dapat dirasakan perempuan ini kepada orangtuaku. Aku takut. Mereka pasti akan mencoret namaku dari kartu keluarga dan mengusirku—jika mereka mengetahui bahwa anak perempuanya telah diperkosa.
Jam dinding menunjukan pukul tiga pagi. Pengalaman buruk itu masih mengendap di dalam alam bawah sadarku. Malam terasa begitu panjang dan melelahkan ketika kepalaku terus saja memutar ingatan buruk itu. Dengan putus asa dan sisa tenaga yang tersisa, aku bangundari tempat tidurku untuk mencari obat tidurku. Kali ini obat kuminum dengan dosis yang berkali-kali lipat. Insomniaku selesai, tetapi ingatan buruk itu seperti menolak pudar. Dan dunia tetap berjalan, seperti biasa.
***
Biodata Penulis:
Salsabila Fitri kerap dipanggil Bila lahir di Jakarta pada 11 Desember 2001, merupakan seorang mahasiswa yang sedang menempuh gelar sarjana dalam bidang sastra yang takut untuk menulis, karena menulis bukan hanya sekedar merangkai sebuah kata menjadi kalimat namun juga dipertanggung jawabkan atas arti dari suatu hal yang ditulis namun realitanya dirinya tetap menulis. Kenali dirinya melalui : Email —[email protected]; instagram— @salsabilft.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.