Sesuatu Yang Bukan Tentang Harta
Dengan menggenggam seekor kelinci hutan yang telah menghembuskan napasnya karena anak panah yang tertancap di samping tubuhnya yang melesat melalui busur dari seorang pengrajin terbaik di Kota, seorang Pemburu dengan tubuh yang besar dan bekas luka di pipi sebelah kanannya berjalan kaki ke arah dermaga di pinggir kota.
Ia membawa buruannya yang sudah ditangkap dan akan dijual kepada kedai Bu Londo milik seorang janda tua di dermaga tersebut. Ia dipanggil sebagai Bu Londo karena ia adalah mantan pelacur dari para Belanda. Kini Bu Londo membuka kedai selama 4 tahun dan rata-rata dari pelanggannya merupakan pedagang, bangsawan, dan pejabat yang singgah di dermaga untuk menikmati tuak dan arak terbaik di Kota sambil menikmati matahari sore di tepi dermaga, karena kedai Bu Londo memiliki jendela yang besar dan melebar, sehingga para pelanggan bisa menikmati pemandangan sore hari itu.
Kini Pemburu tengah berjalan mendekati dermaga yang sudah dipenuhi oleh para kacung-kacung yang sedang mengangkat ranjang dan kasur yang diturunkan dari sebuah perahu berwarna merah seperti darah. Sedangkan para bangsawan Belanda yang tengah baru saja tiba di dermaga, dengan arogannya mengangkat koper kulit miliknya sambil mengangkat dagunya. Kapal tersebut merupakan milik seorang bangsawan yang memproduksi ranjang dan kasur yang terbaik di Eropa, pejabat dan bangsawan tanah air sangat menyukai ranjang dan kasur itu. Rasanya tidur dengan telanjang pun membuat tubuh dan kulit mereka seperti di selimuti dengan kapas halus.
Pemburu tersebut berangan, apabila dia seorang alien sekalipun. Ia akan rela untuk tidak menginvansi bumi demi sebuah ranjang dan kasur yang diproduksi terbaik di seluruh Eropa. Tiba-tiba lamunan Pemburu terbuyarkan karena Pemburu melihat di sebuah papan depan kedai Bu Londo bertuliskan "Bir Kopi". Pemburu tersebut langsung melesat masuk ke dalam kedai Bu Londo sembari membawa buruannya. Terlihat kedai Bu Londo saat ini hanya ada dua orang yang sedang berbincang santai dengan Bu Londo.
"Bu Londo, "Bir Kopi" di depan itu apa?" tanya sang Pemburu
"Oh, baru kemarin ada seorang pemuda menawarkan ke aku minuman yang baru saja dia racik. Namanya memang Bir Kopi namun tidak ada alkoholnya sama sekali"
Sang Pemburu dengan penasaran memesan Bir Kopi tersebut sembari menukarkan hasil buruannya dengan beberapa genggam koin perak. Cukup untuk dia membeli sebotol arak yang lumayan mahal.
Tidak lama, Bu Londo meletakkan Bir Kopi pesanan milik Pemburu tersebut.
"Aku gratiskan minuman ini untukmu. Karena sebetulnya ini juga tidak terlalu diminati dan kau sudah sering ke kedai ku"
Pemburu tersebut mengangguk sambil menyicipi minuman tersebut. Rasa dari minuman itu terasa aneh. Pemburu yang biasanya minum bir dan arak, merasa minuman ini adalah bentuk hinaan untuk orang-orang yang menikmati minuman alkohol. Karena namanya saja yang Bir Kopi namun tidak ada alkoholnya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Bu Londo kepada sang Pemburu sambil tersenyum
"Rasanya seperti sedang dihina, tapi manis" jawab Pemburu
"Kau mungkin sekarang mengira ini minuman tidak akan ada yang suka, namun suatu saat bisa jadi minuman yang semua orang mau minum"
"Kenapa bisa begitu Bu?" tanya Pemburu dengan heran sambil menggenggam segelas Bir Kopi miliknya
Bu Londo hanya tersenyum sambil menata ulang gelas-gelas arak di rak kayunya yang sudah tua sambil berkata,
"Entahlah"
Sambil Bu Londo sibuk bercengkerama dengan para pengunjung yang mulai berdatangan, sang Pemburu hanya duduk sambil mengamati Bir Kopi yang sudah ia teguk setengah gelas tersebut. Sambil sibuk melayani pengunjung yang baru memesan, Bu Londo memperhatikan Sang Pemburu sambil memainkan gelasnya yang masih berisi Bir Kopi.
"Hei, kenapa terlihat bingung?"
"Entah. Saya masih memikirkan bagaimana Bir Kopi ini bisa menjadi sesuatu yang berharga di kemudian hari?"
Bu Londo hanya terdiam tanpa menimpali jawaban kepada Sang Pemburu dan meninggalkannya untuk melayani pengunjung. Matahari sore sudah mulai terbenam dan langit di kala itu berwarna seperti jeruk yang baru saja dipetik dari kebun saat daun-daun masih mengembun dan bercampur dengan warna merah. Kapal Belanda yang berwarna merah seperti darah yang diselimuti dengan matahari yang mulai tenggelam diujung lautan terlihat seperti lukisan yang hanya bisa ditemukan di ruangan kerja seorang bangsawan yang bahkan tak satupun kacung berani menyentuh ataupun melihat karena harga dari lukisan tersebut seharga kepala mereka.
"Jadi, apakah kamu masih bertanya mengapa Bir Kopi ini bisa menjadi sesuatu yang berharga di kemudian hari?"
Sang pemburu tidak banyak bicara kali ini, karena dia masih menatapi matahari yang sudah mulai ditelan lautan diujung sana.
"Sama halnya dengan langit yang sedang kau lihat saat ini. Mungkin saat ini kau akan berpikir bahwa matahari tersebut akan kau temui setiap hari. Kau tidak akan merasa hal tersebut akan berharga di kemudian hari. Berbeda dengan aku, umurku sudah tua dan bisa saja dalam hitungan bulan ataupun tahun, mataku akan mulai buta dan tidak akan bisa membedakan warna koin" ucap Bu Londo
"Bir Kopi itu mungkin saat ini hanyalah minuman yang kau anggap sebagai bentuk penghinaan untuk alkohol karena hanya namanya saja bir namun tidak membuat kau mabuk. Tapi siapa sangka jika ternyata ada pecundang yang ternyata menginginkan minuman ini untuk dinikmati dengan matahari yang sedang terbenam seperti apa yang kau lakukan dan lihat saat ini?"
Sang Pemburu mengangguk tipis sembari meneguk sisa dari Bir Kopi tersebut.
"Mungkin memang benar, aku tidak akan tahu kapan sesuatu bisa menjadi berharga. Sama seperti pejabat Belanda yang menjual kasur dan ranjang yang terbaik itu. Siapa sangka kasur dan ranjang bisa membuatmu kaya"
Kemudian Sang Pemburu berdiri dari kursinya dan meninggalkan kedai Bu Londo di kala matahari sudah terbenam dan para kacung dan pejabat kelas menengah akan sibuk berpesta dan meninggalkan anak istrinya yang sedang tertidur lelap di rumah.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.