Perjanjian Setan

Perjanjian Setan
Image by pixabay

 

Kematian mendadak Bu Tina telah membuat geger Kampung Sekasih, hampir tidak ada satu orangpun yang percaya. Sontak dalam sekejap menjadi buah bibir. Antara percaya dan tidak percaya, satu persatu warga kampung mendatangi rumah duka.

 

“Maaf Bu, jangan dibuka. Kalau mau doa silakan disamping jenazahnya saja!”

 

Pak Hario Sastrawan, suami Bu Tina tampak bingung dengan kehadiran tamunya.

Sudah jatuh tertimpa tangga, seminggu sebelum kematian Bu Tina, kehidupan rumah tangga dikabarkan berada di ujung tanduk.

Sebagai pengusaha Kayu Jati Jepara, siapa yang tidak kenal dengan Pak Hario Satrawan. Hidup bergelimang harta, tidak membuat Pa Hario besar kepala, kesederhanaannya semakin membuat nama Pak Hario melambung. Banyak klien yang memberikan kepercayaan untuk mempercantik dekorasi rumah atau kantornya kepada Pak Hario.

Sayangnya, Bu Tina sangat berbanding terbalik dengan Pak Hario. Kehidupan super mewah Bu Tina kadang membuat keuangan Pak Hario kalang kabut.

 

“Pak, pesanan Om Hendro sudah selesai?”
“Kok tumben ibu tanya soal pesanan Om Hendro?. Biasanya juga bapak yang atur semua, ibu tinggal minta keuntungannya saja.”
“Iya justru itu, keuntungan dari pesanan Om Hendro kan besar tuh. Kalau aku hitung bisa sampai seratus juta. Ibu mau ganti mobil, terus ini lo, berlian ibu sudah ketinggalan jaman. Ibu bolak-balik cek ATM, belum ada uang sebanyak itu.”

Pak Hario hanya menarik nafas Panjang, bingung menghadapi istri dan kehidupannya.

 

“Gusti, kalau aku boleh meminta. Hentikan kebiasaan istriku. Bagaimana aku bisa menabung untuk masa depan Ardi dan Lara bila uang hasil penjualan kayu jatinya selalu tak bersisa.”

 

Rupanya Tuhan kabulkan dengan cepat, kali ini bukan saja kebiasaan Bu Tina, namun Bu Tina ikut lenyap dari kehidupan Pak Hario.

 

#

Sudah 40 hari Bu Tina meninggalkan Pak Hario dan anak-anak.

 

“Dor…dor…dor…”

Jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Tamu datang sepagi ini tentu membuat Pak Hario bertanya-tanya.

 

“Assalamualaikum…”

“Ahhhh, nda usah pakai salam segala. Saya nda sabar tunggu hari ini.”
“Maaf, panjenengan siapa?. Subuh begini sudah bertamu.”
“Saya Madmudah, Suami Ibu Sukma teman arisan istrimu.”
“Ada apa dengan Bu Sukma?”
“Istri panjenengan sudah bawa kabur uang arisan dan berlian istriku. Sekarang Bu Sukma ditahan polisi. Dikira telah menggelapkan uang arisan 1 milyar dan Berlian 5 set.”

“Mana buktinya kalau Bu Tina yang menggelapkan, jangan-jangan ini hanya sedang mencari kesempatan dalam kesempitan.”
“Ini…..”

 

Pak Hario limbung, tidak pernah menyangka bahwa Bu Tina sedemikian nekat. Uang yang selama ini Pak Hario berikan rupanya tidak diolah dengan benar.

Apa boleh buat, Pak Hario harus rela melepaskan rumah yang sekarang ditinggal bersama Ardi dan Lara.

 

“Bapak minta maaf, satu-satunya penyambung hidup kita adalah perusahaan jati ini, jika kantor bapakmu ikut tergadai kita nda bisa makan. Bapak sudah dapat rumah pengganti sementara untuk kita tinggali. Nanti pelan-pelan bapak akan nabung agar kita dapat lagi rumah yang layak.”

“Bapak dapat rumah di mana toh pak?”

“Di Jalan Gagak sebelah Pos Kamling. Kalau kamu mau pergi ke rumah Bukde Lilis, kamu pasti lewat Ar.”
“Pak, itu bukannya rumah kosong  yang sudah banyak diceritakan?”
“Ar, bapak nda punya pilihan lain. Kamu tenang saja, kalau kita rajin ibadah pasti aman untuk kita tempati.”

 

Rumah baru Pak Hario sangat besar, hanya dengan uang sisa membayar hutang pada Bu Sukma, Pak Hario bisa mendapatkan rumah dengan lima kamar tidur yang sudah dilengkapi kamar mandi di setiap kamarnya. Dapur yang begitu luas, taman belakang yang dirimbuni dengan Pohon Beringingbenar-benar membuat bulu kuduk berdiri.

 

Lara tak habis mengerti, sambil menatap Ardi, mata Lara menaruh banyak pertanyaan.

“Mas, kamu tidak janggal dengan rumah ini?”
“Janggal apanya sih, sudah kita beres-beres saja. Kasihan bapak kalau kita terus-terus saja komplain.”
“Bukan mas, coba kamu perhatikan. Bangunan ini masih bangunan original Belanda lo.

Pintu, Jendela, atap, tangga sampai lemari sebesar itu dibiarkan di sini bertahun-tahun tapi tidak ada satupun bagian rumah ini yang lapuk.”
“Masudmu, rumah ini seperti berpenghuni?. Ya mungkin tanpa kita tahu ada saja yang memanfaatkan rumah ini, la wong nda dikunci kok.”
“Kalau ada manusia lain, setidaknya ada hawa panas. Ini dingin mas. Memang kosong tak berpenghuni.”

 

“Ardi, Lara…sini. Bantu bapak bereskan kamar atas ya. Kita akan tinggal di lantai dua semua. Biar yang di bawah menjadi kamar tamu saja.”
 

Lagi-lagi Lara menatap Ardi.

“Mas kita di atas?. Memang ada kamar tidur lagi?”

“Lah kalau bapak sudah minta kita bereskan, ya berarti ada kamar tidurnya dong Ra.”

“Sumpah Mas, bulu kudukku berdiri.”

Kreeek..kreekkk

 

Perlahan Ardi dan Lara menyusuri lantai dua rumah ini. Satu-persatu mereka tengok.

Di ujung gang lantai dua, terdapat pintu besar dengan gagang pintu bulan besar yang dibuat dari baja kokoh dilengkapi dengan kunci persis seperti kunci gembok penjara jaman Belanda.

 

Di dinding tepat sebelum sampai pada pintu besar, terdapat replika lukisan dinasti Ming dan Qing. Entah kenapa sepertinya ada yang janggal dari lukisan ini. Di bawah lukisan terdapat tulisan Cina yang sama sekali tidak Ardi pahami.

 

“Terkunci Ra. Kamu yakin mau masuk ke ruangan ini?”

“Iya, aku penasaran deh.”
“Ya sudah, mas coba buka ya. Arrghhh…susah Ra.”
“Mas, mungkin kuncinya bukan di putar. Coba mas tekan sedikit”

 

Blep…
“Ya ampun Ra, betul. Mas Cuma tekan sedikit ujung kuncinya dan terrrrr…buuuuu…kaaaa”

“Uh, debunya Mas.”

Uhuk…uhuk…

Ruangan yang sangat gelap. Ardi mencari saklar lampunya.

“Ra, ini saklarnya. Tapi lampunya pasti sudah lama putus. Coba kamu nyalakan senter handphonemu.”

 

Lara menyalakan senter di handphonenya, mereka telusuri setiap baris ruangan besar itu. Dan saat lampu senter diarahkan ke tengah.

 

“Haaaaah…meja apa ini mas?”

“Mahjong Ra. Masih utuh. Bahannya bagus sekali. Mas rasa ini mahjong bukan sembarang mahjong.”
“Mas jangan dipegang.”
“Loh kenapa Ra?”
“Mahjong ini ada yang mainkan, coba mas perhatikan. Ada yang berdiri, ada yang tertelungkup dan ada yang sudah menangkan permainannya.”

“Memang kamu ngerti, cara menangkan permainan Mahjong?”

“Hiihihiihi.” Lara nyengir.

 

 

“Ardi, Laraaaa kalian di mana kok lama sekali?. Bapak repot ini bereskan kamar kalian sendirian”

 

Hmmm, Ardi dan Lara masih penasaran, tapi Bapak teriak-teriak terus.

“Ra, kalau kita bersihkan, mas rasa rumah ini baik-baik saja.”
“Semoga ya mas.”

 

“Ya Allah…kalian ini. Bapak sampai pusing cari kalian. LIhat tuh matahari sudah mulai tenggelam, bapak sendirian dari tadi.”

Ada yang tidak beres, kami sampai di rumah ini setelah dzuhur. Rasanya tidak terlalu lama kami berjibaku di ruang mahjong, kenapa tiba-tiba sudah maghrib saja.

 

“Sudah, kalian istirahat. Kamar sudah siap. Tapi karena mepet, kita tidur satu kamar dulu ya.”

 

Jam menunjukkan pukul satu malam.

Lara menghadap ke barat, bapak di tengah kami dan Ardi menghadap timur.

Lara mengira Ardi sudah tidur. Ardi mengira Lara sudah tidur.

Bapak sudah mengorok.

 

Bukan denting piano, tapi denting gelas beradu terdengar jelas.

Suara tertawa tak terelakkan lagi.

 

“Ah, gue menang.”
“Lu tadi pasang berapa?”

“Satu juta….amblas duit gue.”
“Hahahahahha….lu sih sembrono.”
“Alaaaah, kagok edan siah. Tah duit urang beakkeun.”

 

Bahasa sunda, aku rasa itu Bahasa sunda. Artinya apa ya?.

Duh pagi kenapa lama sekali. Siapa yang berani masuk ke dalam rumah?

Sembrono sekali bapak, pintu kenapa tidak dikunci. Kalau mereka tahu ada kami, apakah kami akan selamat?.

 

Kongkorongoooooook…..

Kongkorongoooooook…..

 

 

Suara ayam sudah lantang terdengar. Aku akan ambil wudhu.

“Mas…Mas Ardi”
“Apa Ra?”
“Tumben mas langsung bangun.”
“Bukan langsung bangun tapi belum tidur.”
“Lo, berarti mas?”
“Kamu dengar juga?”

 

Mereka saling lempar tatap.

Penasaran dengan suara gaduh yang menghilang tepat dengan suara ayam berkokok.

 

“Bawa pentungan Ra!”

“Ga ada mas, ini aja ya?”
“Elah, ngapain bawa kipas Lara. Dikira mau latihan nari.”
“Aku tusuk matanya, mas.”

“Au ah.”

 

Pelan-pelan mereka menelusuri Lorong. Bapak belum bangun.

Kreekkk…kreekkkk

 

Lampu ruangan menyala rupanya. Pencuri itu (seandainya pencuri) sudah paham betul dengan situasi rumah.

Ah, sial. Ketakutan berlama-lama tinggal di rumah ini makin besar.

 

“Mas…lihat!”
“Uang…uangnya kenapa ditinggal ya Ra?”

“Iya, aneh ya. Banyak pula mas.”

 

Dengan mengumpulkan segenap keberanian, mereka menelusuri seisi rumah.

Dapur aman.
Garasi aman.
Pintu ruang tamu aman.

Semua aman. Tidak ada jejak pintu rusak di dobrak. Artinya bapak lupa kunci rumah.

 

Lara dan Ardi menyimpan rahasia ini. Rumah sudah mulai tampak berpenghuni. Tapi setiap malam masih saja terdengar suara orang bermain mahjong dan uang hasil judinya mereka tinggalkan.

 

“Ya Tuhan, suara apa itu?”

Lara berlari ke kamar Ardi. Ardi tidak ada di kamarnya

Tampak dari jauh, bayangan hitam berkelebat. Seolah terkunci, Lara tidak bisa bergerak, terdiam di depan pintu Ardi.
“Huaaa, mas..mas. Kamu di mana. Ya Tuhan, ini bagaimana?”

 

Braaak…

“Waduh, bapa.”
“Kamu ngapain Ar?”
“Bapa ngapain?”
“Bapa mau nengok Lara, tadi seperti ada suara merintih nangis. Tapi Lara tidak ada di kamarnya.”
“Hmm, Ardi tadi ke kamar bapak. Justru Ardi mendengar suara bapak teriak minta tolong. Ternyata bapak ke tempat Lara.”
“Jadi, Lara di mana ?”

 

Ardi dan Bapak, mencari Lara.

 

Hikikikikikik…..Hikikikikikik…..

“Pa, makin kencang. Bagaimana ini?”
“Ini suara orang yang mau mencuri di rumah kita atau apa ya Di?”
“Pa, Lara mana. Aku takut Lara masuk ke ruangan itu.”

 

Hikikikikik….Hikikikikikik….

Bayangan hitam kembali berkelabat di langit-langit rumah.

Ardi memberanikan diri masuk ke ruangan besar di ujung Lorong lantai dua.

 

“Mas Ardiiiiii…”
“Lara, aku sama bapak cari kamu.”
“Kakiku tidak bisa gerak mas. Aku takut. Mereka…mereka…..”
“Apa sih Ra?”
“Mereka menampakkan mukanya di depan aku mas.”
“Ra, kamu ngompol.”

 

 

Tiba-tiba lukisan Dinasti Ming dan Qing terjatuh.

Lara dan Ardi saling bertatapan. Kali ini bapak ada di antara mereka.

“Ya Allah, maafin bapak ya.”
 

Awwww….

“Lara..Laraaaaaaaa”
“Pa, kejar Lara!!!”

 

Muncul tangan dengan jari-jari runcing dari bawah lukisan yang terjatuh. Menarik kencang Lara.

Diseret Lara tepat di ujung rambutnya. Teriakan Lara tidak membuat mahluk itu menghentikan langkahnya.

 

Hikikikikikik….Hikikikikikikik…

 

Kalian mengganggu kami. Terlalu bodoh untuk menjadi manusia.

 

Praaaang..Braaaak.

 

Dihempaskan Lara ke ujung jendela. Beling kaca berhamburan dan menancap di muka Lara.

Badan Lara menabrak tembok tepat di ujung kepalanya. Darah bercucuran.

Dalam tangis, Lara meringis.
“Mas….sakit. Perih….”

 

Ardi seketika berlari menyelamatkan Lara, namun rupanya kekuatan mahluk itu terlalu dahsyat. Ardi tertahan, terpelanting dan menghancurkan deretan batu mahjong dan membuat uangnya berhamburan.

 

Di luar suara ayam kembali berkokok.

 

Pada saat yang sama mereka menghilang.

Batu mahjong bergerak membereskan dirinya sendiri. Menyusun dalam masing-masing tilenya.

Uang tersusun rapi.

Bapak segera melepaskan kaki Ardi yang terpelanting dan jari kakinya terjepit meja batu. Kaki Ardi bengkak, kuku jemponlnya terlepas.

“Sakit Ar?”
“Sudah pak, lihat saja Rara. Aku masih bisa jalan.”

“Ra..Lara.”

 

Tidak ada suara dari Lara, hembusan nafas semakin melemah. Darah keluar dari lubang telinga dan hidung Lara.

Ardi meminta pertolongan tetangga. Tidak ada yang berani masuk ke rumah itu.

 

Muncul Mang Ujang. Konon Mang Ujang ini berjualan kopi sudah lebih dari dua puluh tahun. Mang Ujang sering menginap di teras rumah bila kebetulan belum bisa pulang karena tidak ada ongkos.

Seringkali Mang Ujang menemukan hal-hal mistis di rumah itu.

 

“Maaf Pak Hario. Dari awal saya mau kasih tahu bapak, bahwa rumah ini rawan untuk ditempati.”
“Ah sudah Mang Ujang tolong bantu saya bawa Lara dulu. Nanti saja ceritanya.”

 

Lara di bawa ke rumah sakit. Namun darah sudah terlalu banyak keluar. Dokter sudah sangat pesimis menangani Lara.

 

“Pak Hario, pecahan kaca di muka Lara sudah kami bersihkan. Namun Lara dalam kondisi kritis. Bila sampai 12 jam Lara tidak ada kemajuan. Mohon maaf, kami sudah semampunya”

 

Pak Hario lunglai. Dari jauh berkelabat bayangan hitam menari kembali rambut Lara.

Kali ini Lara tidak diseretnya. Namun sayatan-sayatan kecil di lengan Lara mengeluarkan kembali darah segar.

 

Tina dan Sukma ingkar pada kami. Dalam perjanjiannya akan diserahkan harta berharganya untuk kami pelihara.

 

 

#Bandung, 1 May 2020

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.