YANG MENJADIKAN DIRI LAYAK DIHARGAI ADALAH DIRI KITA SENDIRI

YANG MENJADIKAN DIRI LAYAK DIHARGAI ADALAH DIRI KITA SENDIRI
Artificial Intelligence, di mana letak kita berada?

Di dekade 2000-2010-an, saat commercial film director dan insan film asing menyerbu Indonesia, KITA PANIK, lalu memilih ramai-ramai protes pada pemerintah dan meminta negara turut campur memproteksi insan kreatif dalam negeri dengan "melarang" perusahaan merekrut commercial film director asing dalam membuat iklan-iklan filmnya. Larangan pun diterbitkan. Razia bahkan sering dilakukan aparat tramtib yang ujung-ujungnya minta cingcau, eh, cincai.

Saat ini, ketika "film maker" yang lain dalam bentuk AI (artificial intelligence) hadir, KITA JUGA PANIK, karena menganggap kehadirannya akan memporak-porandakan tatanan yang sudah ada, dan menggerus bahkan siap melenyapkan ada banyak profesi.

Tentu tidak semua seperti itu. Masih ada bahkan mungkin lebih banyak lagi jumlah orang yang merasa baik-baik saja. Buktinya, banyak insan Indonesia yang memilih jalan prestasi dan berhasil menyabet creative award di level dunia dalam konteks film AI ini. Saya sangat bangga atas mereka.

Di masa berisik tahun 2000-2010, saya termasuk orang yang memilih film director berdasarkan kompetensi mereka. Mau orang Indonesia, kek, mau orang asing, kek, yang penting ide saya tereksekusi dengan baik, serta sesuai keahlian mereka yang pas dengan board saya. Jadi bukan karena nasionalisme saya rendah kalau saya dan tim memilih merekrut film director tertentu yang kebetulan berkewarganegaraan asing untuk mengerjakan jenis tretament film tertentu.

Demikian juga di era AI ini, saya juga memilih untuk tidak bersama orang-orang yang panik menyambut semarak dan derap revolusinya. Apa gunanya panik? Lalu malah kita menjadi mahluk dengan paranoid personality disorder yang menganggap dunia lain buruk, salah, harus dicurigai, lalu hidup dalam pikiran bahwa nanti dunia akan begini dan akan begitu.

Yang membuat kita eksis atau tidak adalah diri kita sendiri. Saya lebih memilih untuk bagaimana mengasah diri, bersaing atau mungkin beradaptasi dengan perubahan, dan tidak menjadi mahluk narsis yang memuja masa lalu diri, lalu menjelma pemaki masa depan. Tak ada gunanya, dan tidak bisa mengubah apa-apa.

Dunia berubah, dan memiliki filosofinya sendiri. Kita tidak bisa mengukur dan menguncinya dengan kerangka masa lalu. Keburukan dan kejahatan ada di setiap zaman. Begitu juga dengan kebaikan.

Eksistensi diri tidak ditentukan orang lain dan dunia luar, tapi bagaimana kita memperlakukan diri kita layak dan berharga di setiap zaman.

Saya ingin kembali mengadaptasi filosofi yang pernah dikemukakan Gus Dur secara spontan, "Kalau zaman adalah pantat ayam, dan kita ada di dalamnya, kita memilih jadi telur, atau jadi yang satunya?"

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.