NOAM

Bagian 6: Move On

NOAM

 

Hey mate!” sapa Simon, sambil menepuk-nepuk pundakku. “Glad to see you back, Noam.” Suaranya tidak terlalu jelas terdengar di tengah kebisingan musik dan suara-suara. Simon langsung duduk di sebelahku dan berbicara dekat telingaku. “Eh, nanti kita ke panggung yuk, main beberapa lagu, lagu-lagu yang biasa aja,” ajaknya. “Ah gaklah, kamu aja,” jawabku singkat kepada sobat ngeben-ku itu. Tatapan mataku tidak beralih dari gelasku, seperti tidak ingin diganggu. Simon pun langsung turun dari bangku tinggi bar sambil berkata, “OK mate,” dan menepuk bahuku sekali lagi sebelum meninggalkanku sendiri.

Aku memesan satu draft beer lagi dari bar tempat aku sudah duduk selama satu jam lebih. Kedua tanganku yang terlipat di atas bar sambil aku menatap kosong kepada gelasku mulai terasa kaku.

Akhirnya, aku duduk tegak, mataku beralih ke tengah-tengah ruangan, dekat panggung, tetapi aku tidak memperhatikan grup musik yang sedang manggung. Aku jadi ingat saat aku di sini bersama teman-teman lama dan ada sekelompok cewek sedang dance dan bernyanyi-nyanyi di depan panggung mengikuti lagu-lagu Blondie yang dibawakan sebuah tribute band. Aku bersama teman-temanku yang cowok semua bukan tidak sengaja berdiri di dekat panggung, tak jauh dari mereka yang tampak cantik-cantik dan seksi. Ternyata aku kenal dua dari cewek-cewek itu, tetapi ada satu dari yang belum aku kenal yang menarik perhatianku—ia bahkan sempat menengok ke arahku sejenak.

Setelah kelompok musik itu berhenti bermain, salah satu cewek yang kukenal melambaikan tangannya kepadaku. Aku menghampirinya.

Hiya Noam,” sapa Linh, teman lamaku. “Didn’t know you were back in London.”

Hi Linh, just for a short while,” balasku.

Linh kemudian memperkenalkanku ke teman-temannya. “You know Lara. That’s Genie, Shelly, and Layla.”

Itulah pertama kalinya Layla tersenyum kepadaku!

 

Di bawah lampu remang-remang klub itu, dari meja seberang, Layla mencuri-curi pandang terhadapku. Sesekali aku membalasnya.

 

Setelah perkenalan singkat itu, kami berpisah dan kembali ke meja masing-masing yang kebetulan letaknya berseberangan. Di bawah lampu remang-remang klub itu, dari meja seberang, Layla mencuri-curi pandang terhadapku. Sesekali aku membalasnya.

Saat melihat mereka beranjak dari mejanya seperti hendak pulang, aku menghampiri mereka, seolah just to say goodbye, tetapi sebenarnya, aku ingin mendekati Layla. Kami ngobrol sejenak, Layla bercerita bahwa baru-baru ini ia tinggal satu apartemen dengan Linh dan Lara. Malam itu pun, aku berhasil mendapatkan nomor telepon Layla—the rest is history!

Layla, you've got me on my knees … Layla, I'm begging, darling please* …  Ahhh grup musik yang dari tadi mainnya gak enak itu malah menyanyikan lagu Layla, membuyarkan pikiranku dan membuatku jadi baper! Aku langsung cepat membayar dan berjalan menuju pintu keluar. Aku melewati Simon yang sempat bertanya, “Hey, where ya going, mate?” Aku melangkah terus saja, tidak menengok ataupun menjawabnya.

Di jalan-jalan kota London, pikiran dan tubuhku belum mau pulang. Kakiku sepertinya membawaku pergi entah ke mana, tetapi perjalanan berakhir di sebuah klub kecil. Aku langsung mengambil tempat duduk setelah memesan sebotol Camden Hells. Aku sempat berpikir, kenapa aku jadi ke sini ya? Ini khan tempat aku dan Layla menikmati musik indie dan ada kenangan spesial di sini. Entah kenapa juga, aku kemudian mengeluarkan ponselku dari kantong celanaku. Aku membuka IG—dan akhirnya menyesal.

Linh dan Lara memposting lagi foto-foto ketika mereka sedang berada di konser Suede di London beberapa minggu lalu. Waktu masih di Leeds, aku pun menonton Suede ketika mereka manggung di sana. Sialnya, terbayang-bayang wajah Layla sepanjang konser itu karena tahun lalu kami berdua pun menonton Suede di London!

Heran, pikirku, waktu hari H mereka sudah memposting banyak sekali foto-foto saat di konser itu, sekarang diposting lagi yang lainnya, gak habis-habisnya … Pasti ada beberapa foto selfi mereka berempat dengan Layla dan Jimmy lagi tersenyum lebar. Gembira sekali Jimmy tampaknya dengan tangannya yang merangkul Layla pada setiap kesempatan.

Aku heran lagi, apa sih yang dilihat cewek-cewek di Jimmy? Ada yang bilang kecerdasannya membuatnya karismatik dan menarik. Yah, kalau dia bisa pintar, itu karena dia dari keluarga India kaya raya begitu. Dari kecil sudah berkesempatan duduk di sekolah-sekolah elite di sekeliling Eropa. Gak heranlah kalau dia bisa diterima di universitas-universitas elite, sedangkan orang dari keluarga Inggris seperti aku bersusah payah mendapatkan beasiswa. Kalau aku kaya dan memiliki kesempatan seperti dia, aku sudah mengantongi tiga gelar doktor! Orang-orang macam dia amat membosankan menurutku sih. Aku gak paham selera perempuan. Ah, kenapa juga aku jadi memikirkan si jangkung menyebalkan itu! Makanya, aku menyesal, kenapa juga aku harus membuka IG-ku!

 

Kedua tanganku menyangga kepalaku yang menunduk seperti akan menyerah … I have to get her back! I have to get her back!

 

Aku tutup ponselku. Tapi aku tidak bisa menutup pikiranku. Aku bertanya-tanya, sudah sejauh apa hubungan Layla dan Jimmy sampai si sok pinter itu menyusul Layla ke rumah tantenya saat terjadi aksi pembakaran masjid? Hatiku bagai memiliki kaki yang menendang-nendang dadaku dari dalam dan mulut yang berteriak, “Get her back, get her back!” Kedua tanganku menyangga kepalaku yang menunduk seperti akan menyerah … I have to get her back! I have to get her back!

Hi, are you alone? Do you mind if I join you?” Tiba-tiba terdengar suara renyah-renyah imut dari sebelah kiriku. Kepalaku menengok ke atas. Aku melihat seorang perempuan berambut ikal pirang yang menggenggam sebotol Camden Hells. Ia mengenakan baju terusan hitam model baby doll dengan sebuah tas hitam kecil yang menggantung di bahu kanannya. Hidungnya yang agak terlalu panjang, sedikit menutupi bibirnya yang mungil. Matanya yang biru dikeliling bulu mata coklat lentik menunggu jawabanku.

Oh … um yes … um, no … oh, sit down … please,” jawabku bingung. Ia kemudian duduk di sampingku. Tampak baju terusannya pendek sekali, pikiranku agak lari ke tempat yang tidak seharusnya.

“Shayla.” Ia menyebut namanya sambil menjulurkan tangan kanannya ke hadapanku. Aku hampir salah dengar, sempat aku pikir dia bilang Layla. Aku pun memberikan tangan kananku dan berkata, “Noam.”

Kami ngobrol-ngobrol sedikit, tentang apa persisinya, aku lupa. “Let’s go to the rooftop,” ajak Shayla tiba-tiba sambil beranjak dari bangku dan mulai berjalan. Seperti anak sekolah, aku menurut saja dan mengikutinya dari belakang. Di atas masih bisa terdengar musik dari bawah yang dimainkan dalam klub … I know you’re rotten to the core … I know you don’t love me anymore**….

Aku pun ingat, di rooftop inilah pertama kali aku mencium pipi Layla. Kami sedang double date dengan teman-temanku, Marley dan Zuri. Layla agak tersipu karena aku menciumnya di hadapan mereka. Angin begitu kencang di sini malam itu sampai Layla memelukku kuat sekali!

Shayla tiba-tiba mengeluarkan selembaran kertas kecil dari tasnya dan mulai melinting kumpulan dedaunan dengan sangat gape. Ia menyalakannya dan mengisapnya dalam-dalam untuk kemudian menempelkannya pada bibirku. Secara bergantian kami mengisap sajiannya itu diiringi tiupan angin malam yang mengerayangi tubuh kami. Shayla mulai menyandarkan badannya padaku, wajahnya makin mendekat. Imaginasiku membayangkan apa yang tersembunyi di balik terusan pendeknya.

Do you like Hole?” tanya Shayla.

Huh … hole? … Oh, Hole! … Yes, I do, I… I … I love Hole,” jawabku, sedikit terdisorientasi. Tentu yang dimaksudnya kelompok musik Hole yang membawakan lagu-lagu yang terdengar sedang dipasang di bawah itu.

Aku putuskan untuk mulai mencumbu bibir mungilnya. Terasa strawberry lip balm bercampur alkohol dan weed. Lidahnya menyambutku dan melumat mulutku. Tanganku meraba pahanya dan bergerak naik merasakan bokongnya.

***

Aku terbangun dari ranjangku dan dengan sempoyongan lari ke kamar mandi, menundukkan kepalaku ke WC dan eugghhhh …. keluarlah isi perutku yang masih tersisa dari semalam. Di lantai kamar mandi ada cipratan muntah mengering. Mungkin semalam keburu keluar sedikit sebelum kepalaku sampai di WC. Badanku terasa begitu lemah, aku siram saja dengan obat pembersih lantai.

Untunglah masih ada sisa susu di kulkas yang dapat diteguk. Aku juga menemukan sebatang sosis untuk dikunyah. Kejadian semalam mulai teringat. Namun, aku keburu knock out … sehari penuh.

***

Stop the genocide!” teriak para demonstran pro-Palestina pada aksi mingguan yang biasa digelar di tengah kota London. Aku hadir bersama teman-teman Yahudiku yang anti-Zionis. Tentunya, mataku mengawasi para peserta, terutama dari komunitas Asia. Dengan jitu, mata elangku menemukan Layla! Ia berbaris membawa spanduk bersama Lara.

Aku terus berjalan maju agar lebih dekat dengannya. Aku menengok ke kiri dan ke kanan, tetapi kok si Jimmy jelek itu gak kelihatan batang hidungnya, ke mana dia? Apa mungkin dia kembali ke India? … Baguslah, gurauku sendiri, gak usah balik ke sini lagi. Semoga dijodohkan dengan sesama anak konglomerat di sana … haha ….

Pas sudah cukup dekat di belakangnya, aku memanggilnya, “Layla!” … “Hi Layla,” sapaku. “Nice to see you!” Kepalanya menoleh ke samping kanan, tampak bibirnya seperti tertawa. Apakah dia tertawa karena senang bertemuku atau ia mentertawaiku karena menganggapku gila? Kayanya lebih yang kedua sih. Sementara Lara, yang berjalan di sebelah kanan Layla, malah menengok ke belakang untuk menatap wajahku. Ketika melihatku, ekspresi mukanya seperti mau muntah! … Haha. Aku gak peduli sih.

Aku menengok lagi ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tetapi aku tidak bisa menemukan Linh yang biasa bersama Lara dan Layla. Linh lebih bersimpati kepadaku. Hmmm, tebakku dia mendapat giliran kerja di rumah sakit hari ini sehingga tidak bisa bergabung.

Sementara aku berjalan di belakang Layla dan menengok ke sana-sini, aku merasakan ada seseorang yang mengawasiku dari kejauhan, dari arah sebelah kanan. Sepertinya ia memperhatikan gerak-gerikku dari sudut matanya. Aku penasaran, aku meninggalkan barisanku dan berhenti berjalan agar aku bisa melihat orang itu ketika ia berjalan. Oh, aku mengenali jenggotnya. Itu bapaknya Layla! Oh, that old man! Ia akan mengintaiku kalau melihatku dekat anaknya dalam aksi-aksi seperti ini!

 

Layla melihatku berjalan menuju dirinya, ia tidak menghindar, bahkan seperti menungguku.

 

Aku pun tidak melepaskan pandanganku dari Layla. Ketika aksi berakhir, aku menghampiri Layla dan Lara yang sedang berdiri di halte bus. Layla melihatku berjalan menuju dirinya, ia tidak menghindar, bahkan seperti menungguku. Ketika aku sudah di hadapannya, ia pun sedikit tersenyum, sementara Lara memalingkan wajahnya dariku dan berjalan ke sudut halte.

Sebelum aku sempat berbicara, Layla sudah mendahului, “Congrats on completing your postgrad,” ucapnya datar, tetapi bukan sekadar basa-basi.

Thanks, and congrats on your new job,” tanggapku. “Layla,” aku langsung melanjutkan, “aku ingin minta maaf …”

“Aku sudah memaafkanmu,” Layla dengan cepat menginterupsi. “Aku sudah tidak marah lagi,” ungkapnya tenang. “Tetapi aku sudah move on. Sebaiknya kamu juga begitu, Noam.”

Aku speechless!

Bus pun tiba, Layla dan Lara langsung naik.

***

Sampai di apartemenku, tenagaku habis, semangatku sirna. Untuk mabuk pun, aku tidak bergairah. Tubuhku roboh ke ranjang, sepatu belum sempat dicopot. Kelopakku memejam. Kedua mataku terasa panas. Akhirnya, air mata mengalir tumpah. Belum pernah aku merasa sesedih ini.

 

------

*Bait dari lagu Layla (Eric Patrick Clapton/Jim Gordon)

**Bait dari lagu Boys on the Radio (Courtney M. Love / Eric T Erlandson / Melissa Auf Der Maur)

Gambar: Waqar (Unsplash)

-Bersambung-

Baca
Noam 5

Noam 4

Noam 3

Noam 2

Noam 1

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.