Mati, kok ngajak-ngajak...

Sejujurnya, saya enggan menulis topik yang agak bernuansa agama. Alih-alih bermaksud sharing ide dan cerita, yang ada kadang malah dianggap sebaliknya. Ada trauma juga, sejak kejadian nulis tentang jilbab (pengalaman pribadi saat mengenakan jilbab pertama kali tahun 91). Sejak itu, saya "kapok" menulis tentang apapun yang bernuansa takdir Allah, kehendak Tuhan atau yang sejenisnya Cuman dorongan untuk menulis tema serupa kok ya muncul lagi. Kali ini tentang maut. Sesuatu yang oleh sebagai masyarakat seperti masih dianggap tak terhindarkan, tak bisa dilawan. Sudah takdir. So...ngapain dibahas.
"Yaah... kalau udah mati'mah, mati aja, ga usah ada corona19 ya mati juga."
Sekelebatan buat yang denger pasti akan membenarkan statment itu, cuman naluri saya merasa ada yang aneh. Masa iya sih, sesederhana itu?
Kalau emang hidup udah ga bisa diperjuangkan alias kematian itu tidak bisa dihindari (dengan dalih semua yang bernyawa pasti mati), kenapa juga di belahan dunia sana, teknologi bagai berlomba canggih canggihan untuk mempertahankan nyawa seseorang?
Emang sih... sejatinya kematian tak bisa ditolak, cuma sebelum mencapai titik itu, ada orang-orang yang menurut saya, luar biasa. Kalau bahasa saya (ke anak-anak) mereka yang "tidak pasrah pada kematian", entah apa sebutannya.... Mereka yang muncul dengan inovasi-inovasi agar manusia ga mati secara gampang.
Di dunia teknologi kedokteran, baik dari segi alat maupun keahlian, muncul hal-hal yang luar biasa untuk mempertahankan agar pasien bisa tetap hidup. Mulai dari kemo kanker yang semakin canggih, operasi otak buat yang kena serangan stroke, sampe pasang ring jantung yang sekarang sudah seperti sesuatu yang biasa saja, tak istimewa. Dalam waktu kurang dari 40 menit, memasukan kateter melalui arteri di pangkal paha dan diarahkan menuju pembuluh darah untuk kemudian dilakukan pemasangan ring agar diding pembuluh darah tidak menyempit lagi, dan umur seseorangpun, ter-upgrade. Yang tadinya udah susah bernafas, eh... bisa normal lagi. Hal-hal semacam ini tak akan terjadi kalau semua pasrah pada kematian.
Di sisi bencana juga sama. Dengan maraknya bencana (tsunami, gempa, banjir, kebakaran dll) muncullah berbagai program mitigasi bencana dan DRR (Disaster Risk Reduction) yang melahirkan rumah tahan gempa, bunyi-bunyian atau mengadopsi kearifan local yang menginisiasi pengurangan bencana. Kalaupun bencana masih akan datang dan menimbulkan korban (lagi), alias mati-mati juga, tapi paling ga ... ada effort untuk mengurangi resiko korban jiwa. Semangat ini yang harus dikembangkan dan terus diviralkan.
Pun dalam menghadapi virus corona19 kali ini. Emang sih... kalau bicara mati (sekali lagi) ya semua pasti mati. Masalahnya, corona19 ini kan penyakit "menular", jadi penanggulangannya ya harus bersama-sama. Kalo mati-nya ga berdampak buat sekitarnya, mungkin dunia ga panik seperti sekarang. Cuma karena ini menyangkut kehidupan di kanan-kiri kita, bagusnya ya kita hargailah orang-orang yang sudah membuat rules dalam mengantipasi virus corona19 ini. Artinya, kalau kita lalai, bisa berakibat orang lain “tertular”, mungkin ga sampai mati, tapi kalo ekstrimnya kelalaian kita menyebabkan orang lain mati, waaah... itu sama aja, mati kok ngajak-ngajak.... tega amat!
Ketika Pemprov DKI memutuskan menutup berbagai kegiatan (mulai dari destinasi wisata hingga sekolah-sekolah) selama 14 hari ke depan, bagusnya, selama waktu itu kita kompaklah ga usah pergi jauh-jauh dulu, apalagi kalau ga penting-penting amat. Mari mengisolasi diri (dan keluarga) menghindari kerumunan massa. Ga lama, cuma dua minggu, itu pun masih di tolerir untuk kegiatan yang masuk akal, seperti menyiapkan logistik keluarga (belanja makan, maksudnya) atau berobat.
Periode isolasi diri (dan keluarga) selama 14 hari ke depan ini adalah untuk memutus mata rantai penularan covid 14 yang "ditengarai" sudah berkembang secara diam-diam tanpa kita sang pemilik diri, menyadarinya.
Dalam 14 hari ke depan (16 s/d 28 Maret) adalah periode pengawasan. Jika ada yang sudah tertular (inkubasi) maka akan terdekteksi. Penderita akan mengalami demam, suhu tinggi, flu, mual bahkan sulit bernafas bisa ditangani segera. Bayangkan kalau pada periode ini ada yang "melanggar" dan dia baru terinfeksi pada hari ke-5 alias tanggal 20 Maret, maka pengawasanya sudah di luar 14- hari isolasi yang dimaksud di atas. Gimana mau ngawasin lagi? Keadaan jadi susah untuk dikontrol. Pandemi pun, akan semakin parah.
Iya emang mati ditangan Tuhan, tapi kalau ada pihak-pihak yang sudah berusaha agar kita bisa tetap hidup (sehat), entah itu dari pemerintah pusat atau daerah, masa sih kita abaikan begitu saja. Tega amat!! Buat nak-anak yang sudah semangat bersiap ujian, eh... ujiannya ditunda. Semoga saja semangat tempur menghadapi soal ujian yang sudah tinggi itu, tidak luntur dengan jeda 14 hari ini. Tetap semangat ya guys........
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.