Cinta Tanpa Syarat

Kesalahan apapun yang pernah dilakukan orang tua kita di masa lalu, tak seharusnya kita sebagai anak tidak memberi maaf padannya karena pasti ada alasan di balik keputusannya.

Cinta Tanpa Syarat
Foto ini diambil 1 hari sebelum acara pernikahan salah satu adik lelakiku, saat aku berkunjung ke rumahnya.

Apakah kita bisa memilih di mana kita akan dilahirkan? Siapakah orang yang akan kita sebut sebagai Ayah dan Ibu kita? Pastinya tidak akan pernah bisa... Karena Tuhan sudah menentukan takdir kita masing - masing dari sebelum kita menjelma menjadi janin dalam perut Ibu. Demikian juga dengan takdirku. Aku di takdirkan sejak lahir hanya memiliki Ibu. Lelaki yang di sebut sebagai Ayahku, dari sejak aku menjelma menjadi benih di rahim Ibuku, tak pernah mengharapkan kehadiranku di dunia ini sebagai bentuk buah cintanya. Segala cara telah dia lakukan untuk melenyapkan kehadiranku. Tapi takdir berkata lain, Tuhan mengijinkanku untuk menghirup udara bebas dan melihat indahnya dunia. Seharusnya aku berhak menyandang kasta dari Ayahku, tapi dia enggan menerimaku dan mengambil keputusan yang membuatku harus kehilangan kastaku dan mendepakku menjauh pergi dari kehidupannya. Mungkin itulah karma yang harus aku jalani dari kehidupanku terdahulu yang harus aku tebus di kehidupan sekarang. Nama Ida Ayu yang seharusnya ada di depan namaku, berganti hanya dengan Ayu. Karena dari masih bayi, aku tidak merasakan arti dari kehilangan sebuah kasta, karena yang aku tahu hanya belaian lembut dari kasih seorang Ibu. Karena bagiku nama adalah pemberian dari Ibuku yang harus aku syukuri dan hargai karena sebuah nama pasti memiliki arti dan tujuan baik untukku. Puluhan tahun aku hidup dengan nama itu. Puluhan tahunpun aku tak pernah mengenal sosok lelaki yang sebagian dari dirinya ada di diriku. Aku tahu kalau aku adalah anak dari seorang lelaki berkasta Brahmana. Aku juga tahu namanya. Tapi tidak satu kalipun dia datang padaku bertindak dan bersikap sebagai Ayah buatku. Sampai aku menikah dan memiliki anak. Hingga pada suatu senja... Telepon genggam dari dalam tasku berbunyi. “ Dimana, “ tanya suamiku tanpa basa - basi. “ Dijalan. Sudah dekat rumah. Ada apa? “ jawabku. “ Jangan pulang dulu. Kamu boleh pergi kemana saja sampai aku menelpon lagi. Sampai di rumah aku ceritakan, “ ada nada perintah di suaranya seperti biasa jika keinginannya tidak boleh di bantah. Akupun menuruti keinginannya. Aku hanya berputar mengelilingi lapangan dekat rumah, karena aku tidak memiliki tujuan yang pasti. Sampai akhirnya kudengar lagi dering dari telepon genggamku. “ Pulanglah, “ terdengar suara suamiku lagi. “ Ya, “ jawabku singkat. Sesampainya di rumah, setelah memarkir mobil aku beranjak naik menuju kamarku. Suamiku sudah menunggu kedatanganku sambil menonton televisi dan membuka laptopnya. Aku mengambil posisi duduk di sofa di sebelahnya seperti biasa. Dari raut mukanya ada hal penting yang ingin disampaikannya. “ Tadi ada seorang lelaki yang mengaku sebagai Ayah kandungmu datang ke rumah, “ katanya tanpa basa - basi. Dari jaman kami masih berpacaran dulu suamiku memang tahu asal usulku. Siapa orang yang merawatku ataupun siapa nama orang tua kandungku. Karena aku tidak mau dia tahu masa laluku dari orang lain. Aku terkejut mendengar cerita suamiku. Puluhan tahun aku tak pernah melihat sosoknya. Bagaimana lelaki itu bisa tahu tempat tinggalku? Aku masih belum bisa berpikir. Aku masih melamun. Sampai kudengar suara suamiku lagi. “ Dia menitip pesan, agar kamu mau memaafkan kesalahannya dan bisa menjalin hubungan serta komunikasi yang sudah lama terputus, “ katanya lagi. “ Saranku, beritahu Mamamu. Dia yang paling tahu wajah Ayah kandungmu seperti apa. Aku tak mau ada orang yang mengambil kesempatan dari masa lalumu, “ katanya mengakhiri perbincangan ini. Aku mengangguk tanpa menjawab seperti biasa. Lalu aku segera menelpon mamaku dan mengabarkan apa yang terjadi tadi di rumah. Mama setuju dengan saran suamiku. Sejak saat itu beberapa kali lelaki yang mengaku Ayah kandungku berkunjung ke rumah pagi saat aku masih terlelap atau ketika aku sedang bekerja. Sekedar untuk mengantarkan hasil kebunnya. Pesannya kepada asisten rumahku. “ Saya hanya menitip ini untuk anak saya. Ada hasil di kebun yang ingin saya bagi agar dia bisa mencicipinya. “ Setelah itu dia akan pamit dan pergi. Sampai pada suatu hari, seorang lelaki muda dan perempuan muda berkunjung ke rumahku. Dia mengaku pada asisten rumahku sebagai adik kandungku yang berasal dari Kampung. Sesampainya di ruang tamu, aku terdiam. Dia menjabat tanganku. “ Mbok, ini aku adik Mbok. Aku anak dari Ajik. Aku lahir 1 hari setelah Mbok lahir. Namaku panggilanku Dodo. Ini istriku Mbok. Dayu Mas, “ katanya ramah. “ Maaf kalau kedatanganku tanpa pemberitahuan. Aku tahu rumah Mbok dari Ajik. Aku hanya ingin, Mbok memaafkan Ajik dan Mbok mau menyambung lagi tali persaudaraan yang telah lama terputus. Ajik dan kami adik - adik Mbok, ingin agar Mbok bisa pulang ke kampung, “ katanya lagi. Lama aku terdiam menatapnya. Wajahnya memang tidak mirip denganku. Karena kami memiliki Ibu yang berbeda. “ Baiklah. Beri Mbok waktu untuk mampir ya, “ jawabku singkat. “ Ini nomor teleponku Mbok. Biar Mbok tahu. Aku juga ingin nomor telepon Mbok. Agar aku gampang menghubungi Mbok jika ingin mampir atau ada hal penting yang ingin disampaikan Ajik, “ katanya lagi sambil menyodorkan telepon genggamnya ke arahku. Aku segera menyimpan nama dan nomor handphonenya. Aku juga memberikan nomor handphoneku padanya. Sejak saat itu adikku sering menyapaku di whatsapp sekedar bertanya kabar dan berbagi cerita tentang apa saja. Pada suatu hari, saat pernikahan adik sepupuku di Kampung, sore hari sebelum balik ke Kota, aku sempatkan mampir ke rumah Ayah kandungku. Alangkah terkejutnya dia melihat kehadiranku di pintu pagar rumahnya. Tapi senyum bahagia dan mata berbinarnya sudah menunjukkan bahwa itu adalah saat yang paling ditunggu - tunggunya. Dia berjalan kearahku dan memelukku. “ Ajik senang sekali, Ayuk akhirnya mau mampir ke rumah Ajik, “ katanya sambil membimbingku duduk di kursi. Aku hanya tersenyum menatapnya. Segera dia memanggil semua yang ada di rumah. Istri, anak dan cucu - cucunya. Salah satu adik yang tinggal tak jauh dari rumahnyapun dipanggilnya pulang. Semua bahagia melihat kehadiranku. “ Akhirnya Mbok mau pulang ke sini. Kami sangat bahagia Mbok. Maafkan kesalahan Ajik dan kami ya Mbok. Mbok mau kan menerima Ajik dan kami? “ tanya mereka. “ Ajik minta maaf ya Yuk. Dulu Ajik tidak punya kekuatan untuk melawan perintah keluarga besar. Ajik tidak bisa kehilangan hak atas warisan dan tidak bisa jika tidak diajak lagi sembahyang di merajan Grya Panasan Manuaba. Satu keinginan Ajik saat ini, Ayuk mau memaafkan Ajik dan menjalin kembali hubungan persaudaraan dan komunikasi yang pernah terputus puluhan tahun lamanya, “ katanya dengan mata menerawang. “ Tak ada yang perlu dimaafkan. Saat kejadian Ayuk masih bayi. Ayuk belum mengerti apa itu sakit. Ayuk tidak pernah marah, dendam apalagi benci sama Ajik dan kalian semua. Takdir sudah di gariskan. Ayuk tak bisa melawan takdir, “ jawabku. “ Terima kasih Mbok. Mbok sudah memaafkan Ajik dan menerima kami semua, “ kata salah seorang adikku. Aku tersenyum memandang mereka semuanya. Aku ingat sebuah quote yang mengatakan, jangan pernah melupakan pentingnya keluarga karena ada ikatan darah yang menyatukannya. Mungkin ikatan itulah yang akhirnya mempertemukan aku kembali bersama Ayah kandung dan saudara tiriku. Dari mereka aku belajar caranya mencintai dengan tulus, tanpa ada amarah dan dendam, walau aku terpisah puluhan tahun dari mereka dan kehilangan kastaku... AVSW, 150320.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.